Kamis, 27 April 2017

SYEKH SITI JENAR

SOSOK FILSUF HISTORIS DAN TOKOH NEO-SUFI ISLAM-JAWA


ISLAM DI JAWA PADA MASA RATU SIMA KALINGGA, DINASTI SYAILENDRA MATARAM KUNO, PRABU JAYABAYA KEDIRI, SAMPAI WALISANGA DAN SYEKH SITI JENAR

A.    Walisanga dan Varian Islam Asia Tenggara
Para ulama Walisanga, kehadirannya memang baru terjadi sejak akhir abad ke-13 M. Akan tetapi kehadiran mereka di Nusantara tidaklah berdiri sendiri, dan bukanlah dalam bentuk kehadiran ulama muslim pertama di Nusantara. Mereka hanya melanjutkan aktivitas penyiaran Islam secara lebih strategis, melanjutkan rintisan masuknya Islam ke Indonesia yang sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad dan al-Khulafa’ al-Rasyidin. Sehingga mengetahui latar belakang historis tentang Islam-Jawa sangat diperlukan dalam kajian tentang para ulama Walisanga tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa pola Islam yang dikembangkan para ulama Walisanga adalah Islam dalam kultur Jawa, yang menjadi corak khas pola Islam di kawasan Asia Tenggara.[1]
Pengembangan lebih jauh dari pola ini akan membawa arah varian ketiga dari pola-pola Islam yang sudah ada. Sampai saat itu, terdapat dua varian besar Islam yang berkembang, yakni Islam Arab Timur Tengah yang sangat formalis yang terdiri atas madzhab Mesir dan Arab, dan Islam corak Persia yang filosofis dan mistis (juga yang berkembang di kawasan India). Islam Jawa merupakan prototype dari Islam model Asia Tenggara yang memiliki corak khas, yang menempatkannya sebagai Islam ketiga. Kebijaksanaan para ulama Walisanga yang toleran dengan kondisi kultural masyarakat Indonesia sangat layak menjadi acuan penyebaran Islam. Misalnya, Syaikh Maulana Ishaq yang secara pribadi bermadzhab Hanafi, dalam menyebarkan Islam di Pasai dan Jawa akhirnya mensossialisasikan madzhab Syafi’i (Raffles, 2008: 283-284) melihat kenyataan masyarakat Indonesia yang memang memiliki karakter yang amat sesuai dengan faham madzhab Syafi’i. Madzhab pribadi dikorbankan agar Islam dapat diterima masyarakat secara arif, bijaksana dan atas kesadaran sendiri.
Dasar atau fondasi Islam Asia Tenggara yang sangat kultural inilah yang sudah dirintis dan dikembangkan oleh para ulama Walisanga pada awal penyebaran islam di Indonesia. Di bawah ini penulis kemukakan secara ringkas asal mula Islam Jawa, dari awal perkembangannya sampai pada masa kehadiran ulama Walisanga, sebagai para ulama sufi dan filosof yang merumuskan fondasi ajaran Islam-Asia Tenggara secara sistematis.

