Ajikontea Blog
Membahas Hal yang memang perlu dibahas
Selasa, 09 Mei 2017
Kamis, 27 April 2017
SYEKH SITI JENAR
SOSOK FILSUF HISTORIS DAN TOKOH
NEO-SUFI ISLAM-JAWA
ISLAM DI JAWA PADA MASA RATU SIMA
KALINGGA, DINASTI SYAILENDRA MATARAM KUNO, PRABU JAYABAYA KEDIRI, SAMPAI
WALISANGA DAN SYEKH SITI JENAR
A. Walisanga dan Varian Islam Asia Tenggara
Para ulama Walisanga,
kehadirannya memang baru terjadi sejak akhir abad ke-13 M. Akan tetapi
kehadiran mereka di Nusantara tidaklah berdiri sendiri, dan bukanlah dalam
bentuk kehadiran ulama muslim pertama di Nusantara. Mereka hanya melanjutkan
aktivitas penyiaran Islam secara lebih strategis, melanjutkan rintisan masuknya
Islam ke Indonesia yang sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad dan al-Khulafa’
al-Rasyidin. Sehingga mengetahui latar belakang historis tentang Islam-Jawa
sangat diperlukan dalam kajian tentang para ulama Walisanga tersebut. Hal ini
dikarenakan bahwa pola Islam yang dikembangkan para ulama Walisanga adalah
Islam dalam kultur Jawa, yang menjadi corak khas pola Islam di kawasan Asia
Tenggara.[1]
Pengembangan lebih jauh dari pola ini akan membawa arah
varian ketiga dari pola-pola Islam yang sudah ada. Sampai saat itu, terdapat
dua varian besar Islam yang berkembang, yakni Islam Arab Timur Tengah yang
sangat formalis yang terdiri atas madzhab Mesir dan Arab, dan Islam corak
Persia yang filosofis dan mistis (juga yang berkembang di kawasan India). Islam
Jawa merupakan prototype dari Islam model Asia Tenggara yang memiliki
corak khas, yang menempatkannya sebagai Islam ketiga. Kebijaksanaan para ulama Walisanga
yang toleran dengan kondisi kultural masyarakat Indonesia sangat layak menjadi
acuan penyebaran Islam. Misalnya, Syaikh Maulana Ishaq yang secara pribadi
bermadzhab Hanafi, dalam menyebarkan Islam di Pasai dan Jawa akhirnya
mensossialisasikan madzhab Syafi’i (Raffles, 2008:
283-284) melihat kenyataan masyarakat Indonesia yang memang memiliki
karakter yang amat sesuai dengan faham madzhab Syafi’i. Madzhab pribadi
dikorbankan agar Islam dapat diterima masyarakat secara arif, bijaksana dan
atas kesadaran sendiri.
Dasar atau fondasi Islam Asia Tenggara yang sangat
kultural inilah yang sudah dirintis dan dikembangkan oleh para ulama Walisanga
pada awal penyebaran islam di Indonesia .
Di bawah ini penulis kemukakan secara ringkas asal mula Islam Jawa, dari awal
perkembangannya sampai pada masa kehadiran ulama Walisanga, sebagai para ulama
sufi dan filosof yang merumuskan fondasi ajaran Islam-Asia Tenggara secara
sistematis.
B. Peran Raja-Raja Jawa dalam
Penyebaran Islam di Nusantara
Penelitian Islam Jawa merupakan wilayah yang sangat
luas, dan selalu menyisakan banyak hal yang menarik. Ibaratnya, lahan
penelitian ini masih merupakan hutan perawan, yang membutuhkan banyak explorasi
dari para ahli dan peminat studi Islam Jawa. Penelitian tentunya berfokus pada
upaya pencarian jawaban fakta-fakta sejarah Islam di tanah air dan khususnya di
Jawa,[2]
apakah sejarah pertumbuhan Islam di sini sudah sesuai dengan kenyataan ataukah
belum.[3]
Diantara sebagian agenda yang menyangkut hal tersebut
adalah soal sampai dimana keterlibatan raja-raja di Jawa dalam usahanya
memajukan penyebaran Islam; peranan para wali dan proses islamisasi dan
arabisasi di sini;[4]
orientasi Islam para wali dan friksi yang terjadi; pembaharuan kesadaran
nasional tentang Islamisme; rangsangan perjuangan Islam; cita-cita Islam yang
dilembagakan oleh para penguasa muslim atau sultan-sultan di Jawa; faham-faham
yang muncul dan berkembang, baik yang berada dalam jalur Islam murni maupun
yang dikategorikan sebagai aliran sesat; Islam yang dijawakan dan Jawa yang di
Islamkan, dan sebagainya.
Kajian-kajian terhadap berbagai persoalan tersebut
menjadi penting sehubungan dengan urut-urutan umum proses Islamisasi di
Indonesia. Gambaran urut-urutan tersebut sebagai berikut: (1) kontak komunitas
Nusantara dengan para pedagang, pelaut, atau musafir Arab, Persia, India, Asia
Tenggara, Cina dan sebagainya sebelum mereka masuk Islam. Ini berlangsung sejak
awal abad Masehi hingga abad ke-3 sampai abad ke-9 M; (2) kontak komunitas
Nusantara dengan para pedagang, pelaut atau musafir yang telah menjadi muslim.
Ini berlangsung sejak abad ke-7 sampai 11 M; (3) tumbuhnya berbagai komunitas
muslim di Nusantara, baik wilayah pesisir atau pedalaman. Fase ini berlangsung
sejak abad ke-9 sampai 13 M; (4) tumbuhnya kekuasaan politik kerajaan atau
kesultanan Islam, yang mengalami puncak perkembangan berkoinsidensi dengan
masuk dan berkuasanya pengaruh kekuatan militer dan ekonomi bangsa Eropa. Ini
terjadi sejak abad ke-13 sampai 16 M; dan (5) surutnya kekuasaan dan charisma
kerajaan dan kesultanan islam sekaligus dimulainya dominasi dan hegemoni
militer, politik, dan ekonomi kolonial di Nusantara. Ini terjadi sejak abad
ke-16 sampai datangnya era kemerdekaan RI tahun 1945 (Ambary, 2001: 35-6, 106,
342).
Untuk point (4) dan (5) sudah banyak karya-karya yang
mengupasnya, yang memunculkan anggapan umum bahwa Islam mulai hadir di Indonesia
adalah pada abad ke-13. Sementara untuk poin (1) sampai (3) belum banyak
dilakukan penulisan dan penelitian tentangnya, kecuali sebatas singgungan
kecil, untuk mengantarkan dan menggiring justifikasi bagi “kehadiran” Islam
pada abad ke-13.
Dalam tulisan pada bab ini, penulis mengajak para
pembaca untuk menelusuri serpihan sejarah bagi poin (1) sampai (3) tersebut,
terutama mengenai peran sebagian raja-raja Jawa dalam pengembangan Islam di
tanah Jawa, yang kemungkinan para raja tersebut sudah masuk Islam, akan tetapi
masyarakat akademis belum meyakininya, karena datanya yang masih bersifat
terbatas untuk menjawab masalah itu. Atau kalau toh ada data yang menyinggung masalah itu, biasanya terdapat dalam
suatu tulisan babad ataupun hasil kesimpulan masyarakat secara tutur tinular
sampai saat ini.
Selain itu, dengan memahami analisa pada bab ini, akan
diperoleh gambaran jelas, bagaimana dan darimana asal Islam Jawa sebagai pola
Islam kultural yang sangat spiritualis dan filosofis, namun sekaligus juga
mengajarkan ketaatan syariat sebagaimana kemudian dikembangkan oleh para ulama Walisanga.
Walaupun demikian, juga harus disadari bahwa para ulama Walisanga sendiri tidak
semuanya bersikap satu kata dalam jenis ajaran Islam yang disebarkan. Sebagian
ulama Walisanga menyampaikan kritik keras atas keinginan ulama sufi, dengan
anggapan bahwa masyarakat Jawa belum siap dengan konsep ajaran Islam yang
esoteris. Sebagian ulama yang memberikan tantangan sangat keras dari
ulama-ulama Walisanga tersebut terhadap sesama rekannya, memang sejak awal
sudah memiliki kecenderungan melakukan “Arabisasi” pada penyebaran Islam di Indonesia.
C. Prabu Jayabaya dan Kitab Musarrar
Diantara kemungkinan-kemungkinan raja-raja di Jawa yang
sudah masuk Islam yang penulis gali dalam tulisan ini adalah Ratu Sima dari
Holing atau Keling atau Kalingga (abad ke-7 M); Raja Smaratungga (800-825 M) di
era kerajaan Mataram Kuno Jawa Tengah, sesudah piagam Canggal tahun 732 M.,[5]
yang berdialog dengan Syekh Subakir.[6]
Setelah itu melompat beberapa abad, yakni Prabu Jayabaya
di kerajaan Kediri[7]
yang sudah menjalin hubungan erat dengan tokoh ulama besar Maulana Ali Syamsu
Zein yang menjadi guru Prabu Jayabaya (abad ke-12), yang sesudah itu tenggelam
lagi tentang berita peranan Islam pada masa itu, tahu-tahu kemudian muncul
sejarah Hindu-Jawa yang seakan-akan era tersebut sama sekali belum bersentuhan
dengan Islam (yakni zaman Singasari dan Majapahit).[8]
Padahal sejak abad ke-11 M kita telah mengenal data otentik tentang adanya
Islam di Jawa, yakni tentang banyaknya situs kuburan Islam yang setaraf dengan
makam raja-raja di Jawa, yakni makam Fathimah binti Maimun di desa Leran
Gresik, 8 Km dari kota
Gresik.
Era Majapahit juga dikabarkan belum mengenal Islam,
padahal, sesuai penemuan para ahli, di pusat ibukota kerajaan, sudah terdapat
pemukiman atau perkampungan muslim, yang penganutnya adalah orang-orang Jawa
pedalaman. Kalau sudah ada perkampungan Islam Jawa yang berpusat di ibukota
berhasil ditemukan, tentu hal itu mengindikasikan adanya kaum muslim di
berbagai titik lokasi dalam masa keemasan Majapahit. Sehingga juga tidak aneh,
kalau terdapat informasi bahwa Raja Brawijaya I (Dyah Kertawijaya) dan Brawijaya
V (Dyah Krtabhumi) ternyata adalah seorang muslim,[9]
yang kemudian memungkinkan pemberian konsesi kadipaten Bintara (cikal bakal
kerajan Islam Demak) sebagai daerah otonomi muslim, sebagaimana pada awalnya
Sunan Ampel mendapatkan tanah shima di Ampel Surabaya dari Raja Kertawijaya,
dan jauh sebelumnya juga sebagaimana Maulana Malik Ibrahim mendapatkan tanah
shima di Gapura Gresik dari Prabu Wikramawarddhana.
Jauh sebelum Kediri
dan Majapahit, antara tahun 664-780, terdapat kerajaan di Jawa (cina: Cho-po) yang disebut sebagai kerajaan
Keling, Holing, atau Kalingga. Kerajaan ini sudah berdiri lama sejak sebelum
lahirnya Nabi Muhammad. Karena pada tahun 433 dan 435 M, kerajaan Keling sudah
mengirimkan utusan dutanya yang pertama ke Cina (Munoz, 2009: 141, 306-308).
Munoz meyakinkan bahwa letak kerajaan ini adalah di Jawa Tengah. Keberadaan
kerajaan ini sebenarnya sangat penting untuk dieksplorasi dalam sejarah Islam
Indonesia, terkait dengan aturan kerajaan yang “berbau” syari’at Islam, dan
sehubungan dengan kedatangan raja Islam ke sana. Sejak tahun 674, kerajaan ini
diperintah oleh Ratu Sima, yang memerintah dengan adil, tegas, dan keras.
Pencurian dalam kerajaan tersebut mendapatkan hukuman potong tangan, atau
anggota tubuh yang digunakan untuk mencuri, dan bahkan hukuman mati jika
pencurian dan perampokannya memenuhi syarat hukuman mati (Badrika, 1991: 56).
Sebelum pemerintahan Ratu Sima memang agama resminya
Budha Hinayana, seperti berita I-Tsing
yang melihat penterjemahan Kitab Parinirvana dari bahasa Sansekerta ke bahasa
Tionghoa oleh pendeta Jnanabadhra dan Pendeta Hwi-Ning yang tinggal di Kalingga
selama tiga tahun (Martono, 1980: 1/27). Menyebarnya agama Budha di Keling
terkait dengan peristiwa pada awal-awal Ratu Sima naik tahta. Banyak
pemberontakan yang terjadi di wilayahnya. Pada saat kacau tersebut, pendeta
Gunawarman, pewaris tahta kerajaan Kashmir
datang di Keling. Sang Ratu meminta nasehat apa yang sebaiknya dilakukan. Sang
Pendeta menyatakan bahwa pengacau harus ditumpas. Ratu Sima mengerahkan pasukan
untuk menumpas berbagai pemberontakan dan berhasil. Ajaran Budha yang dibawa
pendeta Gunawarman mendapatkan tempat penyebarannya (Ferrand, 1922: 211-212;
Coedes, 1989: 107). Tetapi setelah pemerintahan Ratu Sima menjadi tegak,
terdapat peraturan “agama terbuka”.
Bersamaan dengan sistem agama terbuka tersebut, pada
tahun 674 M, Raja Da-zi atau Ta-Shih (salah satu amir dar Khalifah Muawiyah bin
Abi Sufyan) mengirimkan armada duta, perlindungan niaga dan dakwah ke Kalingga.
Pengiriman armada ini memang sesuatu hal yang lumrah, karena pada waktu itu
Mu’awiyah memiliki lebih dari 5000 buah kapal besar, yang sudah dibina sejak
tahun 34 H/655 M. Bersamaan dengan hal tersebut, Dinasti Tang (618-907)
mencatat adanya settlement (hunian) bangsa Arab Islam di pantai Barat Sumatera
pada tahun 674 M, yang memberikan jawaban bahwa pembawa Islam masuk ke
nusantara memang orang Arab-Islam. Kedatangan armada utusan Khalifah Mu’awiyah
tidak hanya ke satu tempat tujuan, karena armada tersebut kemudian melanjutkan
lawatan dakwahnya dengan singgah di pelabuhan Banger (nama kuno untuk wilayah
Probolinggo, dan ada yang menyebut Bangil) pada tahun 674-675 M. Tentu tidak
aneh jika kemudian di Bangil juga diketemukan sebuah makam seorang tokoh
penyebar Islam pertama di sekitar Bangil dan Probolinggo, yang dikenal
masyarakat sebagai “Mbah Bangil” yang bertarih 680 M. “Mbah Bangil” tidak lain
adalah Syekh Maulana Isma’il yang datang ke Bangil untuk menyebarkan Islam di
daerah tersebut, setelah pensiun dari militer Islam di Timur Tengah. Beliau datang
ke Indonesia
setelah kekuasaan dunia Islam dipegang oleh Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan
(661-680 M).
Tentang motif kedatangan Syaikh Maulana Isma’il yang
aslinya berasal dari Kufah tersebut terdapat salah satu dari dua kemungkinan. Pertama,
sejak Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib wafat pada tahun 661 M, Syaikh Isma’il yang
merupakan salah satu pendukung dan tentara dalam pasukan ‘Ali dalam perang
Siffin merasa tidak nyaman dengan kepemimpinan Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Oleh
karenanya, Syaikh Isma’il kemudian memutuskan untuk keluar dari wilayah
pantauan Mu’awiyah dan menyebarkan Islam di daerah-daerah yang disinggahinya,
yang akhirnya terdampar di pantai Bangil. Penduduk sekitar makam Mbah Bangil menuturkan,
bahwa memang nampaknya daerah sekitar makam tersebut, pada masa dahulu
merupakan pantai yang berbatasan dengan laut. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya fosil kerang dan beberapa jenis hewan laut yang dijumpai pada
saat-saat penduduk membuat sumur. Keberadaan makam itu sendiri nampak kurang
terawat, sehingga dikhawatirkan suatu ketika, situs makam tersebut bisa hilang.
Kedua. Kedatangan Syaikh Isma’il bukanlah dalam
rangka melarikan diri dari kepemimpinan Mu’awiyah. Namun sebaliknya, bahwa
Syaikh Isma’il termasuk salah satu duta yang dikirim oleh Mu’awiyah bin Abi
Sufyan untuk menyebarkan Islam di berbagai negara. Khalifah Mu’awiyah memang
dikenal sebagai seorang Khalifah yang melakukan ekspansi Islam, baik secara
perutusan dakwah maupun secara militer, ketika umat Islam terancam posisinbya
oleh kekuatan luar, dan oleh rongrongan dari dalam. Sebagaian perutusan dakwah
sengaja diambil dari para mantan pengikut setia Khalifah ’Ali bin Abi Thalib.
Selain untuk berdakwah, Khalifah Mu’awiyah sengaja menjauhkan mereka dari
lingkaran politik dan kekuasaan, untuk lebih menjaga keamanan kekuasaan
dirinya, sekaligus menjaga kondusifitas umat Islam yang sedang berkembang
pesat. Sebagian diantara duta-duta dakwah dari Khalifah Mu’awiyah tersebut,
selain singgah di Bangil juga ada kelompok pendakwah yang kemudian singgah di
Keling, Jepara.
Kedatangan duta-duta dari
Khalifah Mu’awiyah tersebut nampaknya yang memberikan informasi di seputar
hukum-hukum Islam, dan sebagian diadopsi oleh Ratu Sima
demi untuk penegakan hukum di Keling. Penegakan hukum yang mengadopsi hukum Islam rupanya menarik perhatian
seorang Raja “dari Barat” yang disebut sebagai Ta Cheh. Datanglah delegasi Raja Ta-Cheh (raja dari Arab), yang menguji
kejujuran peraturan tersebut, dengan menaruh kantung emas di tengah jalan.
Hingga 3 tahun tidak ada seorang pun yang menyentuhnya, hingga suatu hari putra
mahkota tanpa sengaja menyentuhnya dengan ibu jari kakinya. Oleh Ratu Sima, putra mahkota dihukum
dengan potong ibu jari kaki yang menyentuh kantung emas tersebut (Badrika
–Sulaeman, 1991: 57). Perlu klarifikasi lebih mendalam tentang perbedaan antara
ungkapan Dazi, Ta Shih, dan Ta Cheh. Karena yang berkunjung membuktikan adanya pelaksanaan
hukum tersebut di sebut sebagai Raja Tacheh yang tidak begitu jauh dari Keling
di Jepara. Di gugusan pulau Melayu terdapat kerajaan yang disebut sebagai Ta
Shi yang mengikat perhubungan diplomatik dengan Cina sejak tahun 630-635 M. Ta
Shi di sini adalah nama yang diberikan untuk kalangan muslim di Sumatera pada
pertengahan abad ke-7 M (eksis sampai tahun 655), yang dekat dengan Malaka.
Tentu ini bukanlah Ta-Cheh yang di Arab,
karena disebutkan jauhnya hanya 5 hari perjalanan dari Malaka. Ta-Cheh ternyata
juga merupakan ungkapan orang Cina yang merujuk pada kata Aceh. Namun bisa juga
terjadi, ungkapan bahwa Ta Cheh hanya lima hari perjalanan dari Malaka adalah
kesalahan analisis, karena memandang bahwa Ta Cheh adalah Aceh. Jadi
kemungkinan bahwa Ta Cheh yang dimaksud adalah Ta Cheh yang di Arab sangatlah
besar.
Jika berita ini memang benar, tentunya terdapat
kemungkinan adanya adopsi sebagian peraturan Islam di kerajaan Kalingga pada
saat itu, sehingga raja dari Ta Shi berniat membuktikan kejujuran aturan
tersebut. Minimal pengaruh Islam pada tahun 674 M sudah didapatkan di kerajaan
Kalingga, Jawa.
Berdasarkan data-data tersebut bahkan beberapa
sejarawan, seperti Hamka, malah berani menyatakan bahwa Ratu Shima sebenarnya
adalah pemeluk Islam. Demikian pula halnya Prabu Jayabaya adalah pemeluk Islam,
dan memiliki penasehat dari kalangan ulama muslim yang bernama Maulana Ali Syamsu
Zain dari Brusa (Turki. Hitti, 2010: 918-919). Terdapat sumber yang menyatakan
bahwa kedua berita tersebut (tentang Islamnya ratu Sima dan keislaman Prabu
Jayabaya) dapat diteliti dengan adanya korespondensi Sultan Cordoba (Spanyol)
yang sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan bekas ibukota kerajaan
Islam di Eropa Barat tersebut (Simon, 2004: 54).
Kembali ke masa Prabu Jayabaya. Pada masa tersebut
terdapat sebuah karya sastra karya Empu Panuluh “Gatotkacasraya” yang
kata-katanya sudah banyak bercampur dengan bahasa Arab. Penulisan dilakukan
sekitar tahun 1140 – 1150 M. Pujangga ini adalah pujangga Raja Jayabaya
disamping Empu Sedah. Dengan unsur bahasa Arab yang sudah masuk dalam karya
sastra tersebut, maka muncul pertanyaan mendasar, apakah Raja Jayabaya yang
pernah berguru kepada Maulana Ali Syamsu Zein itu tidak mungkin kalau sudah
memeluk Islam? Atau paling tidak, apakah tidak mungkin pada masa itu Prabu
Jayabaya sudah membuka kran besar bagi penyebaran Islam di wilayah kerajaannya?
Data mengenai keberadaan tokoh ulama Maulana Ali Syamsu
Zein itu terdapat dalam kitab “Asrar”
buah pena Sunan Giri III pada tahun 1540 C = 1028 H = 1618 M.[10]
Kitab Asrar ini oleh Pangeran Wijil
(Pangeran Kadilangu) digubah menjadi bahasa tembang yang dihubungkan dengan
kitab Bharatayudha karangan Empu Sedah, dengan sebutan baru “Kitab Musarrar”. Kitab ini sebagian isinya
nantinya dipopulerkan oleh R. Ng. Ranggawarsito menjadi kitab ramalan yang
dikenal dengan sebutan Kitab Jangka
Jayabaya, dengan berbagai macam versinya.
Kita juga mendapatkan penemuan lain tentang kemungkinan
masuk islamnya raja-raja di Jawa. Prof. Slamet Mulyanto pernah mempublikasikan
hasil penelitiannya bahwa Raja Brawijaya Wikramawardhana menikah dengan seorang
putri Islam, yang menjadi bibi Sunan Ampel.[11]
Dalam hal ini memunculkan pertanyaan, pernikahan dengan putri Islam itu berarti
bahwa Prabu Wikramawardhana (memerintah Majapahit 1389-1429 M) sudah
pernah mengucapkan syahadat, atau dengan kata lain, secara formal mengakui
Islam sebagai agamanya. Data ini diperkuat oleh keberadaan kompleks makam di
Tralaya (Trowulan) yang salah satu kompleksnya merupakan pemakaman raja-raja
Majapahit yang sudah memeluk Islam, dengan lambang utama “Sinar Majapahit”.[12]
Terdapat kenyataan bahwa Prabu Wikramawarddhana mengirimkan anaknya, Raden Alit
atau Dyah Kertawijaya, ke kediaman Maulana Malik Ibrahim di Gapura untuk
menuntut ilmu (Sunyoto, 2011: 130).
Pernyataan serupa juga bisa diarahkan kepada Raja
Jayabaya yang mendalami ilmu tasawuf di bawah arahan Maulana Ali Syamsu Zein.
Dalam hal ini sangat penting untuk melakukan penelitian atas kitab karya Empu
Panuluh “Gatotkacasraya” dan data-data lain yang berhubungan dengan ini.
Kelemahan penulisan sejarah Islam Jawa sebaiknya tidak menjadi alasan bagi
kurangnya sumber bagi penelitian, melalui metode inter-disiplinner bagi
penelitian sejarah Islam Jawa.
Dalam kesimpulan penelitiannya tentang Gatotkacasraya,
Dr. Sutjipta Wirjosuparto menyatakan bahwa “dalam
Gatotkacasraya tersebut sudah banyak kata-kata Arabnya, pendek kata
kalimat-kalimat dalam kitab tersebut sudah bercampur bahasa dan kata-kata Arab”
(Wirjosuparto, 1952: 83.). Fakta ini menunjukkan kebenaran adanya pertemuan
antara Prabu Jayabaya dengan Maulana Ali Syamsu Zein, sebagaimana dinyatakan
dalam karya yang kemudian dikenal sebagai Jangka Jayabaya tersebut.
Selain itu, ternyata pada masa pemerintahan Prabu
Jayabaya, beliau memiliki penasehat tetap (berbeda dengan Maulana Ali Syamsu
Zain yang setelah beberapa waktu di Kadiri kemudian pulang kembali ke Timur
Tengah) dari kalangan ulama Islam. Keduanya adalah Syaikh Syamsuddin Sagalor
yang ahli dalam bidang politik, kebudayaan dan keagamaan, utamanya tasawuf;
serta Maulana Ali Akbar Sagalor, yang memiliki keahlian dalam bidang politik
dan militer. Ungkapan “Sagalor” terkait dengan posisi dua orang tersebut yang
memiliki makna “dari bangsa Lor”, yakni orang-orang Lor (Persia ) yang
mendiami pemukiman Leran. Sampai hari ini makam keduanya masih bisa dikunjungi.
Makam Syaikh Syamsuddin terletak di kompleks pemakaman Setana Gedong Kediri
(yang dikenal sebagai makam Mbah Wasil Syamsuddin atau Pangeran Mekah);
sementara makam Maulana Ali Akbar yang tinggal di Ngantang terletak di Masjid Besar
Baiturrahman Ngantang, Malang .
Hanya saja pada nisan makam
Maulana Ali Akbar, oleh pengurus makam setempat diberi tanda nama ”Mbah Abdul
Adhim”.
Sebagaimana sudah dinyatakan di atas bahwa babon kitab
Jangka Jayabaya berasal dari kitab Asrar
yang kemudian digubah oleh Pangeran Wijil dari Kadilangu menjadi kitab Musarrar, dan selanjutnya oleh
pujangga-pujangga keraton Surakarta
menyebutnya menjadi kitab Jayabaya dalam berbagai versinya. Kitab Asrar yang kemudian menjadi sumber dari
kelahiran Jangka Jayabaya tersebut, yang oleh Pangeran Wijil digabungkan dengan
Bharatayudha, kemudian diolah kembali
oleh R.Ng. Yasadipura I (1729-1801), dan juga kemudian oleh cucunya R.Ng.
Ranggawarsita (1802-1873).
D. Tinjauan Mendalam atas
Makam Fathimah binti Maimun
Untuk kembali memantapkan tentang penyebarluasan Islam
di Jawa yang sudah terjadi sejak abad ke-11, sebaiknya kita tinjau kembali
makam Fathimah binti Maimun secara lebih mendalam. Warga di sekitar Leran
kadang menyebut makam Fathimah sebagai makam Putri Suwari atau Putri Campa,
suatu pandangan yang tentu saja kurang berdasar pada fakta sejarah. Termasuk
buku “resmi” dari pemangku makam Leran (Sejarah Kubur Panjang, 1991)
menyebutkan bahwa Fathimah putri Sultan Mahmud. Nampaknya mereka yang
menyalahpahami ini kurang mengerti makna nama Fathimah binti Maimun bin
Hibatallah (Fathimah anak putri Maimun anak Hibatallah). Atau kata “Maimun”
kemudian dibaca sebagai “Mahmud”?
Fathimah binti Maimun wafat pada hari Jum’at tanggal 7
Rajab 475 H.[13] Tokoh ini dimakamkan di Leran, sekitar 9
Km sebelah utara Gresik, dengan ditandai batu nisan berhiaskan kaligrafi Perso-Arabic, gaya kufi.[14] Kalau data ini kita hubungkan dengan
sejarah nasional yang kita miliki, makam Fathimah binti Maimun tersebut sudah
hidup sejak era kekuasaan Raja Erlangga (1010 – 1042 M) dan penggantinya Raja
Kamesywara I.[15]
Muncul pertanyaan, apakah keberadaan makam-makam
tersebut tidak memiliki arti lain, selain alternatif aktivitas perdagangan?[16]
Penulis memiliki asumsi lain, bahwa orang-orang muslim yang sudah mulai
menjelajah nusantara sejak abad ke-11 tersebut tidak semata-mata berdagang,
tetapi ada hubungannya dengan missi Islam.[17]
Kebetulan bahwa pintu masuk yang paling tepat dan efektif adalah perdagangan,
dimana orang-orang Arab dan sekitarnya serta India serta Afrika Utara didominasi
oleh kegiatan dagang. Jadi disamping kegiatan utama mereka (atau bisa jadi
memang sebagai jalan mudah penyebaran keagamaan), terdapat misi keagamaan yang
diemban.
Di sini nampak bahwa kedatangan orang-orang Arab ke Jawa
bukan semata-mata berdagang. Seperti pula tujuan orang-orang India pada awalnya, bahwa melalui
kegiatan perdagangan pula mereka menyebarkan ajaran Hindunya di tanah Jawa.
Demikian pula kedatangan orang-orang Arab sejak awal abad pertama Hijriah atau
abad ke-7 M (Van Leur, 1955: 110-5; Ambary, 2001: 280-1, 299-301). Mereka
datang ke Jawa juga mengemban missi keagamaan Islam. Pada masa-masa itu (abad
ke-5 H = abad 11 – 12 M), mustahil kedudukan Islam belum mempunyai arti apa-apa
dalam kehidupan bermasyarakat, mengingat bentuk kuburan yang sudah setaraf
dengan candi-candi raja. Hampir dapat dipastikan bahwa Fathimah binti Maimun
adalah istri seorang ulama besar yang masyhur pada waktu itu.
Apalagi penyebutan orang tua dan kakek dari Fathimah
yang mengindikasikan juga, bahwa kakeknya, Hibatallah adalah generasi pertama
yang datang di tempat tersebut. Fathimah, ayah dan kakeknya yang mendiami Leran
adalah dari bangsa atau suku “Lor”, dimana tempat kediaman mereka disebut
dengan Lorin (tempat kediaman orang-orang Lor). Namun karena suku Lor dibawah
pimpinan Ali Ridha (yang dikenal sebagai Raja Wura-wari karena kulitnya yang
kemerah-merahan) memberontak, dan beraliansi dengan Sriwijaya meruntuhkan
kerajaan Kadiri yang berpusat di Wotanmas pada masa Dharmawangsa, maka Lorin
kemudian diserang oleh Airlangga (menantu Dharmawangsa). Perlawanan suku Lor dapat dipatahkan. Oleh
Airlangga, pemukiman Lorin diubah menjadi “Leran” yang bermakna pemukiman
orang-orang yang dikalahkan. Jika makam yang dikemukakan oleh orang-orang Lor
kemudian adalah makam keluarga Hibatallah, tidak lain karena Hibatallah adalah
seorang ulama yang menyebarkan Islam dengan menghindari politik. Pengemukaan
tokoh keluarga Hibatallah sebagai seorang pemuka ulama dengan demikian, dapat
menghapus citra negatif suku Lor sebagai pemberontak di bawah faksi pimpinan
Ali Ridha Sagalor.
Isma’il Raji’ al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi (2003:
61) memberikan dukungan argumentatif bagi fakta tersebut. Keduanya menyatakan
bahwa Islam datang ke kawasan lembah sungai Melayu (Asia Tenggara, termasuk
Jawa), segera setelah kehadirannya di Arab Saudi. Sejak awal atau pra-Islam,
hubungan dan koloni dagang antara Timur Tengah dengan kawasan ini sudah
terjadi. Sehingga pada periode kedatangan para pedagang sejak abad ke-7 sampai
dengan abad ke-17, sudah terjadi pemantapan untuk (dalam istilah sekarang)
berganti kewarganegaraan.[18]
Para pedagang tersebut menikah dengan kaum
pribumi Jawa, belajar bahasa setempat, dan sekaligus mendakwahkan Islam. Mereka
berangsur-angsur ikut mengembangkan keamanan dan kemasyarakatan secara efektif.
Dan sebelum berdiri Negara-negara besar Islam, sudah terdapat perkampungan dan
Negara-negara kecil Islam, sejak tahun 692 M di Sumatra dan 702 M di Trengganu.
Sementara di Jawa sudah muncul banyak perkampungan muslim di tengah kejayaan
Negara-negara Hindu dan Budha. Sementara abad ke-13, menurut al-Faruqi,
merupakan perkembangan pesat Islam sebagai efek dari perjuangan panjang
sebelumnya. Kepesatannya juga berhubungan dengan banyaknya ulama dan tokoh
muslim Timur Tengah dan Eropa yang “lari” ke bumi nusantara sehubungan dengan
serbuan bangsa Mongol di Baghdad. Sebagian besar bangsa Arab beremigrasi ke
Asia Tenggara (Faruqi, 2003: 261).
Sehubungan dengan data yang disuguhkan oleh kitab Musarrar di atas, dan didukung oleh
berbagai penemuan intelektual modern, maka penulis memiliki keyakinan, Fathimah
yang meninggal di Gresik tersebut sekurang-kurangnya memiliki hubungan rapat
dengan Maulana Ali Syamsu Zein sebagai ulama kesohor pada masa Prabu Jayabaya
di kemudian hari itu. Selisih antara tahun wafat Fathimah dengan turun tahtanya
Raja Airlangga (1042) hanya 40 tahun, dan dengan kenaikan tahta Raja Jayabaya
(1135) hanya 53 tahun. Sangat mungkin Syaikh Maulana Ali Syamsu Zain ini adalah
Syaikh Syamsuddin Sagalor, yang makamnya berada di belakang Masjid Setono
Gedong Kediri, dan dikenal sebagai makam Mbah Wasil Syamsuddin. Besar
kemungkinan bahwa Fathimah adalah istri, atau paling tidak sahabat karib
Maulana Ali Syamsu Zein, guru sufi Raja Jayabaya. Apalagi jika kematian
Fathimah yang benar adalah tahun 495 H = 1102 M, maka kematiannya bertepatan
dengan pemerintahan Raja Kamesywara I (1115 – 1135), atau lebih tepat lagi,
Kamesywara belum naik tahta, atau 33 tahun sebelum Jayabaya naik tahta (1135).
Masih terdapat satu hal yang penting. Bahwa Fathimah
yang tinggal di Leran adalah sudah generasi ketiga mendiami kampung Leran. Sebagaimana sudah dikemukakan di atas,
bahwa generasi pertama yang datang di Leran adalah kakeknya, Hibatallah yang
merupakan seorang ulama, sekaligus saudagar dari Persia.
Disamping itu, makam Fathimah menunjukkan satu hal yang
sangat penting. Jika selama ini, para sejarawan menolak argumen bahwa
Islamisasi di Nusantara sudah terjadi sejak abad ke-7 M, karena semata-mata
mengacu tentang kehadiran para pedagang muslim, maka dengan adanya makam
Fathimah persoalan menjadi lain. Bagi para arkeolog, makam tersebut merupakan
bukti kuat bagi sudah hadirnya komunitas muslim di Nusantara (Jawa) yang secara
umum masih berada dalam sistem kekuasaan Hindu-Budha; dan ini sekaligus –
secara arkeologis – menjadi bukti telah berlangsungnya proses islamisasi dalam
pengertian yang sesungguhnya (Ambary, 2001: xi). Justru karena pertimbangan
secara umum masyarakat Jawa masih menganut Hindu atau Budha dan aneka
kepercayaan lain, maka mereka datang dengan membuat komunitas tersendiri, yakni
di Leran.
Pembentukan komunitas muslim seperti ini juga dilakukan
oleh Maulana Malik Ibrahim yang datang di tempat yang sama sekitar tiga abad
lebih sedikit setelah wafatnya Fathimah binti Maimun. Mengapa Maulana Malik
Ibrahim menetap di dekat Leran? Karena disitulah komunitas muslim sudah
terbentuk, walaupun masyarakatnya sudah banyak yang meninnggalkan kepercayaan
Islam setelah serangan Airlangga di tempat tersebut.
Di sekitar sejarah Fathimah binti Maimun ini, di
kalangan sebagian masyarakat sering terjadi kerancuan yang menyamakan antara
Fathimah dengan Dewi Retno Suari. Berikut penulis uraikan analisis atas
kesalahpahaman tersebut.
E. Menyingkap Rahasia Kubur Panjang, Dewi Retno
Suari dan Fathimah binti Maimun
Kerancuan masyarakat (dan sebaian juru kunci
makam terkait) antara tokoh Dewi Retno Suari dengan Fathimah binti Maimun
berlatar belakang pada sebuah hikayat.
Dikisahkan bahwa setelah usaha dakwahnya
berhasil, maka Maulana Malik Ibrahim melaporkan kepada Sultan Kedah, pamannya
sendiri, yang dahulu mengutusnya ke Gresik. Betapa senangnya hati sang paman.
Sultan Mahmud Syah Alam, membaca surat
Maulana Malik Ibrahim yang ditujukan kepadanya tentang segudang keberhasilan
dakwahnya Maulana Malik Ibrahim di tanah Jawa. Namun hatinya masih kecewa karena Raja
Majapahit belum memeluk Agama Islam. Maulana Malik Ibrahim mengusulkan agar
agar puteri Sang Sultan, Dewi Ratna Suari bisa dipersunting Raja Majapahit
dengan maksud nantinya rakyat kerajaan Majapahit lebih mudah memeluk Agama
Islam. Dalam buku ”Sejarah Kubur Panjang” disebutkan bahwa yang memberi usulan
tersebut adalah Sayid Ja’far, bukan Maulana Malik Ibrahim.
Usul Maulana Malik Ibrahim itu
dibahas Sultan dengan para Menteri dan para pembesar kerajaan Kedah. Akhirnya
mereka sepakat bahwa Sultan Mahmud Syah Alam melaksanakan muhibbah ke
Majapaliit. Rombongan Sultan Kedah yang disertai pula puterinya, Dewi Ratna
Suari, mengarungi lautan, dengan perahu yang bertuliskan ayat Al-Qur’an, ”Nashrum
minaliah wa fathun qoriib wabashshiril Mukminiin”.
Pada tahun 1303 Saka atau
tahun 1381 Masehi (dengan candra sengkala : Bumi ngilir tahun becik),
rombongan muhibbah Sultan Kedah mendarat di pelabuhan Jenggolo Gresik.
Dan Sultan Mahmud Syah Alam dipersilahkan beristirahat di Leran.
Sebelum Sultan berkunjung ke
Majapahit, terlebih dahulu mengirimkan surat kepada Raja Majapahit memberitakan
maksud kedatangannya yakni akan bersilaturrahmi ke ibu kota Majapahit dan mohon
diperkenankan bisa bertemu dengan Sang Raja Maja pahit. Keinginan Sultan Kedah
itupun disetujui Raja Majapahit dan pertemuan benar-benar terjadi di desa
Minggiran daerah Krian, dekat Surabaya.
Dalam pertemuan itu Sultan
Mahmud Syah Alam menyerahkan tanda mata sebuah delima besar kepada Prabu
Brawijaya Raja Majapahit. Dan yang penting, Raja Majapahit saat itu telah
mengerti bahwa puteri Sultan Kedah yang bernama Dewi Ratna Suari yang juga ikut
hadir dalam pertemuan tersebut, agar bisa dipersuntingnya. Namun Sang Raja
rupa-rupanya merasa tersinggung dan suasana agak sedikit tegang.
Setelah rombongah Sultan Kedah
pulang ke Gresik, Raja Majapahit memerintahkan agar buah delima pemberian
Sultan Kedah itu dibelah. Dengan muka masam Raja Majapahit memperhatikan buah
delima itu karena jauh-jauh datang tetapi hanya memberi buah delima. Bukankah
buah delima ada di mana-mana, demikian pikir Sang Baginda dengan perasaan
heran. Tetapi alangkah terperanjatnya Sang Raja ketika melihat isi buah delima
yang dibelah itu penuh dengan intan permata belaka, padahal dari luar kulit
delima tidak tampak berlubang dan tidak ada goresan meskipun sekecil lubang
jarum. Pastilah Sultan Kedah itu bukan sembarang orang, demikian pikir Sang
Raja lagi. Dalam hati Sang Baginda amat menyesal atas sikapnya yang kurang
menghargai Sultan Kedah. Dan beliau akan menemui Sultan Kedah ke Gresik untuk
minta maaf dan sekaligus akan mempersunting Dewi Ratna Suari, puteri Sultan
Kedah itu.
Sementara itu, setibanya di
Leran, Sultan Mahmud Syah Alam diliputi rasa sedih dan kecewa atas kegagalan
diplomasinya terhadap Raja Brawijaya Majapahit. Usaha untuk menjodohkan Raja
Majapahit dengan Dewi Ratna Suari tidak berhasil, dan tentu saja harapan
mengislamkan Sang Raja juga jauh lagi. Maka Sultan Mahmud Syah Alam berniat
akan kembali ke Kedah.
Namun nasib naas menimpa
mereka. Wabah penyakit menyerang daerah Leran dan sekitarnya yang membawa
banyak korban penduduk meninggal dunia. Termasuk puteri Sultan Kedah, Dewi
Ratna Suari juga meninggal dunia, ditandai candra sengkala; Puteri Rusung
Nawang Wulan: 1331 tahun Saka atau 1389 tahun Masehi.
Juga ikut meninggal dunia,
kedua pengiring Dewi Ratna Suari, yaitu Nyai Kuring dan Nyai Seruni. Juga
termasuk yang menjadi korban wabah hingga meninggal dunia adalah bibinya Dewi
Ratna Suari, Senopati Sultan Kedah, Sayyid Jalal dan Sayyid Syarifuddin. Di
dalam cungkup makam Fathimah, selain nisan Fathimah juga ada nisan-nisan yang
diberi nama-nama: Nyai Sruni di sebelah timur nisan Fathimah. Di sebelah barat
nisan Fathimah ada nama-nama Putri Keling, Putri Kucing dan Putri Kamboja.
Nampaknya pemberian nama-nama ini tidak otentik, sebagaimana tidak otentiknya
penyamaan sosok Fathimah sebagai Dewi Retno Suari.
Sampai di dalam perjalanan
pulangnya Sultan Kedah dan rombongan ke negeri Kedah, di tengah perjalanan,
masih ada yang meninggal, dan mereka ada yang dimakamkan di Pulau Madura, dan
ada yang dimakamkan di Pulau Bawean. Kedua pulau itu dekat Gresik.
Tersebutlah, beberapa saat
setelah Dewi Ratna Suari meninggal dunia dan Sultan Mahmud Syah Alam beserta
rombongan kembali ke negeri Kedah, utusan dari Raja Majapahit pun datang ke
Leran. Utusan tersebut membawa berita bahwa Raja Majapahit akan meminang Dewi
Ratna Suari dan permintaan maaf dari Raja Majapahit kepada Sultan Mahmud Syah
Alam, serta ucapan terima kasih atas pemberian hadiah intan permata yang
dibungkus delima merekah. Namun apa dapat dikata, Dewi Ratna Suari telah
dipanggil Allah SWT, dan Sultan Kedah beserta rombongan telah kembali ke
negerinya lagi.
Adapun tentang
Maulana Malik Ibrahim sendiri setelah Sultan Mahmud Syah Alam kembali ke Kedah,
masih terus menyiarkan Agama Islam di daerah Leran dan sekitarnya. Beliau
mendirikan langgar atau musholla di desa Sawo yang hingga sekarang masih ada.
Dan akhirnya beliau berdomisili di Gresik hingga wafatnya pada tahun 1419
Masehi dan dimakamkan di Gresik pula.
Terkait dengan
itu, maka di Leran terdapat makam dengan ukuran nisan yang panjang-panjang.
Memang di Indonesia ini, di
komplek-komplek pemakaman raja-raja atau pasarean para Wali terdapat beberapa
kijingan (bangunan nisan di atas pusara) yang panjang. Orang Jawa biasa
menyebut Makam nDowo yang artinya makam panjang. Di lokasi pesarean Raja-raja
Muslim di belakang masjid Agung Demak bahkan ada yang 9 meter panjangnya. Di
kompleks makam Trowulan juga sama, nisan dari para wali yang dimakamkan
panjang-panjang.
Demikian pula di lokasi
pesarean Leran, Gresik, terkenal juga dengan Makam nDowo, ada nisan yang
membujur panjangnya sembilan meter. Jumlah makam panjang di Leran ada enam
nisan.
Di sebelah timur cungkup makam
Fatimah binti Maimun, terdapat makam panjang berpagar tembok keliling, yang
disebut sebagai makam saudara misan Sultan Mahmud Syah Alam bernama Sayyid Ja’far.
Di sebelah baratnya makam Sayyid Ja’far terdapat nisan Sayyid Syarif (Hasyim
mengejanya sebagai Sayid ’Arif), dan yang paling barat adalah nisan dari Sayyid
Karim.
Adapun pusara yang terletak di
sebelah timur dari ketiga Sayyid tersebut adalah satu buah makam panjang yang
tidak bertembok di sekelilingnya (atau karena sudah runtuh?) yang
diidentifikasi sebagai makam Sayid Jamaludin. Di paling timur juga terdapat
makam panjang bertembok keliling berisi dua nisan panjang, yang disebut sebagai
makamnya Sayyid Jalal dan Sayyid Jamal (Hasyim menyebut nama Syarifuddin),
keduanya adalah Senopatinya Sultan Mahmud Syah Alam dari Kedah, yang meninggal
karena terserang wabah penyakit yang menyerang juga kepada Dewi Ratna Suari.
Sebagian versi menyebutkan bahwa mereka adalah para prajurit-prajurit Sultan
Mahmud yang diberi kuasa untuk memegang dan mengurus barang-barang pusaka di
zaman dahulu. Juga ada yang menyebutkan mereka adalah para paman dari Fathimah.
Penyebutan beberapa makam
panjang sebagai kerabat Sultan Kedah dan juga kerabat Fathimah, bisa jadi
hanyalah untuk memudahkan identifikasi, serta untuk mendukung kisah yang ada
agar menjadi lebih bermakna.
Namun penulis menduga, dengan
melihat posisi makam yang berjauhan, juga bentuk nisan yang berbeda antara
nisan yang ada dalam cungkup makam Fathimah dengan nisan-nisan panjang, berarti
orang yang dimakamkan juga memiliki masa yang berbeda. Artinya, memperhatikan
sejarah daerah Leran, bisa jadi, bahwa makam-makam yang diberi nama-nama Sayid
Ja’far, Sayid Syarif, Sayid Karim, Sayid Jalal, Satid Jamal dan Sayid Jamaludin
adalah makam para ulama penyebar Islam di Leran dan sekitarnya, pada masa-masa
sejak sebelum Fathimah meninggal.
Mengapa dinamakan Makam
Panjang, hal ini ada beberapa pendapat. Antara lain mengatakan bahwa tokoh yang
dimakamkan di bawah nisan yang memanjang itu adalah orang yang dahulunya datang
dari negeri yang jauh. Ada juga yang berpendapat bahwa sang tokoh adalah
pribadi yang bijaksana artinya pandangan serta alam pikiran dan wawasannya yang
jauh jangkauannya dan luas sehingga sulit dipahami oleh orang kebanyakan. Dan
bila yang dimakamkan itu adalah tokoh muballigh, maka mempunyai arti kiasan
bahwa penyiaran Agama Islam di Jawa atau Nusantara ini masih memerlukan waktu
yang panjang untuk keberhasilannya.
Pada kompleks makam panjang
tersebut, makam Fathimah berada pada kompleks tersendiri, yang diberi pagar
tembok tebal mengelilinginya. Pagar tembok dengan tebal sekitar 1 m memiliki
ciri-ciri bangunan kuno berusia ratusan tahun. Demikian pula bangunan cungkup
makam yang jika dilihat dari dalam bersusunan seperti bangunan candi,
mencirikan konsep bangunan yang sangat kuno.
Dalam kisah legenda masyarakat
(sebagaimana dituturkan dalam buku Sejarah Makam Panjang, hlm. 10-11),
bangunan makam Fathimah tersebut disebut sebagai bangunan yang belum jadi.
Dikisahkan bahwa setelah Raja Brawijaya membuka buah Delima, muncul rasa
penyesalan. Sehingga timbullah niat untuk menemui Sultan Mahmud di Leran, karena
merasa berhutang budi yang sangat besar.
Namun sesampainya di Leran,
ternyata Sultan Mahmud sudah pulang ke Kedah, sedangkan Dewi Suari atau
Fathimah sudah wafat. Untuk menebus rasa hutang budinya, mka Raja Brawijaya
membuat bangunan berupa gedung yang sangat megah diatas makam Dewi Suari alias
Fathimah, dengan dibantu oleh Sayid Ja’far dan Maulana Malik Ibrahim. Tidak
ketinggalan juga bantuan para jin untuk mempercepat pekerjaan.
Dikisahkan juga bahwa
rencananya, pembangunan gedung makam itu dilaksanakan dalam tempo semalam.
Namun baru setengah malam, Sayid Ja’far mendengar kokok ayam yang biasanya
menjadi pertanda bahwa waktu pagi sudah datang. Sehingga pekerjaan pembangunan
yang baru mendapatkan separo itu dihentikan. Karena sudah terlanjur dihentikan,
maka sewaktu diketahui bahwa waktu masih malam, pekerjaan pembangunan tidak
dilanjutkan lagi. Hasilnya adalah bangunan cungkup Dewi Suari alias Fathimah
tersebut bukanlah bangunan utuh, namun baru berupa bangunan cungkup setengah
jadi. Tentulah kisah ini bersifat semi-mistis, karena hampir sama dengan kisah
dongeng Candi Roro Jonggrang yang dibangun hanya dalam waktu semalam. Namun
malam belum habis terdengar kokok ayam, karena tipu daya Roro Jonggrang,
sehingga bangunan candi juga tidak sempurna, yaitu masih kurang satu candi
lagi. Di Indonesia, cerita-cerita seperti sangatlah banyak.
Kisah tersebut mungkin ada
benarnya, jika dilihat dari arsitektur bangunan candi, karena memang bentuk
bangunan mirip candi yang baru setengah jadi. Namun jika melihat masyarakat
Leran yang berasal dari masyarakat Lor di Persia, maka bentuk bangunan seperti
yang sekarang ada di Leran sebagai cungkup makam Fathimah adalah hal yang wajar.
Sebagaimana sudah dikemukakan,
bahwa cerita tradisi lisan orang Jawa telah menghubung-hubungkan bahwa Fatimah
binti Maimun yang batu nisannya terdapat di Leran Gresik itu sama orangnya
dengan Dewi Ratna Suari, puteri dari Sultan Mahmud Syah Alam yang diusahakan
oleh Maulana Malik Ibrahim. Jadi Fatimah binti Maimun itu ya Putri Leran, ya Dewi
Ratna Suari atau Putri Dewi Sari, satu orangnya. Demikian asumsi masyarakat
Jawa.
Yang jelas tulisan yang
ditemukan pada nisan Fatimah binti Maimun di Leran itu adalah tgl. 7 Rajab
tahun 475 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1082 Masehi.
Adapun Dewi Ratna Suari atau
Putri Dewi Sari meninggal dunia ditandai dengan candera sengkala; Puteri
Rusung Nawang Wulan, yakni, tahun 1311 Saka atau tahun 1389 Masehi.
Sedangkan wafatnya Maulana
Malik Ibrahim adalah tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 822 Hijriyah atau bertepatan
dengan tahun 1419 Masehi.
Melihat data di atas, maka
masa kehidupan Dewi Ratna Suari puteri Sultan Kedah, dengan masa kehidupan
Maulana Malik Ibrahim adalah memang satu masa, dengan jarak wafatnya kedua
tokoh itu adalah 20 tahun.
Tetapi tahun meninggalnya
Fatimah binti Maimun adalah jelas 1082 Masehi. Jadi masa kehidupan antara
Fatimah binti Maimun dengan Dewi Ratna Suari itu berselisih tiga abad. Maka
apakah mungkin antara dua nama tersebut di atas satu orangnya? Tentu saja hal
itu adalah mustahil.
Yang mengherankan adalah hasil
research dari salah satu lembaga ilmiah, yakni Lembaga Research
Pesantren Luhur Islam Jawa Timur yang telah mengadakan penelitiannya pada tgl.
27 April - 23 September 1973 (PPPSG Gresik halaman 37 dan 40), juga mengatakan
bahwa Fatimah binti Maimun itu sama orangnya dengan Dewi Ratna Suari puteri
Sultan Mahmud Syah Alam dari Kedah yang hidupnya sejaman dengan Maulana Malik
Ibrahim. Padahal bila ditilik baru sekilas saja hal itu tidak masuk akal, dua
pribadi yang masa hidupnya selisih berabad-abad kok bisa dianggap sebagai satu
pribadi yang hidup dalam satu masa yang sama. Lebih disayangkan lagi, buku (Sejarah
Kubur Panjang, 1991) yang dikeluarkan oleh pemangku makam Leran juga
menyamakan tokoh Fathimah binti Maimun dengan Putri Dewi Retno Suwari. Lebih
tidak masuk akal lagi ketika dalam buku tersebut nama-nama Fathimah, Prabu
Brawijaya, Maulana Malik Ibrahim, Sunan Giri (hlm. 7-10) disebut sebagai
orang-orang yang hidup sezaman. Padahal buku tersebut juga mencantumkan tahun
wafat Fathimah pada angka tahun 1081 M/474 H. Tentu saja informasi-informasi
seperti ini tidak bisa diterima dari sudut pandang apapun. Tentu saja
dinas-dinas kepemerintahan seperti dinas purbakala, dinas pariwisata dan
sejenisnya seharusnya ikut andil dalam penerbitan buku-buku resmi mengenai
informasi situs-situs yang ada, sehingga masyarakat dapat memperoleh informasi
yang benar, dan lebih dekat dengan data sejarah.
Dengan demikian maka masa
hidup Fatimah binti Maimun adalah lebih kuno dari masanya Dewi Ratna Suari dan
Maulana Malik Ibrahim. Antara kedua wanita itu tidak ada hubungannya baik asal
usulnya maupun peranannya dalam sejarah perkembang-an dakwah Islam di Gresik.
Tegasnya lagi, bahwa Fathimah binti Maimun bin Hibatallah bukanlah Dewi Retno
Suwari yang dikatakan sebagai putri Sultan Kedah Sultan Mahmud Mahdad Alam
(Mahmud Syah).
F.
Nuansa “Islam” dalam Kakawin
Gatotkacasraya (Abad ke-12 M)
Setelah data tentang keberadaan seorang ulama besar
Maulana Ali Syamsu Zein yang telah lama hidup di Jawa Timur sehingga membuat
dirinya berhasil menarik perhatian kalangan keraton Jawa saat itu (Raja
Jayabaya), dan bahwa ternyata sang Raja kemudian tertarik untuk berguru
kepadanya, sebagaimana dituturkan dalam Kitab Asrar, kita mendapatkan pertanyaan sangat menarik, apakah Raja
Jayabaya memang akhirnya menyatakan dirinya memeluk agama Islam? Jawaban atas
pertanyaan ini memang masih samara-samar untuk dipastikan sekarang. Apalagi
dalam wacana akademis, sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dalam
pengertian sejarah nasional Indonesia
sudah didoktrinkan bahwa Raja Jayabaya dinyatakan seolah-olah masih beragama
Hindu/Wisnu, dan tidak mengenal Islam sama sekali.
Namun tentu saja, hal ini logis karena para sarjana
sejarah pada waktu itu belum melihat hubungan data dalam kitab Asrar itu dengan karya Empu Panuluh yang
di dalamnya sudah didapatkan banyak ungkapan dalam bahasa Arab.[19]
Banyaknya kata-kata Arab dalam kakawin Gatotkacasraya
itu membuktikan adanya pengaruh ajaran Maulana Ali Syamsu Zain (Islam) sudah
cukup dihayati oleh pujangga dan masyarakat Kediri di zaman abad ke-12 tersebut.
“Karangan yang ditulis berbentuk kakawin (syair atau tembang lama) ini
seringkali dibacakan ke seluruh Negara, untuk didengar rakyatnya oleh seorang
yang ahli syair (tukang kentrung). Dengan khidmat rakyat kawula Kediri mendengarkannya.
Juga cerita-cerita yang terjalin indah tersebut seringpula digelarkan dengan
wayang beber” (Any, 1979: 40).
Jadi dapat diketahui bahwa apresiasi seni dan budaya
masyarakat Kediri
pada waktu itu sudah cukup tinggi, dan mereka memiliki banyak waktu untuk
menikmati berbagai pertunjukan kesenian dan kebudayaan. Biasanya apresiasi seni
rakyat menjadi kreatif dan cukup tinggi intensitasnya karena kemapanan ekonomi.
Bagaimanakah sebenarnya keadaan masyarakat kebanyakan, dan tingkat kemakmuran
kerajaan Kediri , sehingga juga mampu menarik
minat para pedagang dan pelancong asing untuk berkunjung ke Kediri ?
G.
Kondisi Masyarakat Kediri dan Islam Pada
Masa Prabu Jayabaya
Untuk mendapatkan berita yang konkrit mengenai kondisi
masyarakat Kediri
pada masa Raja Jayabaya, agar memperoleh deskripsi yang jelas dan lengkap dapat
digunakan sumber-sumber Cina (Abdullah, dkk., 2002: 9 – 11). Dari berbagai
sumber Cina dapat diperoleh gambaran, bahwa pada waktu itu memang sudah ada kerajaan
besar di Jawa yang bernama Kediri
dengan rajanya bernama Sri Jayabaya.
Diberitakan bahwa penduduk Kediri mempunyai adat rambutnya terurai
panjang, memakai kain sampai ke bawah lutut, dan bertempat tinggal di
rumah-rumah yang cukup bagus. Lantainya terbuat dari batu ubin berwarna-warni,
hijau, kuning, dan sebagainya. Sementara raja, rambutnya tidak terurai, namun
digelung disanggul, memakai pakaian dari bahan sutera alam. Kakinya memakai
terompah terbuat dari kulit binatang. Negara tersebut juga sudah memiliki gedung pertemuan tempat bertemunya kaum
pedagang, saudagar asing dengan pedagang pribumi. Orang-orang
asing datang dengan membawa barang-barangnya, dan mengambil barang-barang
penduduk pribumi. Pasar-pasarnya ramai, apalagi pasar di pelabuhan besar di
Canggu, tempat barang-barang dan hasil bumi dari seluruh kepulauan Indonesia
sebelah timur terkumpul.
Produksi kerajinan Kediri
pada waktu itu tercatat oleh musafir Tionghoa antara lain: berupa padi,
kacang-kacangan, tebu, kedelai, pisang, papaya, kelapa, kulit kayu manis, kayu
cenana, lada, dan sebagainya. Sedangkan hewan ternak yang dihasilkan adalah
ayam, itik, lembu, ikan an penyu. Peternakan penyu, walaupun sekarang ini tidak
mendapatkan perhatian orang, namun pada masa kerajaan Kediri sudah menjadi home industry. Selain hasil-hasil tersebut, di bawah pemerintahan
Raja Jayabaya, Kediri
juga menghasilkan emas, perak, gading, cula badak, kapas, dan sutera. Suatu
hasil yang memiliki daya jual tinggi pada waktu itu. Pajak perdagangan juga
sudah diberlakukan, sehingga pendapatan pemerintah juga cukup besar. Menurut
catatan kropak Tionghoa, besarnya pajak sekitar sepersepuluh dari hasil
penjualan.
Sebagai alat tukar uang, Kediri juga mengenal uang perak dan kuningan,
walaupun tidak disebutkan nilainya masing-masing. Karena perdagangan maju, maka
terciptalah kemakmuran, terutama bagi bangsawannya, menyebabkan mereka dapat
menyisakan waktu luang bagi kepentingan kebudayaan. Musik yang dikenal pada
saat itu adalah tetabuhan yang terdiri dari seruling, gendang dan gambang.
Setiap lima
bulan sekali penduduk mengadakan pesta dalam perahu. Dan ini diketahui langsung
oleh para pedagang dan pelancong asing, yang kadang datang bertepatan dengan
karamaian tersebut.
Pada bulan kesepuluh, rakyat Kediri pergi bertamasya ke gunung-gunung,
yang menunjukkan bahwa kesejahteraan dan kemakmurannya telah tercapai dengan
baik. Sehingga pada waktu itu disebutkan bahwa terdapat tiga Negara terkaya di
dunia, yaitu: pertama, kerajaan
Khalifah di tanah Arab; kedua, Negara
di pulau Jawa (Kediri );
dan ketiga, Negara Sriwijaya (Any,
1979: 41). Sementara dilihat dari besar dan luasnya wilayah kekuasaan, pada
masa itu memang Kediri
kalah disbanding yang lain, seperti; Dinasti Tang Cina (660-907), Sriwijaya
(abad 7 – 14 M), dinasti Umayyah (660-741), dan dinasti Abbasiyah (750-870)
(Abdullah, dkk., 2002: 12). Kedua dinasti terakhir inilah yang disebut kerajaan
khalifah di Arab di atas. Diantara beberapa Negara tersebut, yang paling getol
menggalakkan penjelajahan dan mengirim utusan adalah kerajaan dinasti Tang di
Cina, dan sebagian para utusan tersebut sampai ke Negara Daha-Kediri. Wajar
jika para sejarawan dalam menelusuri awal mula Islam di Nusantara, mengandalkan
informasi dari berita Cina, yang terdokumentasi secara baik.
Dari data-data di atas jelaslah bahwa kedatangan Maulana
Ali Syamsu Zain pada abad tersebut tidak merupakan hal yang aneh, apalagi
mustahil. Ulama tersebut bukanlah hanya legenda atau hikayat, melainkan tokoh
sejarah Islam yang mendahului Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 882 H =
1419 M di tempat operasi dakwah yang sama, Gresik. Dalam kebanyakan asumsi
sejarahwan sekarang, Maulana Malik Ibrahim sering dinyatakan sebagai tokoh
dakwah Islam pertama di Jawa. Yang benar adalah, tokoh terakhir ini, sudah
generasi yang ketiga dari para penyebar Islam di tanah Jawa. Sebab Maulana Ali
Syamsu Zain ternyata, sudah generasi kedua dalam catatan penyebaran Islam di
Jawa.
Data sejarah Islam di Jawa yang lebih tua dibandingkan
dengan kedatangan Maulana Ali Syamsu Zain adalah tokoh banyak karamah yang menancapkan bendera Islam
di kawasan Gunung Tidar pada sekitar tahun 800 – 825 M, pada masa pemerintahan
Raja Samaratungga di sekitar pusat kekuasan Merapi – Merbabu. Fakta ini juga
tertuang dalam Kitab Asrar yang
pertama-tama digubah oleh Pangeran Wijil sekitar tahun 1743 dan 1749 M yang
menyebutkan tokoh Syekh Subakir yang datang pada saat emigran Arab tersebut ke
Jawa, dan mendapatkan kesuksesan besar. Disebut demikian karena, menurut berita
tersebut, Syekh Subakir berhasil mengislamkan Raja Smaratungga, yang dalam
gambaran kitab Asrar gubahan tadi
digambarkan sebagai tokoh Semar dan Togog. Informasi serupa juga dicatat dalam
sebuah naskah tua “Pawartos Bab Lampahipun Tanah Djawi”, tentang perjalanan
Syaikh Subakir dan dialognya dengan Semar dan Togog, yang menjadi ikutan
segenap pembesar pada zamannya (Zamroji, 2009: 40).
H. Mempertanyakan Keislaman
Prabu Jayabaya
Sebagaimana informasi yang disampaikan dalam kitab Asrar, Maulana Ali Syamsu Zein
mengajarkan Islam di Jawa, termasuk kepada Raja Jayabaya dan bahkan sebelumnya
sudah mengajar Islam kepada Ajar Subrata, anak Empu Sedah, yang wafat karena
kesalahpahaman dan ketergesa-gesaan sikap sang Raja atas karya Empu Sedah yang
dibuat atas perintah sang Raja, yakni kakawin Bharatayudha di atas. Raja
Jayabaya mengira bahwa cerita dalam kakawin tersebut memiliki maksud menyuindir
perbuatan sang Baginda sebelumnya, sehingga sang Raja menjadi marah, dan
menjatuhkan hukuman baker kepada Empu Sedah.
Bukti bahwa akhirnya Raja Jayabaya berguru kepada
Maulana Ali Syamsu Zein terdapat dalam point (1) yang menyatakan: “Kitab Musarrar (Asrar) ing nganggit, duk
sang Aji Jayabaya, ing Daha wau kuthane, anggeguru ngelmu cipta, aking ngRum
babonira, pandita kalok kang muruk, ing ngelmu cipta-sasmita”. (Kitab Musarrar ini ditulis ketikia zaman
pemerintahan sang Raja Jayabaya dari Daha atau kerajaan Kediri (Raffles, 1978:
58), berguru ilmu cipta [tasawuf] yang sumbernya berasal dari Rum, yang dibawa
Pandita/ulama terkenal itu [Maulana Ali Syamsu Zein], beliaulah yang memberikan
pelajaran ilmu kepadanya [Prabu Jayabaya]).”[20]
Dalam hal ini perlu difahami, bahwa belajar ilmu tasawuf
kepada seorang ulama Islam yang datang ke sini dengan missi dakwah islam tidak
mungkin jika tanpa mensyahadatkan terlebih dahulu kepada sang murid, yang dalam
hal ini adalah Raja Jayabaya.
Kalimat pada point (1) di atas perlu dihubungkan dengan
pernyataan pada point (4) yang melukiskan keadaan kebatinan atau keruhanian
sang Prabu Jayabaya, sebagai berikut: “Yen
Islama kadi Nabi, ri Sang Aji Jayabaya, cangkramen arga wus suwe, amanggih
marang Ajar ing gunung Padang ,
winon tpane gentur, dadi barang kang cinipta”. (Raja ini jika toh dikatakan
sebagai Islam layaknya seperti Nabi saja (?) tatapan ilmunya; hatta tatkala ia
bercengkerama ke gunung Padang (tempat Ajar Subrata sebagai besannya) lamalah
beliau di sana menjumpai sang Ajar, berwindu-windu lamanya ia bertapa, sehingga
akhirnya berhasillah, apa yang dikehendaki terkabullah”) (Any, 1979: 55, poin
15).
Tentang sanjungan sang pujangga “yen Islama kadi Nabi” perlu mendapatkan perhatian serius. Memang
nampak bahwa hal itu terlalu mencolok, atau sebagai keterlanjuran sang
pujangga. Dengan mengesampingkan bombastisisme bahasa yang dipakai (overacting), justru kita dapat
mengajukan pertanyaan menarik dengan memperhatikan pernyataan itu, apakah sang
Jayabaya sudah masuk Islam benar-benar atau belum? Karena dengan memperhatikan
substansi pesan yang disampaikan dalam kitab Musarrar itu, nyata bahwa baginda sudah berguru tasawuf islam
kepada sang ulama. Namun keraguan ini masih agak muncul, karena stigma
kehinduan dalam sejarah Indonesia
sudah demikian lekat pada pribadi Raja Jayabaya. Andjar Any malah mengambil
kesimpulan, “mengenai ilmu tingkat tinggi masih terus dilakukan diskusi
berhari-hari, bahkan sampai ada yang menganggap bahwa Sang Prabu Jayabaya itu
sebenarnya hatinya telah Islam, tetapi lahirnya masih beragama Hindu” (Any,
1979: 48).
Dari informasi dalam kakawin tersebut di atas, juga kita
peroleh informasi, bahwa ketika Maulana Ali Syamsu Zein akan kembali ke
negerinya, konon dalam pertemuan perpisahan, sang guru memberi petuah kepada
raja Jayabaya sebagai berikut; “Sang Prabu, bila anda ingin mendapatkan
keabadian, hindarkanlah dari perbuatan-perbuatan yang bukan-bukan. Janganlah
tergesa-gesa menjatuhkan hukuman bagi seseorang yang belum diketahjui
kesalahannya. Seyogyanya ditimbang dengan baik-baik sebelum menjatuhkan hukuman
pidana. Hanya seorang yang dapat mengalahkan nafsunya sendiri yang disebut
orang yang berbudi luhur dan pantas disebut ‘satria’”. Prabu Jayabaya mengerti
ke arah mana kata-kata sang Pandita, maka diapun segera menyatakan kesediaannya
untuk memperbaiki wataknya. Maulana Ali Syamsu Zein segera pamit dengan menepuk
pahanya, maka diapun lenyap dari hadapan Prabu Jayabaya…, dan pulang kembali ke
negeri Rum (Any, 1979: 48). Masyarakat Jawa kuno menyebut negeri “Rum” atau
“Ngerum” untuk beberapa negara yang pernah berada di bawah kekuasaan Turki
Utsmani, yang setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel dari bangsa Rumawi,
orang Jaea mengalamatkan “wong Ngerum” kepada Turki Utsmani.
Selain fakta dari dalam naskan kitab Musarrar, kita juga mendapati berbagai
cerita rakyat, yang kalaupun tidak sepenuhnya benar, namun substansinya
mengarah pada kenyataan Islamnya Prabu Jayabaya. Dalam cerita rakyat tersebut
disebutkan bahwa konon sang Prabu Jayabaya pernah kedatangan Dewa Narada yang
antara lain berpesan: “Hai Prabu Jayabaya, ketahuilah bahwa cucumu tidak
mungkin akan lahir bila kamu tidak melepaskan titisan ke-Wisnuan-mu. Apabila
terlanjur-lanjur, maka akan merusakkan segalanya.” Maka Prabu Jayabaya
menjelang kelahiran cucunya (Prabu Anglingdarma) telah mencukur rambutnya,
suatu perlambang bahwa di dalam hatinya dia telah masuk Islam dan memakai
kopiah (Any, 1979: 50-51).
Sebagaimana kebiasaan seorang Raja di Jawa, bila ia
merasa sudah dekat dengan akhir hayatnya, maka terlebih dahulu mengadakan
perjalanan keliling melihat-lihat keadaan Negara an rakyatnya sambil mencari
daerah mana yang pantas hendak dipakai sebagai makam atau untuk mukswa (moksa). Dan sampailah sang Raja
di desa Gagakrungsit.
Di dekat kuburan Pragola, Prabu Jayabaya terhenti
langkahnya karena mendengar rintihan orang menangis yang menyayat hati. Sang
Prabu lalu berhenti dan bertanya kepada seluruh pengiringnya, apakah mereka
juga mendengar suara tersebut? Mereka menjawab bahwa mereka juga mendengarnya.
Kemudian sang Prabu memerintahkan agar kubur tersebut digali. Setelah sampai
kedalaman sekitar satu meter tercium bau harum semerbak. Penggalian diteruskan,
dan saat trebela (kotak tempat
jenazah di liang lahad) terbuka, terdapat kain putih yang tertata rapi, namun
sudah tidak terdapat jasad jenazah.
Sang Raja segera meminta penjelasan kepada Kepala Desa
Gagakrungsit tentang jatidiri orang yang dikuburkan tersebut. Kepala Desa
menjelaskan bahwa yang dikuburkan pada kuburan tersebut adalah seorang wanita
biasa yang meninggal, yang didahului kawin oleh adiknya. Karena rasa malu,
akhirnya ia tidak mau makan, minum dan tidur sampai meninggal. Dan sejak
dikuburkan, seringkali teerdengar suara rintihan dan tangis dari arah kuburan
itu. Kepala desa juga mengatakan bahwa nama gadis tersebut adalah “Suci”.
Cerita tersebut menjadi buah bibir kerajaan, sehingga sang Prabu membuat
maklumat bahwa segala umat Tuhan tidak boleh diperhinakan, biarpun, orang
tersebut nampak hina, ataupun lemah. Sebab, menurut sang Raja, bagaimanapun
keadaannya, jika ia memiliki ketekunan dan kesungguhan hati, akan memiliki
kelebihan-kelebihan tertentu melebihi sesamanya, juga dapat mukswa (Any, 1979:
52).
Apa yang kita dapat dari cerita tersebut? Cerita itu
mengingatkan kita pada sebuah hadits Nabi, yang menyatakan perjalanan
Rasulullah sampai pada sebuah kuburan, dan terdengar rintihan serta tangisan
dari arah kubur tersebut. Nabi kemudian memerintahkan sahabat untuk mencari
pelepah kurma yang ditancapkan di atas kuburan tersebut.[21]
Menurut hadits tersebut, Rasulullah mengemukakan bahwa jenazah yang dikuburkan
kurang merawat kebersihan dirinya setiap kali habis buang air kecil, hingga
menjalankan shalat. Ini adalah sebuah ibarat orang tidak boleh meremehkan
segala hukum sara’ apapun wujudnya, berat atau ringan.
Maka ada pertanyaan yang menggelitik disini, apakah
hadits tersebut ada hubungannya dengan cerita Sang Prabu di Kediri? “Yen Islama kadi Nabi, ri Sang Aji
Jayabaya…”. Wa Allau a’lam bi al-shawab.
I.
Periode Awal Masuknya Islam di Jawa
Dalam kitab Jangka
Jayabaya yang bersumber dari kitab Musarrar,
kita juga mendapatkan periodesasi masuknya Islam di Jawa. Dalam kitab Jangka
Jayabaya versi Pranitiwakya gubahan R.Ng. Ranggawarsita (1790 J = 1861 M) di sana kita mendapati suatu
era yang disebut sebagai “Kalabrata”, tahunnya menunjukkan angka 701 – 800 C =
779 – 878 M. Dalam tahun ini disebutkan baru mulai adanya “pembeberan ajaran
agama” (berbaring panatagama). Maka
yang dimaksudkan nampaknya adalah “kedatangan agama Islam” yang dibeberkan oleh
Syekh Subakir (Syaikh Syamsuddin al-Baqir) kepada raja Smaratungga (800 m – 825
M). Sehingga analisa pembuktian penulis tentang kedatangan emigran-emigran Arab
kedua pada saat ini nampaknya benar.
Kemudian juga terdapat era yang disebut sebagai “Kala
Teteka” (1101 – 1200 C = 1179 – 1278 M), yaitu zaman kedatangan emigran dari
luar negeri ke tanah Jawa berikutnya. Kedatangan Maulana Ali Syamsu Zein adalah
sekitar era ini, apalagi kemudian ditandai tentang banyaknya orang Jawa yang
mencari ilmu pengetahuan ruhani, dan kemudian berhasil. Salah satu contohnya
adalah Prabu Jayabaya yang berguru kepada Syekh Maulana Syamsu Zain tersebut.
Era ini secara jelas menggambarkan ilmu atau kawruh Islam yang dibawa oleh sang Maulana tersebut.
Dari penggambaran ini jelaslah bahwa Islam yang
berkembang pesat pada abad ke-15 dan ke-16, sejak kerajaan Demak berdiri memang
sudah mengalami perjalanan panjang dalam penyebarannya.[22]
Kondisi Islam yang merata saat itu, bukanlah sulapan para wali dalam dewan
Walisanga. Walisanga tinggal meneruskan jalan yang sudah sejak 3 abad dirintis
oleh para pendahulunya.[23]
Bahkan sebelum kadipaten Bintara, sebagai cikap bakal kerajaan Demak berdiri,
ratusan tahun sebelumnya, di pusat ibukota Majapahit sudah terdapat
perkampungan muslim, yang dihuni oleh orang-orang muslim asli Jawa. Terdapat
banyak ulama dan wali yang berdakwah di Indonesia jauh sebelum era Walisanga,
diantaranya adalah Syaikh Isma’il di Bangil yang dikenal sebagai Mbah Bangil
(w. 680 M), Syaikh Syamsuddin al-Washil, Sultan Malik al-Shalih, Syaikh Jumadil
Kubra, Syaikh Ibrahim al-Samarqandi, Syaikh Hasanuddin “Qura”, Syekh Datuk
Kahfi, Aria Abdillah atau Aria Damar yang dikenal sebagai Damar Wulan dan
sebagainya.
Demikian pula di Cirebon, saat itu, sebelum Demak
berdiri dan para Wali dalam dewan Walisanga terbentuk, sudah terdapat pesantren
yang sangat besar dengan ribuan santri, di bawah kepengasuhan Syekh Datuk Kahfi
(Abdullah dkk., 2002: 15-6, 21-2), bersama beberapa tenaga muda dari Spanyol (juga
sering disebut Rum oleh naskah sastra sejarah Jawa). Syekh Datuk Kahfi inilah
yang menjadi guru dari Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan juga Syekh Siti
Jenar sebelum menuntut ilmu ke Timur Tengah, dan meneruskan pola Islam kultural
yang sudah berkembang sejak zaman Raja Smaratungga dan Prabu Jayabaya di atas.
Perjuangan para ulama Walisanga dan Syekh Siti Jenar sendiri kemudian
dilanjutkan oleh para pengikut ajarannya seperti Sunan Geseng, Sunan Bayat (Jawa
Tengah Selatan), Bathara Katong (Ponorogo dan Jawa Timur Selatan), Kiai Santang
(Pasundan), Syekh Abdul Muhyi Pamijahan,[24]
Priangan (Jawa Barat) (Abdullah dkk.: 2002, 21), dan sebagainya.
Untuk lanskap Islam Indonesia, ajaran Islam dalam
madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
sebagaimana diajarkan oleh para ulama model Walisanga terus bertahan hingga
kekuatan bangsa Arab badui dari Nejed dibawah panji-panji kekuasaan dinasti Ibn
Sa’ud menguasai Arab Saudi. Keluarga Ibn Sa’ud, demi untuk menjaga kelanggengan
kekuasaan dan kontrol atas jazirah Arab mengadopsi pemikiran fanatik Muhammad
bin Abdul Wahab (1115-1206 H) sebagai ajaran resmi Arab Saudi. Kekuasaan
keluarga Ibn Sa’ud terjadi selama dua periode.
Periode pertama adalah tahun 1803-1813 M dengan merebut
Makkah dengan brutal dari kekuasaan Raja Syarif Mas’ud yang keturunan
Rasulullah (Siradjuddin Abbas, 2010: 354-357). Saat itu Muhammad bin Abdul
Wahab yang selalu berkonflik dengan pandangan resmi umum masyarakat Arab
membutuhkan figur penguasa agar dirinya dan madzhabnya mendapatkan jaminan
keamanan. Sementara Muhammad ibn Sa’ud membutuhkan seorang ulama yang dapat
mengisi rakyatnya dengan ideologi yang keras, demi memperkokoh pemerintahan dan
kekuasaan, sekaligus dapat melegitimasi segenap tindakan politiknya. Maka
bersatulah antara faham agama dengan raja, antara dua orang Muhammad yang
sama-sama membutuhkan satu dengan yang lain.
Kekuasaan faham Wahabi yang ditegakkan oleh rezim Ibn
Saud kemudian dipatahkan oleh kekuatan Turki Utsmani pada tahun 1813 M, dimana
Arab Saudi kembali kepada kontrol ulama Sunni. Gerakan kaum Wahabi di Hejaz
tersebut kemudian memunculkan gerakan Padri di Minangkabau dengan memunculkan
Tuanku Imam Bonjol sebagai salah satu tokohnya. Bedanya, jika Wahabi di Arab
adalah binaan Inggris (Fathi al-Azhari, 2010: 161-166), maka Paderi di Sumatera
justru melawan penjajahan Belanda.
Periode kedua kekuasaan Wahabi adalah sejak Oktober 1924
yang disebut sebagai “serbuan Wahabi kedua terhadap Makkah” (Martin van
Bruinessen, 1995: 201). ketika kekhalifahan Turki Utsmani dihapuskan, maka
keluarga Ibn Sa’ud dengan bantuan kekuatan Eropa dan Amerika kembali mencaplok Hejaz . Semua yang berbagau Islam Sunni diluluhlantakkan.
Pada tahun 1924 di akhir dinasti kekhalifahan Turki Utsmani, Khalifah Abdul
Majid resminya hanya menjabat Khalifah sampai tanggal 3 Maret 1924, karena
sejak 1 November 1923 Turki dijadikan Republik sekuler, dan tokohnya Kemal
Pasha al-Taturk sebagai Presiden, dengan obsesi besar agar Turki dimasukkan
sebagai bagian dari Eropa. Sultan Abdul Majid dimakzulkan 3 Maret 1924.
Karena kekosongan jabatan Khalifah, Raja Husein Syarif
mengangkat diri sebagai Khalifah tangal 5 Mei 1924, yang membuat Kristen Barat
(Anglikan Ingrtis) was-was dan khawatir, karena Islam dengan sistem kekhalifahan
dapat bersatu menghadapi kekuatan luar. Akhirnya dengan bantuan Abdul Aziz
al-Sa’ud (yang sudah lama memendam hasyrat menuasai Arab, karena kakek
moyangnya, Muhammab ibn Sa’ud, hanya mampu menguasai dari tahun 1803-1813),
penganut Wahabi, berhasil menumbangkan Raja Husein Syarif setelah merebut
Makkah, pada Oktober 1924. Raja Husein lari ke Siprus dan putranya Syarif Ali
hijrah ke Irak. Raja ‘Abdul Aziz menamakan negeri Hijaz dengan nama baru, Arab
Sa’udi (negara Arab yang sudah dikuasai oleh dinasti keluarga Sa’ud). Raja
Abdul Aziz diakui oleh Kerajaan Protestan Anglikan Inggris sebagai Raja Saudi
baru pada tanggal 22 September 1932 (Suryanegara, 2009: 87).
Dendam keluarga Sa’ud terhadap keturunan Syarif terus
berlangsung. Ketika Masjidil Haram dikudeta oleh kelompok ekstrimis Arab yang
tidak puas atas kebejatan moral keluarga kerajaan Saudi tahun 1979, dimana Arab
Saudi sedang menjalankan proyek kebebasan ala Eropa, Raja Husein Yordania yang
berfaham Sunni menawarkan bantuan untuk menggempur para penyerang Masjidil
Haram yang dipimpin oleh salah satu murid fanataik Ibn Baz, Syaikh Juhaimin.
Namun karena dendam lama yang tersisa sejak tahun 1924, Raja Saudi tidak mau untuk
menerimanya. Akhirnya kerajaan Saudi justru meminta badan intelejen dan militer
Prancis sebagai “penolong” menyelamatkan Ka’bah dan Masjidil Haram. Para penyerang tanah suci adalah para murid Syaikh Ibn
Bazz, yang melihat aras penguasa Arab untuk membaratkan Arab, dengan akhlak
yang bobrok: minuman keras, prostitusi, korupsi dimana agama hanya untuk
rakyat, bukan untuk keluarga kerajaan. Untuk menutupi peristiwa tahun 1979
tersebut, karena terkait dengan berbagai kepentingan ekonomi Amerika dan Eropa
di Arab Saudi, oleh para pengamat di sebut sebagai “Kudeta Makkah”, yang
memunculkan kesan sebagai pemberontakan murni.
Sejak menguasai kembali tanah suci Makkah pada Oktober 1924,
pemerintah Arab Saudi berusaha menghilangkan segala benda dan peninggalan
Rasulullah, al-Khulafa’ al-Rasyidin, Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasyiyah
dengan cara dibumihanguskan. Ketika pembumihangusan sudah akan menyentuh kubah
makam Nabi, kelompok ulama Sunni seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengirimkan
delegasi ke Arab Saudi untuk menyampaikan nota protes atas rencana penggempuran
kubah makam Nabi dalam bentuk “delegasi Hejaz”. Nota protes (bersama protes
para ulama Aswaja dunia) akhirnya membuat kaum Wahabi urung menggempur kubah
makam Nabi.
Kekuatan dan aktivitas pemerintah Arab Saudi di tahun
1924 dengan dalih purifikasi agama tersebut memiliki pengaruh yang sangat
signifikan di Indonesia .
Sejak saat itu pula, di Indonesia dengan dipicu oleh berbagai gerakan pemikiran
dan politik para ulama penerus ajaran Muhammad bin Abdul Wahab, membuat
berbagai organisasi dan gerakan yang menyerukan “purifikasi Islam, kembali
kepada al-Qur’an dan sunnah”, namun dengan cara-cara yang tidak sepenuhnya
benar, yang terkadang dengan cara mengatasnamakan sebagai gerakan ulama salaf.
Terkadang terdapat cara-cara yang bersifat radikal, dan tidak toleran. Ya,
sejak 1924 M, ajaran Islam sebagaimana diajarkan para ulama Walisanga, yang
meneruskan tradisi Islam dari para ulama salaf hingga Rasulullah terus
mendapatkan gempuran dan rongrongan yang mengatasnamakan modernitas serta
pemurnian.
J.
Islam di Majapahit dan Demak
Statemen penulis bahwa peran para Walisanga bukanlah
para perintis dan pelopor dakwah, melainkan hanya tinggal meneruskan, dan
berupaya melakukan proses pengajaran Islam secara lebih baik (bahkan kadang
terkesan ada upaya “Arabisasi”), bukanlah pernyataan yang mengada-ada.
Persateruan ulama sufi dengan ulama berorientasi syari’at terjadi pada masa
dewan Walisanga mencapai kemantapan tertingginya, karena afiliasi yang kuat
dengan penguasa. Justru para ulama dan auliya’ sebelum para ulama yang
tergabung dalam dewan Walisanga itulah yang memiliki jasa sangat besar, bagi
perintisan dan pelopor penyebaran islam di tanah Jawa.[25]
Dewan Walisanga dibentuk, karena salah satu pertimbangannya adalah, bahwa
masyarakat muslim telah mencapai jumlah yang “meyakinkan” untuk memiliki dewan
ulama tersendiri. Hanya saja memang adanya gejala proses Arabisasi dari sebagian
para wali berorientasi syari’at, tana disadari kemudian memicu konflik antar
budaya di Indonesia (diawali di kesultanan Demak), karena para ulama bersama
penguasa membakukan Islam syari’at sebagai asas kerajaan. Sehingga gerakan
Islam yang dianggap menyimpang harus dipadamkan oleh penguasa, dan ulama dalam
bingkai Islam berorientasi syari’at, memang pada saat itu tercatat sebagai
sarana efektif gerakan Islam cultural, untuk mengukuhkan status quo (Abdullah dkk., 2002: 26).
Penulis berani membuat analisa seperti itu, karena jauh
sebelum para wali yang dikukuhkan menjadi dewan Walisanga hadir di Jawa,
masyarakat Jawa pada daerah-daerah tertentu seperti di Karawang-Banten (Jawa
Barat), yakni di daerah Kuro, Pesambangan – Cirebon (Ambari, 2001: 220-221), dan
pedalaman Majapahit sudah terdapat kelompok masyarakat Islam yang tampil dengan
kebudayaan lokal (Islam kultural). Sejarawan R. Soekmono memaparkan hasil
penelitian Louis Damais, yang telah berhasil menemukan angka pasti tahun 1368
M, yakni pada masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit, bahwa pada tahun
tersebut di pusat ibukota Majapahit sudah ada komunitas masyarakat beragama
Islam, tepatnya di bagian selatan kota (sekarang di desa Tralaya).[26]
Hal ini menunjukkan bahwa Islam sebagai unsur budaya telah meresap dan diterima
dalam masyarakat yang masih bercorak Hindu. Jadi angka ini menjadi penting,
karena menjadi petunjuk bahwa pada masa kerajaan Majapahit mencapai puncak
kejayaan pada masa Hayam Wuruk, di pusat kota ,
Tralaya, telah terdapat pemukiman masyarakat muslim (Ambari, 2001: 20).
Disertai dengan bukti arkeologis-historis tentang keberadaan pesantren Kuro
(Kerawang) yang dipimpin oleh Syekh Hasannuddin, dan pesantren Amparan Jati
Syekh Datuk Kahfi di Pasambangan (Cirebon) yang sudah kokoh an memiliki santri
ribuan pada masa-masa akhir Majapahit (Ambari, 2001: 221), menjadi suatu tanda,
bahwa disamping pemukiman-pemukiman yang terdeteksi oleh sejarah, atau masih
dapat dilacak peninggalan arkeologisnya, juga terdapat berbagai perkampungan
dan pemukiman muslim pribumi di berbagai tempat. Hanya secara kebetulan belum
terlacak data arkeologisnya dan belum terjamah dengan analisa kesejarahan.
Syekh Qoero (Maulana Hasannuddin) sendiri adalah seorang
ulama asal Campa, yang kemudian mendirikan semacam pesantren di Kerawang, yang
salah satu santrinya adalah Nyai Subang Larang dan menikah dengan Prabu
Siliwangi. Salah satu putra Prabu Siliwangi adalah Nyai Rara Santang (l. 1426
M) yang menikah dengan Syariuf Abdullah (dari Bani Ismail) dan kemudian
melahirkan ulama terkenal Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Suryanegara,
2009: 149-150).
Adapun Syaikh Datuk Kahfi adalah guru dari Raden Walang
Sungsang, putera sulung Prabu Siliwangi (l. 1423 M). Syaikh Datuk Kahfi
terkadang juga disebut sebagai Syaikh Nurjati, berasal dari Makkah, dan pernah
tinggal di Baghdad .
Setelah datang ke Cirebon , beliau membuka
padepokan atau pesantren di Giri Amparan Jati Cirebon . Data ini menunjukkan bahwa kehadiran
Islam kebanyakan memang dimotori oleh para ulama Makkah atau Arab sendiri
sebagaimana pernah disampaikan oleh Hamka (Suryanegara, 2009: 151). Pangeran
Walangsungsang dalam kronik Cirebon juga dikenal dengan sebutan Ki Samadullah
atau Haji Abdullah Iman, dan juga disebut sebagai Ki Cakra Bumi atau Pangeran
Cakrabuana, setelah menggantikan posisi Ki Gedeng Alang Alang atau Ki Danusela
sebagai petinggi di Cirebon.
Keberadaan komunitas di Tralaya-Trowulan sebagaimana
disebutkan di atas tentunya melalui proses yang panjang, untuk dapat diterima
bahkan diijinkan mendirikan perkampungan Jawa-Muslim di pusat ibukota
Majapahit. Proses panjang ini nampak, sebab pada awal abad ke-14 tersebut, di
pusat kerajaan, tepatnya di Trowulan dan Tralaya, sudah banyak dijumpai nisan
orang muslim, dalam komplek pemakaman yang cukup luas. Nisan-nisan tersebut,
berangka tahun sejak 1298 C dan 1302 C (1376 M dan 1390 M). Pada nisan-nisan
tersebut terdapat ciri khas hiasan dan tulisan bertahun Saka dan Hijriah
(Abdullah dkk., 2002: 13).
Yang perlu diperhatikan dalam analisa sejarah adalah,
bahwa membutuhkan waktu yang relatif panjang untuk memunculkan budaya tersebut,
yakni budaya penulisan tahun Saka dan Hijriah secara berdampingan, sebagai
bentuk kesadaran keagamaan. Sehingga sangat mungkin, bahwa terdapat banyak
nisan lain yang tidak berangka tahun, yang justru lebih tua usianya, dan karena
terdapat di situs pemakaman komunitas muslim, maka itu adalah makam masyarakat
Jawa-Muslim Majapahit. Adanya berbagai jenis kebudayaan islam di berbagai
tempat pulau Jawa pada abad ke-13 dan ke-14, seperti pembuatan batu nisan,
pernikahan warga pribumi dengan orang asing, justru menunjukkan bahwa pada saat
itu di berbagai belahan pulau Jawa sudah memiliki akar tradisi Islam yang kuat.
Jadi kenyataan masyarakat islam pada saat itu bukan berarti Islam baru saja
masuk, melainkan sudah cukup lama meluas di pulau Jawa.
Komplek makam Tralaya di atas, sekarang berada di desa
Sentonorejo, kecamatan Trowulan, Mojokerto. Dalam peta kepurbakalaan, kompleks
ini berada dalam lingkungan Trowulan, ibukota Majapahit. Areal pemakaman sangat
luas, berpagar, juga setiap kelompok makam berpagar. Pada bagian barat laut
terdapat kelompok makam raja Majapahit yang telah memeluk islam, yang ditandai
dengan ukiran lambang surya (matahari Majapahit) serta angka tahun. Di dalamnya
terdapat 10 makam dengan nisan berprasasti Arab, selain beraksara Jawa Kuna.
Angka tahun tertua menunjuk 1203 Saka atau 1281 M, dan termuda 1533 Saka atau
1611 M. di bagian lain terdapat sekelompok makam yang dipercaya penduduk
sebagai makam para sunan (anggota dan murid Walisanga), yang juga dikenal
sebagai “Sarean Songo”.
Louis Damais berhasil
menemukan angka tahun yang pasti tentang keberadaan komunitas muslim di
kotaraja Majapahit, yakni tahun 1368 M, pada masa Hayam Wuruk, yang merupakan
hasil penelitian Damais di Tralaya. Dengan demikian, maka nyatalah bahwa pada
pertengahan abad ke-14 di ibukota kerajaan Majapahit memang sudah banyak
pemeluk Islam. Ini berarti bahwa Islam di kota Majapahit bukan sesuatu yang
asing, dengan kesimpulan lebih lanjut bahwa penyebarannya sudah berlangsung
sejak beberapa waktu sebelumnya (Soekmono dalam Soedjatmoko, et.all., 1995:
35), bahkan beberapa abad sebelumnya. Yang patut diperhatikan bahwa kondisi
tersebut terjadi di pedalaman Majapahit. Sehingga untuk kondisi pesisir yang
menjadi wilayah Majapahit, masyarakat muslim sudah lebih ramai, dan lebih tua,
karena Islam pertama kali dianut oleh masyarakat pesisir, yang sangat
dimungkinkan sejak abad ke-7 dan abad ke-8 M.
Brosur resmi Pusat Informasi
Majapahit (Museum Trowulan) bahkan menyebutkan, Sabdo Palon dan Naya Genggong
merupakan nama di antara tujuh orang yang dimakamkan di situs makam Troloyo di
Desa Sentonorejo, Trowulan. (Lihat brosur Visit Majapahit Kingdom Sites. Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata - Balai Pelesatarian Peninggalan Purbakala Jawa
Timurj Mojokerto). Perlu diketahui bahwa ketujuh makam di situs Troloyo
tersebut, yang dikenal sebagai ”makam Srengenge” adalah makam para abdi dalem dan
ulama serta pejabat Majapahit yang telah memeluk agama Islam. (Ricklefs, 2001:5-6;
Lombard, 2005:34). Selain Sabdo Palon dan Naya Genggong, yang berada pada
urutan ke-4 dan ke-5, juga terdapat nama-nama: Patih Noto Suryo (ke-1), Patih
Noto Kusumo (ke-2), Gajah Permodo (ke-3), Laba (Mban) Kunasih (ke-6), dan Kulo
Putro (ke-7). Namun nampaknya pemberian nama-nama tersebut tidak semuanya
benar. Karena salah satu nisan dari tujuh nisan yang ada, jelas-jelas
mencantumkan nama Zainuddin dengan tulisan Arab kufi, namun nama tersebut tidak
tercantum dalam brosur, buku, atau bahkan dalam denah peta nisan di makam
Troloyo tersebut.
Sayangnya, keberadaan makam
bersejarah dan yang menyimpan banyak rahasia tentang eksistensi Islam di zaman
kejayaan Majapahit ini tidak mendapatkan perhatian dan perawatan yang
semestinya. Bahkan terkesan ada pembiaran terhadap aksi pengrusakan terhadap
nisan-nisan kuno yang ada, sehingga banyak batu nisan yang dipotong dan dicuri,
entah kemana perginya. Seolah-olah terdapat kesan, agar suatu saat, tidak
terlacak lagi keberadaan Islam di Indonesia sejak awalnya, karena hilangnya
banyak situs Islam pada masa-masa awal di nusantara. Sehingga dengan begiutu,
suatu saat nanti, tetap akan muncul kesan kuat bahwa Majapahit benar-benar
negara Hindu Budha, tanpa ada Islam di dalamnya. Padahal, jika semua situs yang
ada dapat dipertahankan secara baik, dan diteliti secara seksama, justru akan
memunculkan kesan lebih kuat tentang eksistensi Islam yang lebih kuat dibanding
eksistensi Hindu dan Budha di puncak kejayaan Majapahit tersebut. Sehingga
sebenarnya, membaca persateruan antara Majapahit dengan Pajajaran, bukan hanya
sekedar gara-gara gengsi para Raja yang minta dihormati terlebih dahulu, namun
bisa dibaca sebagai pertempuran dan peperangan antara dua kerajaan besar yang
berbeda ideologi, keyakinan dan agama. Jika Pajajaran adalah representasi
kerajaan Hindu Budha yang mulai runtuih, maka Majapahit adalah representasi
kerajaan Muslim, yang didalamnya terdapat keragamaan agama dan kepercayaan yang
dilindungi negara, sehingga mereka pun menyatakan kesetiaan terhadap Majapahit.
Meskipun demikian ”cerita”
tentang nama Sabdo Palon dan Naya Genggong di situs Troloyo ini hanya
didasarkan kepada tradisi lisan. Kebenarannya sudah tentu sukar diverifikasi.
Sangat mungkin cerita-cerita babad banyak menggali ide dari tradisi oral yang
berkembang dalam masyarakat. Tradisi tersebut kemudian diolah dengan penambahan
muatan nilai baru dan dimodifikasi sesuai pesan yang hendak disampaikan. Namun
sejauh belum terdapat pernyataan lain yang lebih kuat, tentu asumsi itulah yang
dapat dipakai sebagai bagian dari analisis sejarah. Dan jika antara ”makam”
Sabdo Palon serta Naya Genggong yang berada di tengah pemakaman makam-makam
muslim itu dikaitkan dengan keberadaan para pejabat Majapahit yang muslim, maka
hal tersebut semakin mendukung kebenaran bahwa kerajaan Majapahit telah sejak
lama menerima Islam sebagai salah satu anasir yang tidak terpisahkan.
Pada kunjungannya sekitar tahun 1814, Raffles mencatat
bahwa di Trowulan terdapat (bahasa Raffles “kami menemukan”) makam Putri
Champa. Makam tersebut dibangun dengan gaya
Islam, dan tertulis angka tahun dalam huruf Jawa, 1320. Tidak dijelaskan apakah
tahun Saka atau Masehi. Tetapi kronik Jawa umumnya ditulis tahun Saka. Sehingga
jika dikonversi ke tahun Masehi adalah tahun 1398. Menurut Raffles, makam bernuansa keagamaan
tersebut mendapatkan penjagaan dari beberapa ulama (Raffles, 2008: 397-398). Pada
awal Juli 2011 penulis menyempatkan diri berziarah ke makam Putri Campa
tersebut, yang terletak tidak jauh dari kolam segaran, yakni kolam istana
Majapahit, yang menjadi kolam terbesar di Asia Tenggara.
Nama “Trowulan” sendiri sesungguhnya sangat menarik
untuk diteliti. “Trowulan” atau yang disebut juga dengan Trang Wulan (Raffles,
2008: 397) bermakna “Terang Bulan”. Masyarakat Jawa kuno (bahkan ketika penulis
masih kecil, antara tahun 1975-1980, ketika aliran listrik belum masuk desa,
masih mengalami terang bulan tersebut), memiliki kebiasaan khas, setiap malam
purnama, masyarakat besar-kecil, tua-muda, laki-laki-perempuan, keluar dari
rumah. Sebagian berkumpul di halaman masing-masing, dan kebanyakan berkumpul di
tanah lapang. Jika berada di lokasi perkotaan keluar ke alun-alun, menikmati
suasana malam yang disebut “padhang mbulan” (terang bulan). Fungsi alun-alun
dan lapangan pada saat itu, yang utama adalah sebagai sarana berkumpul warga
pada waktu-waktu khusus, selain tempat unruk sidang rakyat. Berbeda dengan
zaman sekarang yang kegunaannya semakin menyempit sebagai tempat olah raga dan sekedar
upacara pada hari-hari tertentu.
Mengkaitkan nama tempat “Trowulan” dengan kebiasaan
masyarakat tersebut, dapat dipastikan bahwa pada zaman Majapahit, Trowulan
(yang berasal dari kata Trang Wulan) merupakan areal tanah lapang (alun-alun?) kota yang digunakan warga
atau rakyat untuk menikmati bulan purnama. Hal ini sesuai dengan hasil kajian
Paul Michel Munoz (2009:404) yang menjelaskan bahwa Trowulan sebenarnya
bukanlah sebuah kota
dalam arti seperti ibukota-ibukota Asia Tenggara lainnya. Tidak seperti
kota-kota melayu, tidak ada bastion-bastion, tidak ada perbentengan atau
benteng-benteng. Tetapi ia adalah sebuah kelompok struktur atau kompleks
bangunan yang dipisahkan oleh jalan yang lebar dan berbagai alun-alun terbuka
yang luas. Skema bangunan yang kompleks itu meliputi sebuah wilayah yang
memiliki luas 100 Km². Kompleks-kompleks itu biasanya memiliki pelataran,
pepohonan dan paviliun terbuka dan hanya kompleks-kompleks inilah, beserta
pelatarannya, yang dikelilingi oleh dinding atau pagar. Peninggalan dari pagar
dan berbagai pembatas sudah sulit didapatkan. Hal ini disebabkan karena pada
zaman Majapahit bahan bangunan utama adalah batu bata berwarna merah. Namun
sejak awal abad ke-16, yakni setelah Majapahit runtuh, berbagai peninggalan
situs tidak terrawat. Kebanyakan batu bata merah yang menjadi bahan bangunan
utama digunakan oleh masyarakat sebagai bahan semen merah, sehingga semakin
lama semakin habis.
Berdasarkan inspirasi tentang kebiasaan masyarakat Jawa
kuno itulah, kemudian muncul tembang rakyat “padhang wulan” yang mengungkapkan
suka cita rakyat setiap kali menikmati terangnya malam hari bersama-sama,
sambil melepas berbagai beban dan persoalan hidup, membicarakan berbagai hal
secara terbuka, serta mencari berbagai solusi alternatif yang dapat ditempuh
oleh masing-masing pihak. Merekatkan kembali persaudaraan dan kebersamaan,
mengingatkan agar tidak dibiasakan kebanyakan tidur, atau tidur tergesa-gesa,
dan juga pesan untuk menghadapi hidup dengan optimis, seperti terangnya bulan
yang menyiram malam menjadi seperti siang.
Dari angka tahun yang ada, diperoleh gambaran bahwa
komunitas muslim yang dimakamkan di komplek tersebut berkisar dari abad ke-13
sampai abad ke-17, sejak zaman keemasan sampai surutnya Majapahit, bahkan mulai
surutnya Demak. Pada makam tersebut juga didapatkan sebuah makam yang memuat
nama tokoh Zainudin dengan angka tahun wafat 874 H. Ini berarti tahun 1391 M.
uniknya lagi, jika dikaitkan dengan berita datangnya Raja Cermin ke Majapahit,
maka tahun tersebut adalah tahun kedatanngan Raja Cermin di Majapahit (walaupun
sebagian sejarawan mengatakan tahun 1399). Sebagian nisan yang lain ada yang berangka tahun
1376 hingga tahun 1475. Nampak bahwa yang dikuburkan di makam pitu Troloyo
tidak meninggal dalam satu masa. Artinya adalah bahwa makam tersebut, pada satu
kompleksnya disediakan khusus untuk pemakaman orang-orang muslim di pusat
kerajaan Majapahit. Mengingat masanya, maka mereka yang dikuburkan di Troloyo
adalah umat Islam yang hidup pada masa puncak kekuasaan dan kejayaan Majapahit
yang dirajai oleh Rajasanegara atau Hayam Wuruk (1350-1389), dengan Mahapatih
Gajah Mada. Dan mereka tidak semuanya adalah orang Arab atau keturunan asing.
Sebagian besar adalah penduduk Jawa asli, yang memeluk Islam karena pengaruh
para muslim pendatang, baik Arab ataupun kawasan lain (Amen Budiman, Masyarakat
Islam Tionghoa di Indonesia, Semarang: Tanjung Sari, 199: 10).
Selain ciri khasnya tersebut,
dalam kompleks makam itu juga dijumpai pola hias yang amat terkenal dengan nama
“Sinar Majapahit” (le soleil de Majapahit),
yakni pola hias lingkaran bersudut enam maupun duabelas (Montana, 1985:
722-38). Pola hias itu kemudian tersebar di berbagai
makam kuno Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tulisan Arab kufi yang ada dapat dibaca,
diantaranya “Muhammadun” (makam ke-3), kutipan Qs. Ali Imran: 185 (182?) (makam
ke-4), kutipan Qs. Ali Imran: 18 (16) sebanyak lima baris (makam ke-5), kaligrafi Arab
(makam ke-6), dan inskripsi Arab dari hadits Qudsi (makam ke-7). Namun kalimat yang umum dituliskan adalah “La
ilaha illallah, Muhammadar Rasulullah”.
Penulis pada Juli 2011 sempat
menghitung, dari tujuh kepala nisan Troloyo, yang bertuliskan kalimat tauhid
tersebut ada tiga kepala nisan. Sayangnya, situs tersebut juga kurang
mendapatkan perhatian, banyak nisan yang kepalanya sudah hilang. Sedangkan di
dalam kompleks makam Trowulan, banyak situs tulisan pada batu nisan (umumnya
Arab), begitu saja diblok dengan semen dan tembok sebagai bagian dari
rehabilitasi, tanpa memperhatikan nilai dan arti pentingnya bacaan pada nisan
tersebut, sebagai data dan fakta kesejarahan. Artinya sejak pada zaman keemasan
Majapahit, makam Troloyo (Tralaya) sudah difungsikan sebagai makam, dan
terdapat kompleks yang dikhususkan sebagai makam muslim. Secara kebahasaan
saja, kata ”Tralaya” memiliki arti sebagai tempat orang meninggal dikuburkan.
Kebanyakan memakai pola hias
Sinar Majapahit, oleh karenanya penduduk setempat menyebut komplek tersebut
dengan “kubur srengenge” (makam matahari). Dinas kepurbakalaan menggunakan nama
resmi ”makam pitu”. Sayangnya, nisan-nisan tersebut kurang mendapat perhatian
penuh, sehingga sekarang sudah banyak yang hilang. Bahkan sebagian kepala nisan
sudah tidak ada, karena dijarah orang yang tidak bertanggungjawab.
Kepala-kepala nisan yang masih ada, susunannya sudah terbolak balik tidak urut
lagi, dan sebagian lagi sudah dipalsukan.
Penempatan pemakaman muslim di
Troloyo oleh pihak pejabat kerajaan Majapahit tentunya juga memiliki alasan
yang kuat. Bahwa biasanya yang dimakamkan pada kompleks pemakaman di pusat
klerajaan adalah mereka yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan. Artinya
bahwa tidak saja masyarakat pada umumnya yang sebagian telah menjadi muslim
pada era kejayaan Majapahit. Namun banyak juga pejabat Majapahit yang sudah
memeluk Islam sebagai agamanya.
Setelah peristiwa Pasundan
Bubat yang berciri tahun Saka 1279 bertepatan dengan tahun Masehi 1357, maka
Prabu Hayam Wuruk menikah dengan Bhra Parameswara, Paduka Sori. Dari pernikahan
itu lahirlah Kusumawardhari . atau Bhre Lasem. Kemudian dari kitab Pararaton
diberitakan bahwa Hayam Wuruk memperoleh putera dari selirnya, bernama Bhre
Wirabhumi. Jadi yang menjadi raja mewarisi tahta kerajaan Majapahit adalah
Kusumawardhani, bukan Bhre Wirabhumi yang lahir dari selir. Tetapi perselisihan
akhimya timbul antara. keduanya, sehingga timbullah sengketa dan peperangan.
Setelah Mahapatih Gajah Mada
meninggal dunia pada tahun 1364 Masehi dan Prabu Hayam Wuruk mangkat tahun 1389
Masehi, kerajaan Majapahit menjadi suram karena perselisihan di kalangan
keluarga.
Pada tahun 1401 Masehi timbul
perselisihan antara Wikramawardhana
(suami Kusumawardhani) dengan
Bhre Wirabhumi (Menak Jinggo).
Tiga tahun kemudian pecah perang antara Majapahit dengan Blambangan, lamanya
perang dua tahun, antara tahun 1404 hingga 1406 Masehi. Itulah namanya Perang
Paregreg.
Istri Wikramawardhana yang
bernama Kusumawardhani melahirkan putera bemama Suhita. Rani Suhita iniiah yang
berhak atas tahta kerajaan Majapahit setelah Wikramawardhana mangkat, bukan dua
orang putera Wikramawardhana dari selir yang bernama Bhre Tumapel dan Sri
Kertawijaya, Rani Suhita mendapatkan suami Hyang Parameswara (Haji
Ratnapangkajaya) dari Koripan, putera Pandan Salas.
Karena terlibat perselisihan
dan pertengkaran keluarga dengan sejumlah bangsawan lainnya, maka suami Rani
Suhita, Hyang Parameswara atau Haji Ratnapangkajaya ini meninggalkan Majapahit.
Isterinya, Rani Suhita, karena tidak mau mengikuti suaminya, maka Haji
Ratnapangkajaya pergi sendirian.
Ia mengembara sampai di
Tumasik (Singapura), lalu menetap di Malaka dan kemudian membangun kerajaan di
sana, Sebagai Sultan, ia bergelar Megat Iskandar Syah, dan menikah dengan
puteri Sultan Pasai, Zainai ’Abidin Bahian Syah.
Prof. Dr. Slamet Mulyana di
dalam bukunya berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya
Negara-negara Islam Nusantara (Penerbit Bhratara, Jakarta, 1968, halaman
159) mengatakan bahwa hakekatnya Malaka adalah sebuah kerajaan yang sedang
dibangun. Tetapi semenjak Hyang Parameswara memegang kekuasaan di Malaka itu,
Malaka berubah menjadi kesultanan, dan berganti nama menjadi Megat Iskandar
Syah itu. Hyang Parameswara alias Haji Ratnapangkajaya alias Haji Megat
Iskandar Syah inilah yang menjadi Sultan yang pertama di Malaka. Ini terjadi
pada tahun 1414 Masehi. Sejak itu Megat Iskandar Syah memperluas kekuasaan dan
wilayahnya ke luar kesultanan Malaka hingga sampai di pantai Timur Sumatera dan
pantai Timur Semenanjung. Daerah Aru, Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri adalah
termasuk daerahnya Sultan Megat Iskandar Syah.
Dengan penjelasan di atas itu
maka ternyata di antara para bangsawan Majapahit telah ada, bahkan banyak yang
memeluk Agama Islam. Konon ketika Maulana Ishaq (dari Campa), paman Raden
Rahmat atau Sunan Ampel, pergi ke Jawa menyiarkan Agama Islam, Maulana Ishaq
ini mampir dahulu ke Malaka menemui Sultan Megat Iskandar Syah.
Di dalam bukunya Slamet
Mulyana yang lain yang berjudul Menuju Puncak Kemegahan, disebutkan
bahwa Raden Wijaya pernah berperang dengan Paha yang para tokohnya terdapat
para haji, seperti Haji Katamakala. Itu terjadi pada tahun 1292 Masehi (halaman
145). Juga dijelaskan bahwa Raja Kertanegara mempunyai seorang puteri (kecuali
Tribuanatunggadewi) yang bernama Haji Rajadewi (Slamet Mulyana, Menuju
Puncak Kemegahan, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1965, halaman 178). Masih
banyak kenyataan tentang banyaknya pejabat Majapahit yang telah menjadi Muslim,
seperti Raden Kusen Adipati Terung, bahkan Raja Kertawijaya yang sejak remaja
sudah menjadi santri Maulana Malik Ibrahim, Adipati Aria Teja di Tuban, dan
sebagainya. Maka kalau diberitakan bahwa Prabu Brawijaya V adalah seorang
muslim, bukanlah hal yang aneh.
Kembali perlu penulis
kemukakan, bahwa untuk membentuk pola peradaban masyarakat, membutuhkan waktu
yang cukup panjang. Demikian pula untuk mengembangkan
kesadaran keagamaan dalam bentuk kebudayaan pembuatan nisan muslim, seperti di
Majapahit, tentu membutuhkan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Sehingga
walaupun angka tahun wafatnya orang muslim baru didapatkan pada abad ke-13 M,
sangat mungkin bahwa Islam masuk ke Majapahit sejak lama, sebagai kelanjutan
menyebarnya Islam sejak zaman kerajaan Keling, Daha-Kediri dan Singasari.
Demikian pula, jika pada masa Brawijaya V sudah diberikan ijin otonomi bagi
kadipaten muslim di Bintara, tentu terdapat pertimbangan sejarah yang panjang
bagi pemberian konsesi itu, mengapa harus kadipaten muslim? Inilah hal yang
perlu diteliti lebih lanjut, guna lebih merunut rincian penjelasan tentang
penyebaran Islam sejak abad ke-7 sampai abad ke-13 M di Jawa.
Jadi persoalannya bukan memperdebatkan kembali kapan
masuknya Islam ke Indonesia, utamanya Jawa, apakah abad ke-7 atau abad ke-14,
akan tetapi justru meneliti bagaimana penyiaran Islam sejak abad ke-7 sampai
abad ke-14 tersebut di pulau Jawa. Rentang waktu tersebut, sampai saat ini masih
merupakan wilayah perawan bagi penelitian sejarah Islam di Indonesia, dan sudah
saatnya untuk segera disentuh, agar missing-link
proses penyebaran Islam tidak lagi ada.
Terkait dengan warisan sub-kultur islam era Majapahit,
sampai sekarang, pola hias Sinar Majapahit terus berkembang, sebagaimana sejak
abad ke-12 juga menjadi motif pilihan masyarakat. Tipe Tralaya juga dijumpai di
bangunan-bangunan: Masjid Kadilangu, cungkup kubur Sunan Kalijaga, Arosbaya
(Bangkalan), Pusponegoro (Gresik), Madegan (Sampang), lambang “dinasti”
Cakraningrat, Mantingan, Tembayat, Kota Gede, Imogiri, bahkan Selaparang
Lombok. Dewasa ini motif tersebut umumnya digabung dengan tulisan Allah dan
Muhammad di tengah Sinar Majapahit.
Makam Ki Ageng Pengging di Pengging Boyolali, juga masih
menggunakan lambang surya Majapahit, walaupun wafatnya Ki Ageng Pengging sudah
memasuki akhir kejayaan kesultanan Demak. Padahal dari segi fisik bangunan sisa
lama, nampak dari gerbang makam dan pola hias yang ada, mengacu pada model era
Majapahit.
K. Membedah Kontroversi Serat
Jayabaya Sabdopalon Naya Genggong
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa,
walaupun hanya berdasarkan dari cerita tutur, di kompleks pemakaman para
pejabat Majapahit yang kebanyakan muslim, Tralaya, juga terdapat makam yang disebut-sebut
sebagai Sabdo Palon dan Naya Genggong. Dalam sejarah, sekecil apapun informasi
itu, haruslah dicari motifnya. Demikian pula tentang keterkaitan nama Sabdo
Palon dan Naya Genggong di tengah makam Troloyo, dimana kedua orang tersebut
dalam khazanah sastra Jawa selalu dikaitkan dengan keislaman Prabu Brawijaya.
Sebagaimana diketahui, bahwa naskah yang
paling terkenal mengemukakan keterkaitan antara Sabdopalon-Naya Genggong dengan
Islamnya Prabu Brawijaya adalah Serat Jangka Jayabaya Sabdopalon, dan kemudian
disadur sebagai bagian dalam Serat Darmogandhul. Didalamnya juga
terdapat paragraf yang mengetengahkan apa yang disebut sebagai ”kutukan Sabdo
Palon”. Oleh karenanya, masyarakat Jawa yang membaca naskah tersebut, akan
menghubungkan setiap kejadian luar biasa seperti bencana misalnya, dengan
”kutukan Sabdopalon”. Konon, berdasarkan visi ramalan
ini, Pulau Jawa akan terbagi menjadi beberapa bagian akibat bencana dan ajaran
Islam di tanah Jawa akan digantikan oleh agama ”asli” Jawa (lihat M.
Muslih, Republika, Kamis 18 November
2010, hlm. 25).
Jangka Sabdo Palon diyakini
merupakan karya R. Ng. Ranggawarsita, karena didalamnya terdapat sandi nama
yang menunjukkan bahwa Jangka Sabdo Palon merupakan karya R. Ng.
Ranggawarsita (Soewarno,1982:35).
Lalu siapakah Sabdo Palon dan
Naya Genggong? Dua nama tersebut dapat dipahami sebagai satu individu atau dua
individu. Jika kita lihat pemaparan dalam berbagai serat, maka dua nama
tersebut selalu berkaitan. Sabda memiliki makna ”kata” (Mulyono, 2008: 402),
pernyataan atau perkataan mengenai sesuatu perintah atau mengenai sesuatu di
masa yang akan datang (jawa: pamuwus
yakni pembicaraan, percakapan [Mulyono, 2008: 350]), yang seimbang dengan kata
nabda, ”bertitah” (Sudarmanto, 2009: 286). Palon memiliki makna, tambatan hewan
yang kuat di dalam kandang. Artinya suatu patokan yang sangat kuat, yang
membuat yang ditambatkan di situ tidak bisa lari.
Naya artinya ulat yang menjadi
pasemon dari tanah Jawa. Naya dalam kamus bisa berarti ”tingkah laku, kelakuan,
politik, atau pimpinan (Mulyono, 2008: 265). Genggong artinya ”besar” (Mulyono,
2008: 104), bermakna abadi selamanya. Jadi jika digabungkan dari kedua istilah
tersebut, maknanya adalah suatu pernyataan yang tegas tentang sesuatu yang akan
terjadi di masa depan, yang muncul dari para pembesar atau pemimpin dimana
mereka yang terkait dengan pernyataan itu tidak akan bisa keluar darinya.
Pernyataan tersebut akan terjadi ditanah jawa selamanya, sampai akhir
pernyataan itu terjadi secara menyeluruh.
Intinya, bahwa Sabdo Palon
Naya Genggong memiliki maksud ramalan peristiwa yang akan terjadi di tanah
Jawa, sebagai akibat perkataan Sabdo Palon dan Naya Genggong, sebagai akibat
dari sikap Prabu Brawijaya yang dalam serat disebut sebagai perbedaan sikap
serta pendapat antara sang Bendoro dengan punokawannya dalam mensikapi
kedatangan Islam. (lihat M.
Muslih, Republika, Kamis 18 November
2010, hlm. 25).
Kedua tokoh tersebut bisa jadi diadopsi
dari kisah Aji Saka yang juga memiliki dua penasehat utama, yang akhirnya
sama-sama menemui ajal sebagai akibat dari perbedaan penafsiran atas perintah
Aji Saka, walaupun penafsiran tersebut sama-sama benar. Tetapi memang dalam
sejarah selalu disebut bahwa setiap Raja dan Pangeran, dipastikan memiliki
penasehat istimewa, yang lebih bersifat berperan ”di belakang layar”, dimana
nasehat-nasehatnya lebih diperhatikan oleh para pejabat tinggi istana dibanding
penasehat formal yang dimiliki, yang menyampaikan nasehatnya melalui pisowanan
(pertemuan) formal istana. Artinya bahwa perbedaan antara Prabu Brawijaya
dengan dua abdinya tersebut sebenarnya adalah sama-sama benarnya, yang dalam
Islam disebut sebagai khilafiyah.
Yang cukup memprihatinkan adalah, bahwa
pada karya sastra jawa abad ke-19 M, dikesankan dua sosok penasehat Prabu
Brawijaya sangat membenci Islam. Hal ini dipicu oleh adanya karya anonim yang
sangat kontroversial, yakni Serat Darmogandhul. Dari Serat Darmagandhul tersebutlah referensi kebencian Sabdo Palon Naya
Genggong memiliki muaranya (salah satu edisinya adalah K.R.T. Tandanagara,
1830). Apa yang tercantum dalam Serat Darmogandhul (belakangan banyak
diterjemahkan dan dijadikan referensi karya-karya baru, misalnya dalam Nurul
Huda, 2006), sangat berbeda dengan beberapa serat yang mendahului, dan sangat
berbeda dengan kenyataan serta fakta sejarah tentang apresiasi positif pihak
Majapahit terhadap Islam.
Sebagian memang tidak mencamtunkan
kebencian Sabdo Palon Naya Genggong, namun tetap menyebtkan bahwa keduanyalkah
yang tetap membujuk Brawijaya untuk tidak merengkuh Islam (lihat misalnya
Susetya, 2009: 352-353, 364). Bahkan menurut Hadi Saputra, setelah meneliti
secara cermat seluk beluk Serat Darmogandhul, menyatakan bahwa Serat
Darmogandhul harus diwaspadai, sebab dibalik berbagai uraian didalamnya
tersimpan muatan lain, yakni suksesnya missi penginjilan di Indonesia, termasuk
mencantumkan kutukan bahwa agama Islam akan dikalahkan oleh agama ”kawruh”
(Jawa) (Saputra, 2010: 142-143).
Jika kita mencermati masyarakat Mojokerto,
maka paling tidak, masyarakat Mojokerto yang bisa dipandang sebagai pewaris
tradisi pusat Majapahit memiliki gambaran yang sangat bertolak belakang dengan
paparan Serat Darmogandhul.
Dalam tradisi oral yang pernah
berkembang di Trowulan yang diyakini sebagai situs Majapahit, Sabdo Palon dan
Naya Genggong, punokawan Raja Brawijaya, merupakan tokoh yang dianggap
hidup pada masa Majapahit dan bekerja sebagai abdi dalem Keraton yang telah
beragama Islam dan perlu ditekankan, tidak anti-Islam. Jika hal ini yang
terjadi, tentu saja suatu yang wajar, disebabkan Islam sudah berkembang di
Majapahit sejak Prabu Wikramawarddhana (memerintah 1389-1429 M), dengan posisi Maulana Malik Ibrahim (tahun kehidupan 1347-1419 M) yang dikenal sebagai Kakek Bantal, sebagai juru dakwah
Istana, dan bahkan menjadi mitra dialog Raja, disamping menjadi guru bagi Dyah
Kertawijaya. Pengaruh Islam yang sudah demikian mengakar di Majapahit tersebut,
tentu sangat memungkinkan jika pada masa Prabu Brawijaya I Kertawijaya, apalagi
sampai pada Brawijaya V Prabu Kertabhumi, para abdi dalem kraton sudah berada
dalam rengkuhan Islam.
Jika dikaji secara lebih mendalam, Ramalan
Jayabaya Sabdo Palon Naya Genggong sebenarnya tidak hanya berisi tentang
”petuah” Sabdo Palon saja. Justru yang terbanyak adalah wejangan Sunan Kalijaga
kepada Raja Brawijaya tentang ajaran Islam, hingga masuk Islamnya Sang Raja.
Tentu saja jika memang ini benar, maka Brawijaya yang dimaksud adalah Raja
Kertabhumi (tahun kehidupan 1405-1478 M) atau sesudahnya, yang hidup pada masa
transisi Majapahit dan Demak. Kalau Raja yang dimaksud adalah Raja Kertajaya
(tahun kehidupan 1377-1451 M) nampaknya tidak mungkin, dimana pada saat itu
usia Kalijaga baru sekitar 21 tahun, dan pada usia itu, Raden Sahid baru dalam
proses pencarian Ilmu, atau sedang dalam penyamaran sebagai Berandal Lokajaya dan
masih berdiam di Kalijagan Cirebon. Apalagi dalam konteks sejarah, Raja
Kertajaya menjadi muslim berkat dakwah Maulana Malik Ibrahim, yang hidup jauh
sebelum Sunan Kalijaga.
Namun jika yang dimaksud adalah Raja
Kertabhumi, kemungkinan adanya pertemuan dengan Sunan Kalijaga masih bisa
mendapatkan tempat, walau keislaman Kertabhumi tidaklah sekuat Raja Kertajaya.
Hal musykil lainnya adalah, jika benar yang masuk Islam melalui Sunan Kalijaga
adalah Raja Kertabhumi, maka juga harus dipertanyakan, bukankah ia
diindikasikan sudah Islam sejak awalnya? Dengan demikian apa yang menjadi
”dongengan” dalam Serat Darmogandhul
serta Ramalan Jayabaya Sabdo Palon Naya Genggong yang telah diilfiltrasi (tidak
otentik) harus dicermati.
Muslih (2010: 25) dengan
menyebutkan adanya fakta yang ditemukan oleh seorang peneliti
tentang Islam dan budaya Jawa, Susiyanto, bahwa mitos tentang akan lenyapnya
Islam di tanah Jawa, sebenarnya merupakan tradisi tutur yang berkembang akibat
kesalahan pembacaan dan pemaknaan teks. Itu akibat pembacaan yang kurang
komprehensif dalam memahami keseluruhan teks. Ironisnya, mitos yang menisbatkan
rujukannya kepada Jangka Sabdo Palon ini telah diamini oleh banyak pihak
secara taken for granted. Mereka hanya membaca pupuh pertama saja
yang berisi 20 bait tembang ”Sinom” dari karya babad tersebut. Jadi
hanya berpegang pada sekitar sepertiga isi teks dan mengabaikan dua pertiga
sisanya (padahal justru inti dari pernyataan Serat ada pada pupuh terakhir).
Munculnya praktik penafsiran demikian, akhirnya menyebabkan maksud utama dari
pengarang Serat Jangka Sabdo Palon terdistorsi.
Serat Jangka Jayabaya tersebut dalam isinya seolah menggambarkan bahwa Sabdo
Palon hendak mengajarkan Agama Budi atau Buda di tanah Jawa. Padahal jika
diteliti mendalam, istilah-istilah seperti ”Budi” atau ”Buda” dalam jangka
tersebut, ternyata sama sekali tidak menunjukkan paralelisasi dengan eksistensi
ajaran Agama Buddha. Isinya justru menunjukan adanya keinginan mendalam tokoh ”Sabdo
Palon” untuk menganut Islam pada masa yang akan datang, yaitu pasca lima ratus
tahun ramalannya. Sabdo Palon berkehendak menganut ajaran agama ini jika telah
diajarkan secara sempurna, bebas dari penyimpangan. Hal ini ditunjukkan sebagai
berikut (Soewarno, 2004: 25):
”Thathit kliweran ing nusa
Jawa, pratandhane wong nuduhna, sampurnakna agamane, yeku agama rasul,
anyebarna Islam Sejati, duk jaman Brawijaya, ingsun datan purun, angrasuk agama
Islam, marga ingsun uninga agama niki, nlisir saking kang nyata.” (Kilat bersahutan di Pulau
Jawa, pertanda menunjukkan, sempurnakanlah Agama Rasul, sebarkan Islam yang
sejati, ketika jaman Brawijaya, aku belum mau memeluk Agama Islam, sebab aku
tahu agama ini masih menyimpang dari yang nyata).
Bahkan pada bagian akhir
jangka tersebut tokoh Sabdo Palon mengancam ”manusia Jawa” jika mereka tidak
memeluk agama Rasul yaitu Islam yang sejati, maka akan berat tanggungjawabnya
kelak. Dikatakan sebagai berikut (Soewarno, 2004: 25): ”Sampurnakna agamane, yeku
agama Rasul, Islam kang sejati... Ngelingana he pra umat sami, yen sira tan
ngetut kersaning wang, yekti abot panandhange, ingsun pikukuhipun, nuswantara
ing saindenging, ...” (Sempurnakanlah Agama Rasul, Islam yang
sejati... Ingatlah umatku semua, jika kalian tidak mengikuti kemauanku, maka
berat penderitaannya, aku adalah penguat nusantara dan sekitarnya ...).
Jadi, tidak benar
anggapan bahwa Jangka Sabdo Palon merupakan karya sastra yang
menyebutkan Islam akan lenyap dari tanah Jawa. Buku ini justru ”berbicara”
sebaliknya, bahwa Islam di Jawa akan sampai kepada pemurnian ajaran dimana ”Sabdo
Palon” sendiri hendak memeluk agama tersebut. Tentu yang dimaksud sebagai
”Sabdo Palon” akan memeluk Islam ini adalah mayoritas masyarakat Jawa sesudah
Majapahit. Kata ”thathit kliweran ing nusa Jawa” hampir disepakati oleh
para penafsir Ramalan Joyoboyo sebagai kilat Islam yang menyambar dan
mendominasi nusa Jawa (Soewarno, 2004: 47-48). Dengan demikian maka penempatan
”makam” Sabdo Palon Naya Genggong di tengah makam-makam orang-orang muslim
Majapahit menjadi beralasan, bahwa keduanya, jika memang benar-benar adalah
tokoh sejarah, merupakan tokoh Majapahit, paling tidak sangat apresiatif
terhadap Islam, jika belum bisa dikatakan bahwa mereka adalah muslim.
Terkait dengan
cerita antara Prabu Brawijaya dengan Sabdo Palon dan Naya Genggong tersebut,
juga sering dikemukakan kisah bahwa setelah Majapahit kalah perang dengan
Demak, maka atas saran Sabdo Palon dan Naya Genggong, Brawijaya lalu melarikan
diri ke pegunungan Tengger. Hal ini perlu mendapatkan perhatian kritis dari dua
segi: benarkah ada perang antara Demak dengan Majapahit?, dan apa ada bukti
valid bahwa Brawijaya pergi ke daerah Tengger? Berikut ini penulis kemukakan
analisis seorang sejarawan Indonesia, Aminnuddin Kasdi (2005: xvii-xx).
Dalam sumber-sumber
tradisional seperti Babad Tanah Djawi (BTD) dan Serat Kanda (SKd.)
dikatakan bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh ekspansi militer yang
dilakukan oleh Demak pada tahu 1478 (sirna hilang krtaning bhumi) di
bawah pimpinan Raden Patah yang dibantu oleh walisanga. Selanjutnya dikatakan faktor utamanya Raja
Majapahit yang kafir itu menolak memeluk Islam.
Terhadap masalah keruntuhan Majapahit karena
diserbu oleh Demak diberitakan oleh BTD yang ditulis pada tahun 1720 dibawah
redaksi Tumenggung Tirtawiguna atau Carik Bajra, bahkan SKd. berasal dari
periode yang lebih muda lagi. Kedua sumber itu mengenai masalah peperangan
Demak-Majapahit, sulit untuk dipercaya kebenarannya penulisannya, karena tanpa
menggunakan metode ilmiah, apalagi status BTD sebagai kronik resmi
kerajaan yang penulisannya berdasarkan kehendak raja-raja Mataram. Jadi dapat
dibayangkan betapa subyektivitas, segi-segi kredibilitas penggunaan sumber,
sikap berat sebelah pribadi (personal bias), dan penulisannya yang tidak
lepas dari unsur kultus. Dalam penyusunan sejarah BTD dan S.Kd. untuk masa-masa
keruntuhan Majapahit merupakan sumber sekunder. Keduanya ditulis
berdasarkan sumber tradisi lisan atau ceritera dari mulut ke mulut (Jw. Jarene-jare).
Penggunaannya sebagai sumber sejarah, data-data
dari BTD dan S.Kd. harus dibandingkan (cross corroboration) dengan
sumber-sumber lain yang dihasilkan pada saat/zaman peristiwa itu terjadi.
Misalnya dengan mengajukan pertanyaan kritis, apa benar pada tahun 1478
Majapahit telah runtuh, padahal pada tahun 1486 masih ada penguasa Majapahit
yang mengeluarkan prasasti (piagam resmi kerajaan), yaitu prasasti Jiu I-V.
Dalam prasasti Jiu Majapahit disebut pula dengan nama Wilwatiktanagara dan
ibukotanya di Daha. Memang ada konflik militer di Majapahit namun terjadi pada
tahun 1474, tetapi bukan dengan Demak yang dipimpin Patah, melainkan Majapahit
diserang oleh Daha (diduga keturunan Jayakatwang) bernama Diah Ranawijaya
Girindrawardhana putera Girindrawardhana. Majapahit baru lenyap dari peta
sejarah pada tahun 1527 atas serangan Giri sebagai balasan serbuan Sengguruh
terhadap Giri pada masa Sunan Dalem (Giri II, 1506-1545). Sebelum Majaphit
jatuh Tuban pada tahun 1527 masih Hindu dapat diislamkan terlbih dahulu. Hal
ini coherence (cocok) dengan berita Portugis dan Spanyol (Maglhaenes)
yang pada tahun 1522 dalam pelayarannya di Maluku menerangkan bahwa saat itu
pusat kerajaan Jawa masih Hindu berada di Dayo (Daha).
Apabila penyerangan Demak ke Majapahit karena
Raja Majapahit tidak bersedia memeluk Islam, hal ini bertentangan dengan
kenyataan bahwa sejak 1350 pada masa kebesaran Majapahit agama Islam justru
telah berkembang di Ibukota Majapahit. Bahkan para bangsawan keraton telah
mulai memeluk Islam. Tebukti batu nisan mereka selain terbuat dari batu juga
menggunakan lambang atau lencana kerajaan : Sinar Majapahit. Lebih dari itu
jamuan makan pada pesta bulan Phalguna (1365) menurut Ngarakrtagama kepada
penduduk non muslim juga disediakan menu khusus, seperti walang ulat (Jawa: engkuk,
telur lebah). Lebih dari 60 batu nisan bertulis dan berlencana kerjaan dari
periode 1356-1416 ditemukan dari sekitar Tralaya (ksetralaya). Selanjutnya
pada 1415/16 Ma Huan di dalam Yeng Yai Sheng Langyang mengunjungi
Ibukota Majapahit menyatakan bahwa penduduk Ibukota Majapahit terdiri dari 3
kelompok muslim (dari Barat), Cina (kebanyakan juga muslim), dan pribumi
penyembah berhala. Tiada sumber sejarah primer yang memberitakan adanya konflik
sosial karena perbedaan agama.
Masalah orang-orang Majapahit yang mengungsi ke
Tengger, Lereng Gunung Lawu dan ke Bali karena
tidak mau memeluk agama Islam. Benarkah?
Pandangan ini juga mesti dipertanyakan dan
dicocokkan dengan berbagai sumber yang kredibel dan primer yang benar-benar
berasal dari zamannya. Berdasarkan kenyataan di situs-situs Walisanga ternyata
tidak ada petunjuk adanya gejolak sosial budaya (social and cultural
shocks), konflik sosial (social conflict), konflik budaya (cultural
conflict) dan apalagi kemandegan sosial-budaya (social and cultural
leg). Tradisi leluri roh leluhur, nyadran, seni bangunan, seni
relief dan sebagainya justru meneruskan dan memperkaya perkembangan sebelumnya.
Memang ada unsur-unsur yang di perhalus misalnya berbagai gambar atau relief
yang semula bermotif hewan atau fauna kemudian diperhalus atau di-styleer
dengan motif flora berupa sulur-sulur bunga. Sebenarnya hal inipun
ternyata melanjutkan tradisi yang telah dimulai pada candi Singasari (1343) dan
candi Sumberjati (1309). Bahkan struktur bangunan suci Panataran (abad XIII-XV) diambil alih sebagai
master berbagai situs-situs walisanga seperti Giri, Drajat,
Bonang, Kudus dan Kadilangu. Masjid
Demakpun secara aresitektural dengan ornamentasinya juga meneruskan tradisi
sebelum Islam seperti bentuk atap tumpang dan gambar kura-kura di mihrabnya.
Lebih dari itu beberapa bangunan suci seperti Sendang Duwur, Paciran, Giri,
Drajat, Bonang dan Kudus berasal dari bangunan sakral sebelum Islam kemudian
secara bijaksana pimpinannya -pendeta (?) dapat diislamkan dan tempat sucinya
diubah menjadi masjid. Karena proses tersebut terjadi dengan tiba-tiba tidak
jarang tempat semacam itu kemudian juga dianggap tempat suci “tiban”, tiba-tiba
ada.
Berdasarkan peninggalan epigrafis di Tengger
yaitu prasasti bertahun 1405 berisi pemberian status Daerah Tengger sebagai
tempat suci untuk menyelenggarakan kepercayaan setempat (Kasada) sulit
tampaknya bila masalah perbedaan agama dijadikan alasan atas eksodus mereka
dari Majapahit. Demikian pula bukti-bukti arkeologis candi Sukuh (145pl455) dan
candi Cetha yang sangat beraroma kebudayaan Indonesia prasejarah juga telah ada
pada awal abad XV, juga sulit sebagai dalih mengapa orang-orang Majapahit
kemudian menyingkir ke pucuk Gunung Lawu.
Mengenai Bali terdapat sedemikian banyak
persamaan antara Bali dan Jawa sehingga agak ganjil juga bila alasan perbedaan
agama itu dipegunakan sebagai tuduhan bahwa menyingkirnya orang-orang Majapahit
ke Bali karena ditaklukkan oleh Demak.
Boleh jadi karena penulisan BTD pada
awal tahun 1700-an dalam kondisi konflik antara Mataram (Islam) - Blambangan
(Hindu) dan konflik Mataram - Bali, khususnya dengan Danudresta Panji Sakti
penguasa Buleleng yang terus menerus merongrong wilayah Pesisir Utara Jawa,
Madura dan daerah Supit Urang (Malang selatan, Lumajang, Banger-Probolinggo)
menyebabkan para penulis BTD dan kemudian S.Kd. karena tidak memiliki sumber
yang memadai tentang masa akhir dan keruntuhan Majapahit menjadikan situasi
peperangan antara Mataram-Blambangan dan Bali sebagai model/pola atau analogi
untuk menggambaran keruntuhan Majapahit.
Memperhatikan
berbagai pemutarbalikan fakta sebagaimana dicontohkan dalam memahami Serat
Jangka Jayabaya Sabdo Palon tersebut, maka terdapat hal yang penting. Para
sarjana Muslim hendaknya secara bersungguh-sungguh melakukan penelitian
terhadap manuskrip-manuskrip kuno, khususnya yang berkaitan dengan Islam, dan
juga terhadap cara pembacaan dan pemaknaannya, agar umat Islam Indonesia
terhindar dari kesalahpahaman atas ajaran agamanya sendiri, dan juga agar tidak
terjebak dalam kesalahan memahami sejarah perjalanan agamanya sendiri.
L.
Kehadiran Syekh Siti Jenar dan Walisanga dan
Islam Kultural di Jawa
Berdasarkan berbagai analisis tersebut di atas, menjadi
jelaslah bahwa penyebaran Islam di Jawa sudah berlangsung sejak abad ke-7 dan
abad ke-8 M. proses masuk dan kehadiran Islam di Indonesia berlangsung sampai
abad ke-13 M. Sementara abad ke-13 dan ke-14 yang diyakini sebagai proses
masuknya Islam pertama kali di Indonesia, sebenarnya sudah merupakan era atau
tahapan atau fase penyebaran dan perkembangan Islam lebih lanjut, dalam skala
massif, yang mengakibatkan proses lanjutan yang penting, yakni tahapan
terbentuknya kerajaan Islam atau kesultanan. Pada masa itulah mulai muncul
proses penyiaran Islam dengan basis budaya Arab (sebagian orang menyebutnya “Arabisasi”)
oleh para ulama asal luar negeri, kawasan Asia Barat (baik dari Timur Tengah
ataupun ulama “pelarian” dari Maghrib dan Spanyol, yang dihancurkan oleh bangsa
Eropa pada abad ke-13 M sampai abad ke-15 M).
Dari berbagai penjelasan di atas juga kita dapatkan
kenyataan bahwa raja-raja besar di Jawa, yang selama ini disebutkan sebagai
“sangat Hindu” dan dinampakkan sama sekali belum bersentuhan dengan Islam,
minimal mereka sudah pernah mendapatkan pengajaran Islam dari para ulama dan
auliya generasi pertama, yang menyebarluaskan Islam di Jawa, beberapa ratus
tahun sebelum kesultanan Demak dengan dewan Walisanga-nya terbentuk. Sama
halnya dengan masyarakat Perlak dan Pasai. Masyarakat diperkenalkan dengan
Islam sejak dari abad ke-7 M, namun kesultanan atau kerajaan Islam baru muncul
antara abad ke-11 dan abad ke-13 M.
Kita juga mendapati kenyataan bahwa, sampai pada awal
berdirinya kerajaan Demak, proses penyebaran islam berlangsung secara damai,
tenang, dan sangat kultural. Upaya ini, berikut corak Islam kultural mencapai
puncak penyebarannya dengan kehadiran Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga dan
Sunan Muria. Namun sejak Negara Demak berdiri dan membentuk dewan Walisanga,
proyek dakwah sudah sangat diarahkan dalam orientasi syari’at yang ketat.
Beberapa madzhab Islam yang dianggap menyimpan potensi oposisi, atau karena
berbeda alam aliran resmi, mulai mendapatkan penekanan. Apalagi ajaran atau
gerakan yang dianggap membahayakan kemapanan politik, akan langsung mendapatkan
tekanan yang hebat dari negara dan para ulama resmi negara. Islam menjadi
sangat structural, dimana Negara memang mengontrol secara penuh pola
keberagamaan Islam. Kontro ketat pihak kesultanan Demak terhadap aliran dan
ajaran Islam di wilayahnya semakin kuat pada masa pemerintahan Sultan Trenggono
(memerintah 1521-1546
M). Korban-korban penekanan faham agama oleh pihak penguasa mulai muncul.
Tonggak pertama munculnya perpecahan hebat antar madzhab tersebut adalah adanya
vonis “sesat” dan “potensi memberontak” yang diarahkan oleh kerajaan Demak
kepada Syekh Siti Jenar dan murid-muridnya.
Kondisi yang kurang toleran itulah yang menjadi salah
satu sebab rapuhnya Demak, disamping perebutan kekuasaan antar keluarga Sultan.
Kondisi ini masih diperparah dengan keikutsertaan sebagian ulama Walisanga
dalam mencampur-tangani urusan perebutan kekuasaan dengan saling memihak kepada
murid masing-masing. Misalnya antara Sunan Kudus yang membela Arya Penangsang
dengan Sunan Kalijaga yang menjagokan Jaka Tingkir. Pola-pola Islam pesisiran
(yang sangat normatif) dengan corak Islam pedalaman mulai terbentuk, yang
kemudian terwarisi hingga saat ini. Jika pada dekade sekarang masih sering
terjadi permusuhan antar faham dan madzhab keagamaan, demikian pula ketika
masih tersaksikan para ulama yang bertarung dalam konteks politik, percayalah
bahwa preseden tersebut sudah terjadi sejak awal penyebaran Islam. Tentu saja,
bahwa pertarungan antara Islam struktural dan Islam kultural, demikian pula
ulama berorientasi syari’at dengan ulama sufi dalam orientasi faham wujudiyah,
juga akan terus terjadi, sampai semuanya masuk ke liang lahad. Hanya kearifan
kita masing-masing yang akhirnya dapat mengendalikan perpecahan keagamaan.
Kesediaan untuk saling bersikap toleransi dan moderat, serta saling menghargai
perbedaan yang ada adalah barang mahal, ditengah semangat keinginan menegakkan
keimanan yang diyakini oleh masing-masing penganutnya. Nampaknya itulah pesan
penting yang diberikan oleh para ulama Walisanga, ketika para ulamanya belum
bersinggungan dengan kepentingan politik, dan belum bersentuhan dengan konsepsi
jabatan dalam negara.
Wallahu a’lamu bi
al-shawab.
[1] Sebagian isi tulisan pada bab ini sudah pernah penulis sampaikan
dengan judul “Asal-Usul Islam Jawa, Dari Jayabaya sampai Syekh Siti Jenar”. Pernah
dimuat dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa DEWARUCI, Edisi 10,
Januari – Juni Tahun 2005, hlm. 133 – 157. Secara bagian per bagian, pernah
menjadi bahan diskusi dalam beberapa forum, misalnya dalam Konferensi
Internasional Budaya Jawa di Purwokerto tahun 2007. Tulisan ini merupakan
penelitian awal penulis tentang Islam Jawa abad 8 – 15 M. Terbukti pada rentang
waktu tersebut, Islam yang hadir di Nusantara mampu menjadi katalisator bagi
budaya lokal. Antara agama dan budaya justru saling melengkapi dalam upaya
menciptakan keharmonisan kehidupan dan alam semesta.
[2] Hal ini membutuhkan studi antar kawasan di berbagai sudut tanah
air, guna mencari konteks Islam yang universal ke-Indonesiaan, dan Islam yang
sudah terpengaruhi oleh kultur dan konteks sosial tertentu, sehingga dapat
dipengaruhi, proses perjalanan Islam pada masa penyebarannya didominasi oleh
kelokalan mana, dan dapat diketahui dari arah mana Islam yang dominan dapat
ditentukan secara tepat.
[3] Kajian interaksi agama Islam dengan kejawaan menjadi penting,
karena hasil dari interaksinya tersebut (jika melibatkan interaksi Islam sejak
abad ke-7 sebagaimana akan dibahas dalam tulisan ini), telah menghasilkan
sistem “Filsafat Jawa” yang diakui oleh dunia. Sampai saat ini, pengakuan dunia
memang baru terhadap 15 tokohnya, yaitu: Mpu Kanwa, Mpu Tantular, Mangku Negara
IV, Pakubuwana IV, Ranggawarsita, Yasadipura, Notonegoro, Agus Salim, Ki Hajar
Dewantara, Soekarno, Drijarkara, Sutan Takdir Alisyahbana, Hardjoprakosa,
Hamka, dan M. Matsir (Huisman (ed.), 1984). Tidak menutup kemungkinan bahwa
tokoh-tokoh seperti Mpu Panuluh, sebagian Walisanga dan tokoh-tokoh yang lain
sebenarnya masuk dalam kategori filosof Jawa ini. Syekh Siti Jenar sendiri
dipandang oleh sebagian ahli filsafat sebagaim pencetus Filsafat Dialektika
dalam Islam-Jawa.
[4] Dalam hal ini para peneliti dan peminat studi Islam Jawa harus semi
hati-hati, karena apa yang terjadi antara proses Islamisasi dengan proses
Arabisasi memang pernah terjadi di Indonesia dan Jawa. Untuk kasus
Islam Jawa, era berdirinya kerajaan Islam Demak, dengan keanggotaan dewan wali
yang memiliki orientasi Islam Timur Tengah, nampak bahwa proses Arabisasi mulai
dilaksanakan. Proses ini berlangsung sampai berdirinya Pajang, dan mulai
mengalami kemandekan dengan semakin jayanya kerajaan Mataram Islam. Proyek
Arabisasi kembali terjadi seiring engan gelombang haji Indonesia pada masa colonial
Belanda, terutama sejak awal abad 18, dan terus dilaksanakan hingga pasca
kemerdekaan. Tahun-tahun 1930-1950-an sebenarnya Islam Jawa nampak mencoba
mulai muncul dengan penerbitan ulang karya-karya Islam Jawa, namun sebelum
berhasil, sudah mulai tertekan kembali dengan Arabisasi Islam sejak mulai pasca
1950. Sejak tahun 1980-an hingga kini, kebangkitan karya-karya Islam Jawa
nampak mulai terjadi kembali.
[5] Canggal adalah sebuah daerah di Kedu, Temanggung. Prasasti Canggal
menggunakan bahasa Sansekerta dalam huruf Pallawa, berangka tahun 654 C (732
M). sebagian prasasti tersebut mengatakan bahwa, “Pada tahun Caka yang telah lalu dengan ditandai angka Caka Cruti
Indrya Rasa (654 C) pada hari Senin, hari baik tanggal 13 bagian terang bulan
Kartika Sang Raja Sanjaya mendirikan lingga yang ditandai dengan tanda-tanda
dibukit yang bernama Sthirangga, buat keselamatan rakyat” (Badrika
–Sulaeman, 1991: 64). Dalam perhitungan penulis, itu berarti 3 September 732,
atau Senin Pon, 13 Rajab 114 H. Jadi raja pertama kerajaan Mataram kuno adalah
Raja Sanjaya. Bukti kerajaan ini juga ditandai dengan prasasti Kalasan bertahun
778 M, yang berbahasa Sansekerta dalam huruf Pra-na-ga-ri. Sekitar 760
(masa wangsa Syailendra), kerajaan ini terpecah dalam dua blok, Selatan
beragama Budha dengan wilayah bagian Selatan Jawa, dan utara menguasai sekitar
pegunungan Dieng dan Jawa Tengah bagian utara. Era ini disebut abad candi,
karena banyaknya bangunan candi yang dibuat. Tahun 820, raja Smaratungga
membangun candi terbesar, Borobudur . Nampaknya
kedatangan Syekh Subakir dan kontaknya dengan raja terjadi pada masa-masa akhir
pemerintahan Raja Smaratungga.
[6] Hamka dengan mengutip sumber-sumber naskah cina memberikan angka
lebih awal. Bahwa berdasarkan berita cina, pada tahun 674 atau abad ke-7, telah
terdapat banyak pedagang Arab Islam di kerajaan Kalingga, pada masa
pemerintahan Ratu Sima (Suryanegara, 1995: 97, 94). Dalam berita itu juga
disebutkan kedatangan Raja Ta Cheh (cina: Ta-Shi
= orang asing dari Arab), seorang Raja Arab di bawah kekhalifahan Mu’awiyah bin
Abu Sufyan kepada Ratu Sima (Hamka, 1980: 9).
[7] Kerajaan Kediri di Jawa Timur adalah kerajaan pertama di Jawa
Timur, sebagai kelanjutan dari kerajaan Mataram Kuno yang semula berpusat di
Jawa Tengah (sekitar Merapi-Merbabu-Dieng), yang pada awal abad ke-10
dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Namun kemajuan kerajaan baru nampak
dengan munculnya Airlangga sebaga raja (memerintah 1019-1042). Pemerintahan Jayabaya
merupakan puncak kejayaan Kediri, dan dibuktikan oleh prasasti Ngantang yang
bertahun 1057 C/1135 M. dari prasasti ini diketahui bahwa Kediri pernah
menghadapi pertempuran hebat, yang kemudian dilukiskan oleh Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh dalam kitab Bharata-Yudha. Beberapa tahun kemudian, kedua Mpu tersebut
atas titah Raja menulis kitab Gatotkacasraya,
yang didalamnya sudah terdapat banyak ungkapan Arab, dengan ajaran mistik-sufi.
Dengan demikian, nampaknya Syekh Maulana Ali Syamsu Zain bertemu Jayabaya sesudah
tahun 1135 M, antara tahun 1140 sampai 1150. Karena sang ulama meninggalkan Indonesia
beberapa tahun sebelum Jayabaya wafat.
[8] Dibalik penulisan sejarah, sebenarnya juga berlangsung proses
politik budaya, dan pertempuran antar peradaban. Sehingga dalam penulisan suatu
sejarah, memang harus dilihat siapa yang menulis, dalam masa politik yang
bagaimana, dan hegemoni kebudayaan yang seperti apa. Hal ini penting, karena
setiap terjadi proses penulisan sejarah, obyektifitas sangat sulit
diaplikasikan. Justru disinilah letak urgensi para sejarawan muslim Indonesia ,
untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Sementara itu, balutan nasionalisme
kebangsaan sampai saat ini, sebenarnya belum lepas sama sekali dengan pola
nasionalisme warisan ajaran Hindu-Budha yang telah kuat membentuk karakter
keindonesiaan sejak abad-abad pertama masehi, sampai pada kurun abad ke-15.
[9] Tentang sedikit informasi keislaman Brawijaya V ini dikemukakan
oleh lihat J.J. Ras dalam Stokhof & Kaptein (1990: 127-8). Brawijaya V juga
memiliki putra dan putri yang sangat banyak, sebagian riwayat mengemukakan
jumlah anaknya mencapai 117 orang, dan sebagian besar disebar ke berbagai
pelosok Jawa untuk mendakwahkan Islam, termasuk dakwah Islam di sekitar gunung
Merapi. Pada berbagai daerah lingkar Merapi, terdapat para penyiar Islam masa
awal, yang merupakan anak-anak Brawijaya, diantaranya adalah Syekh Bela Belu
(Pangeran Suryaprana), dan Kyai Petruk (Raden Suladi, Kyai Handaka Kusuma).
[10] Beberapa ulama keturunan Sunan Giri dikenal sebagai penulis, terutama
Sunan Giri II dan Sunan Giri III. Tentang kehidupan keluarga Giri ini
dikemukakan oleh antara lain dari R. Tanojo, Walisana (Babad Para Wali disandarkan pada karya Sn. Giri II),
Solo: TB. Sadu Budi, t.t., hlm. 144-146. Para
keturunan Sunan Giri adalah: (1) Sunan Dalem, (2) Sunan Sedomargi, (3) Sunan
Giri Prapen, (4) Sunan Kawis Guwa, (5) Panembahan Ageng Giri, (6) Panembahan
Mas Witono, (7) Pangeran Singonegoro (murid, bukan keturunan Sunan Giri), dan
(8) Pangeran Singosari. “Kekuasaan” spiritual pesantren Giri atas tanah Jawa
berlangsung sampai 1635 M. pada tahun tersebut, kekuasaan spiritual direbut
oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645 M), yang tidak lagi menyukai
kekuasaan atas Jawa yang disekutui oleh Wali dari Giri (Saksono: 1995, 41). Hanya
saja Sultan Agung secara fisik tidak mau berkonfrontasi dengan pesantren Giri,
namun sejak saat itu, hubungan Giri dan kesultanan Mataram yang sebelumnya
terbagi atas “isi” dan “wadah” tidak harmonis lagi. Titik kulminasinya terjadi
pada tahun 1680. Dipicu oleh pemberontakan Trunojoyo (alumnus pesantren Giri),
oleh Sunan Amangkurat II dibantu oleh kekuatan VOC-Belanda, pesantren Giri
digempur habis-habisan, dengan 6.000 ulama dibantai. Namun akibatnya Kraton
Mataram dibawah Sunan Amangkurat I jatuh tanggal 10 Juli 1677, sang Sunan
mengungsi ke Tegal sampai wafat. Sementara Pesantren Giri dibawah Pangeran
Singosari setelah wafatnya tahun 1679, karena serbuan itu hancur, dan tidak
memiliki kekuasaan apa-apa lagi (Hariwijaya, 2003: 98-102).
[11] Hasil penelitian ini sejalan dengan penuturan berbagai naskah Jawa
lama, misalnya terdapat dalam Babad Tanah
Jawa (Abdullah, dkk., 2002: 19).
[12] Dalam karya-karya sastra zaman Majapahit diperintah oleh Hayam
Wuruk (1350-1389), sudah terdapat beberapa pengaruh ajaran Islam. Misalnya
dalam kakawin Negara Kertagama oleh
Mpu Prapanca mengenai konsep-konsep “Kesatuan” ruhani, lahir dan batin.
Kemudian dalam kakawin Sutasoma oleh
Mpu Tantular terdapat penegasan Kesatuan Tuhan “Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal”, juga tentang penegasan ke-Esaan
kebenaran atau kasunyatan walau beraneka wujud “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharmma Mangrwa” (Ciptoprawiro,
2000: 28). Jadi kemungkinan kehadiran komunitas muslim di pusat ibukota
Majapahit, dan ajaran-ajaran Islam yang sudah ada sejak zaman Kediri (abad ke-9 – 12) ikut memberikan
pengaruh di dalam karya keagamaan pada masa itu.
[13] Sebagian penulis membaca angka tahun H itu 495 karena kurang jelas
(?). Angka tahun 475 H = tahun 1082 M, sedangkan angka tahun 495 H = 1102 M.
Akan tetapi yang lebih banyak dipakai oleh para sejarawan adalah tanggal 7
Rajab 475/Desember 1082 (Abdullah, dkk., 2002: 12). Menurut Moquette, tanggal wafat Fathimah binti Maimun adalah
7 Rajab 475 bertepatan dengan 25
November 1082 (Moquette, 1921: 397).
[14] Kaligrafi gaya
kufi merupakan elemen epigrafi Islam, yang menandai berbagai situs arkeologi
Islam. Kaligrafi yang terdapat dalam nisan Fathimah binti Maimun merupakan
bentuk yang paling arkais dalam kaligrafi Islam, yang berkembang di Kufah,
Irak, dan sudah muncul sebagai hiasan nisan muslim abad ke-7. Makam Fathimah
sebagai salah satu situs kuno tentang bukti arkeologis kehadiran Islam di Jawa
mungkin hanya salah satu dari sekian banyak makam muslim yang ada di berbagai
tempat. Model tulisan yang paling banyak ditemukan, dan kemungkinan muncul
pasca abad ke-7 adalah model naskhi
(Ambary, 2001: 69).
[15] Sampai saat tulisan ini dibuat, makam Fathimah binti Maimun adalah
satu-satunya situs arkeologis Islam tertua di Jawa Timur. Terdapat satu situs
tertua lagi yang setara dengan makam Fathimah, yakni peninggalan makam muslim
yang terletak di Pandurangga (Phanrang), yang sekarang masuk wilayah Vietnam .
Makam di Vietnam ini beridentitas Ahmad bin Abu Ibrahim bin Abu ‘Arradah, yang
Rahdar, nama samarannya Abu Kamil, dan wafat pada Kamis 29 Shafar 431 H/1039 M
(Ambary: 2001, 98). Sejauh ini, hanya dua makam bertuliskan gaya kufi ini yang
merupakan bukti tertua kehadiran Islam dengan bukti tertulis dari abad ke-10
atau 11 M. Sementara sumber lain hanya berupa komentar tentang catatan
perjalanan para musafir Muslim ke Asia Tenggara yang umumnya berasal dari abad
8 – 9 M. Kedua makam tersebut, dari segi bahan dan gayanya tidak dibuat oleh
local, namun nampaknya dibuat di Gujarat, India (Ambary, 2001: 54). Dengan
begitu, terdapat dua kemungkinan tentang sampainya nisan tersebut ke Gresik. Pertama, dibawa bersamaan dengan
kedatangan kafilah Fathimah ke Indonesia .
Kedua, didatangkan setelah kematian
Fathimah. Tampaknya kemungkinan kedualah yang lebih mendekati kebenaran. Karena
hampir tidak mungkin, rombongan tersebut datang ke Indonesia sudah langsung membawa
batu-batu nisan untuk kematian mereka, disamping pertimbangan sulitnya
transportasi saat itu, apalagi pertimbangan bobot beratnya barang.
[16] Yang perlu diperhatikan adalah bahwa makam Fathimah telah
bertuliskan Arab Kufi dari Timur Tengah. Penulisan nisan seperti ini tentunya
berkaitan dengan suatu missi keagamaan. Paling tidak petunjuk ini membawa
pemahaman bahwa pada saat itu, di pesisir utara Jawa Timur sudah terdapat
komunitas muslim. Huruf Kufi berkembang pada masa akhir abad ke-10 di Persia .
Kalau kita perhatikan periodesasi penyebaran Islam pada masa itu, kita harus
memperhatikan tiga tahapan. Pertama,
adalah masa kedatangan. Kedua, masa
penyebaran. Ketiga, masa pembentukan
struktur pemerintahan atau kerajaan. Tiga tahap tersebut membutuhkan rentang
waktu yang cukup panjang, yakni sekitar 400-an tahun. Waktu yang sekian lama
itu menjadi suatu hal yang wajar, karena Islam yang baru datang harus bergumul
dengan ajaran Budha dan Hindu yang sudah berurat berakar pada struktur
kebudayaan Jawa, disamping Animisme dan dinamisme yang masih bertahan. Diantara
tahap pertama dan kedua, juga terdapat sub tahapan pembentukan komunitas
muslim. Pada gelombang tersebut sudah menghasilkan penyebaran Islam untuk
kalangan terbatas, pada kaum bangsawan kerajaan dan para pengusaha dan
pedagang.
[17] J.C. van Leur sebagaimana dikutip oleh Ahmad Mansur Suryanegara
menjelaskan bahwa setiap pedagang Islam pada masa-masa tersebut sekaligus
merangkap sebagai da’i (Suryanegara, 1995: 97).
[18] Hasan Muarif Ambary menyebutkan bahwa sejak abad 1 H/7 M,
masyarakat Asia Tenggara sudah mulai berkenalan dengan tradisi Islam, dan
sosialisasi Islam sudah mulai dilakukan (Ambary, 2001: 54, 281). Hal ini
terjadi karena orang-orang Arab Selatan, Yaman dan Hadramaut yang kebanyakan
pedagang dan ulama, jauh dari berbagai konflik politik di Timur Tengah.
Pembinaan keagamaan orang-orang Yaman dan sekitarnya oleh Rasulullah Muhammad
diserahkan kepada sahabat Mu’adz bin Jabbal, sekaligus diangkat sebagai mufti
dan wakil Rasulullah di Yaman. Sehingga mereka dapat fokus pada perdagangan dan
penyebaran Islam. Para saudagar dan ulama asal
Arab Selatan inilah yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara.
[19] Selain itu, orang umumnya memandang penyebaran Islam se Jawa
sebagai sebuah peristiwa “revolusi” yang terjadi secara cepat dan mengagumkan.
Establishmentasi Islam pada abad ke-13 dipandang sebagai titik awal penyebaran
Islam di Jawa, tidak mencari dan memandang keseluruhan proses penyebaran
panjang sebelumnya. Kebanyakan para ahli juga hanya memandang bahwa dengan
berdirinya kerajaan Demak pasca runtuhnya Majapahit itulah, awal dari proses
Islamisasi secara besar-besaran dan missal. Dan informasi seperti ini adalah
import dari informasi penelitian para sarjana Barat, yang diadopsi begitu saja
oleh kebanyakan ilmuwan kita. Kenyataan serupa inilah yang juga ditulis oleh
Raffles, yang dipandang oleh dunia akademis berhasil membuat buku babon tentang
Jawa zaman klasik (Raffles, 1978: II, 62-63).
[20] Kitab Musarrar, disalin
dari huruf Jawa ke latin oleh R. Tanojo tahun 1946. Yang dimaksud oleh R.
Tanojo dalam karangannya tersebut adalah karya Pangeran Wijil tahun 1733 J =
1906 M, yang disalin kembali pada tahun 1743 J = 1815 M. Ini berbeda dengan
karangan Andjar Any di atas, yang tidak menyebutkan sumbernya secara eksplisit.
[21] Hadits tersebut tercantum dalam Shahih
al-Bukhari, kitab “Jana’iz” bab “’Adzab al-Qubr min al-ghibati wa al-Baul”,
no. 1289; Shahih Muslim bab
“al-Thaharah” no. 429; Sunan al-Tirmidzi
bab “ al-Thaharah ‘an Rasulillah” no. 65; Sunan
al-Nasa’i bab “al-Thaharah” no. 31, bab “al-Jana’iz” no. 2041; Sunan Abu Daud bab “al-Thaharah” no. 19;
Sunan Ibn Majah bab “al-Thaharah wa
Sunanuha” no. 341; Musnad Imam Ahmad
bab “wa min Musnad Bani Hasyim” no. 1877; dan Sunan al-Darimi bab “al-Thaharah” no. 732. Keringkasannya dalam
CD-Rom Hadits al-Bayan, hadits no.
162.
[22] Analisa ringkas tentang runtuhnya Majapahit dan berdirinya Demak
dikemukakan oleh J.J. Ras dalam Stokhof & Kaptein (red.), 1990: 116-25,
130-9.
[23] Pembentukan dewan Walisanga sebagai semacam lembaga mufti, bukan
sebagai pelopor dakwah atau yang bukan mengemban missi utama penyebaran Islam
semakin nampak dari pernyataan Van Leur bahwa selain Islam sudah mulai menyebar
sejak abad ke-7 M, juga dijelaskan bahwa penyebaran Islam di Indonesia (sebelum
Demak membentuk dewan Walisanga, dan di luar kekuasaan Demak), tidak mengenal
adanya lembaga khusus yang menanganinya. Setiap muslim adalah da’i, yang
menyebarkan Islam sambil melaksanakan aktivitas keseharian, yang pada umumnya
berdagang, disamping para ulama dan auliya’ yang mengkhususkan diri berdakwah
(Van Leur, 1955: 674).
[24] Tokoh dan Syaikh tarekat Syattariyah abad ke-17, yang mengaku
keturunan dari Sunan Giri (Bruinessen, 1999: 238).
[25] Termasuk dalam deretan waliyullah ini antara lain adalah: Syekh
Subakir, Syekh Maulana Ali Syamsu Zain, Syekh Zainuddin (makam di Tralaya),
Syekh Datuk Kahfi di Cirebon, Syekh Hasannuddin (Kerawang), Syekh Wali Lanang
bin Syekh Maulana Ishaq, dan sebagainya.
[26] Lebih lanjut lihat R. Soekmono dalam Soedjatmoko, Mohammad Ali,
G.J. Resink, G.McT. Kahin (Edt.), 1995: 35-36. Karya asli L.Ch. Damais yang
berisi publikasi masalah ini adalah Etudes
Javanais I. Les Tombes musulmanes dates de Tralaya, Bulletin de l’Ecole
Francaise d’Extreme- Orient, XLVIII, 2, 1957: 353-415.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
SOSOK FILSUF HISTORIS DAN TOKOH NEO-SUFI ISLAM-JAWA ISLAM DI JAWA PADA MASA RATU SIMA KALINGGA, DINASTI SYAILENDRA MATARAM KUNO, PRAB...
-
9 Contoh Narrative text Ada banyak sekali contoh Narrative text, sebelum membahas contohnya kita harus tahu apa itu Narrative Text. Nar...