B.     Peran Raja-Raja Jawa dalam Penyebaran Islam di Nusantara
Penelitian Islam Jawa merupakan wilayah yang sangat luas, dan selalu menyisakan banyak hal yang menarik. Ibaratnya, lahan penelitian ini masih merupakan hutan perawan, yang membutuhkan banyak explorasi dari para ahli dan peminat studi Islam Jawa. Penelitian tentunya berfokus pada upaya pencarian jawaban fakta-fakta sejarah Islam di tanah air dan khususnya di Jawa,[2] apakah sejarah pertumbuhan Islam di sini sudah sesuai dengan kenyataan ataukah belum.[3]
Diantara sebagian agenda yang menyangkut hal tersebut adalah soal sampai dimana keterlibatan raja-raja di Jawa dalam usahanya memajukan penyebaran Islam; peranan para wali dan proses islamisasi dan arabisasi di sini;[4] orientasi Islam para wali dan friksi yang terjadi; pembaharuan kesadaran nasional tentang Islamisme; rangsangan perjuangan Islam; cita-cita Islam yang dilembagakan oleh para penguasa muslim atau sultan-sultan di Jawa; faham-faham yang muncul dan berkembang, baik yang berada dalam jalur Islam murni maupun yang dikategorikan sebagai aliran sesat; Islam yang dijawakan dan Jawa yang di Islamkan, dan sebagainya.
Kajian-kajian terhadap berbagai persoalan tersebut menjadi penting sehubungan dengan urut-urutan umum proses Islamisasi di Indonesia. Gambaran urut-urutan tersebut sebagai berikut: (1) kontak komunitas Nusantara dengan para pedagang, pelaut, atau musafir Arab, Persia, India, Asia Tenggara, Cina dan sebagainya sebelum mereka masuk Islam. Ini berlangsung sejak awal abad Masehi hingga abad ke-3 sampai abad ke-9 M; (2) kontak komunitas Nusantara dengan para pedagang, pelaut atau musafir yang telah menjadi muslim. Ini berlangsung sejak abad ke-7 sampai 11 M; (3) tumbuhnya berbagai komunitas muslim di Nusantara, baik wilayah pesisir atau pedalaman. Fase ini berlangsung sejak abad ke-9 sampai 13 M; (4) tumbuhnya kekuasaan politik kerajaan atau kesultanan Islam, yang mengalami puncak perkembangan berkoinsidensi dengan masuk dan berkuasanya pengaruh kekuatan militer dan ekonomi bangsa Eropa. Ini terjadi sejak abad ke-13 sampai 16 M; dan (5) surutnya kekuasaan dan charisma kerajaan dan kesultanan islam sekaligus dimulainya dominasi dan hegemoni militer, politik, dan ekonomi kolonial di Nusantara. Ini terjadi sejak abad ke-16 sampai datangnya era kemerdekaan RI tahun 1945 (Ambary, 2001: 35-6, 106, 342).
Untuk point (4) dan (5) sudah banyak karya-karya yang mengupasnya, yang memunculkan anggapan umum bahwa Islam mulai hadir di Indonesia adalah pada abad ke-13. Sementara untuk poin (1) sampai (3) belum banyak dilakukan penulisan dan penelitian tentangnya, kecuali sebatas singgungan kecil, untuk mengantarkan dan menggiring justifikasi bagi “kehadiran” Islam pada abad ke-13.
Dalam tulisan pada bab ini, penulis mengajak para pembaca untuk menelusuri serpihan sejarah bagi poin (1) sampai (3) tersebut, terutama mengenai peran sebagian raja-raja Jawa dalam pengembangan Islam di tanah Jawa, yang kemungkinan para raja tersebut sudah masuk Islam, akan tetapi masyarakat akademis belum meyakininya, karena datanya yang masih bersifat terbatas untuk menjawab masalah itu. Atau kalau toh ada data yang menyinggung masalah itu, biasanya terdapat dalam suatu tulisan babad ataupun hasil kesimpulan masyarakat secara tutur tinular sampai saat ini.
Selain itu, dengan memahami analisa pada bab ini, akan diperoleh gambaran jelas, bagaimana dan darimana asal Islam Jawa sebagai pola Islam kultural yang sangat spiritualis dan filosofis, namun sekaligus juga mengajarkan ketaatan syariat sebagaimana kemudian dikembangkan oleh para ulama Walisanga. Walaupun demikian, juga harus disadari bahwa para ulama Walisanga sendiri tidak semuanya bersikap satu kata dalam jenis ajaran Islam yang disebarkan. Sebagian ulama Walisanga menyampaikan kritik keras atas keinginan ulama sufi, dengan anggapan bahwa masyarakat Jawa belum siap dengan konsep ajaran Islam yang esoteris. Sebagian ulama yang memberikan tantangan sangat keras dari ulama-ulama Walisanga tersebut terhadap sesama rekannya, memang sejak awal sudah memiliki kecenderungan melakukan “Arabisasi” pada penyebaran Islam di Indonesia.

C.    Prabu Jayabaya dan Kitab Musarrar
Diantara kemungkinan-kemungkinan raja-raja di Jawa yang sudah masuk Islam yang penulis gali dalam tulisan ini adalah Ratu Sima dari Holing atau Keling atau Kalingga (abad ke-7 M); Raja Smaratungga (800-825 M) di era kerajaan Mataram Kuno Jawa Tengah, sesudah piagam Canggal tahun 732 M.,[5] yang berdialog dengan Syekh Subakir.[6]
Setelah itu melompat beberapa abad, yakni Prabu Jayabaya di kerajaan Kediri[7] yang sudah menjalin hubungan erat dengan tokoh ulama besar Maulana Ali Syamsu Zein yang menjadi guru Prabu Jayabaya (abad ke-12), yang sesudah itu tenggelam lagi tentang berita peranan Islam pada masa itu, tahu-tahu kemudian muncul sejarah Hindu-Jawa yang seakan-akan era tersebut sama sekali belum bersentuhan dengan Islam (yakni zaman Singasari dan Majapahit).[8] Padahal sejak abad ke-11 M kita telah mengenal data otentik tentang adanya Islam di Jawa, yakni tentang banyaknya situs kuburan Islam yang setaraf dengan makam raja-raja di Jawa, yakni makam Fathimah binti Maimun di desa Leran Gresik, 8 Km dari kota Gresik.
Era Majapahit juga dikabarkan belum mengenal Islam, padahal, sesuai penemuan para ahli, di pusat ibukota kerajaan, sudah terdapat pemukiman atau perkampungan muslim, yang penganutnya adalah orang-orang Jawa pedalaman. Kalau sudah ada perkampungan Islam Jawa yang berpusat di ibukota berhasil ditemukan, tentu hal itu mengindikasikan adanya kaum muslim di berbagai titik lokasi dalam masa keemasan Majapahit. Sehingga juga tidak aneh, kalau terdapat informasi bahwa Raja Brawijaya I (Dyah Kertawijaya) dan Brawijaya V (Dyah Krtabhumi) ternyata adalah seorang muslim,[9] yang kemudian memungkinkan pemberian konsesi kadipaten Bintara (cikal bakal kerajan Islam Demak) sebagai daerah otonomi muslim, sebagaimana pada awalnya Sunan Ampel mendapatkan tanah shima di Ampel Surabaya dari Raja Kertawijaya, dan jauh sebelumnya juga sebagaimana Maulana Malik Ibrahim mendapatkan tanah shima di Gapura Gresik dari Prabu Wikramawarddhana.
Jauh sebelum Kediri dan Majapahit, antara tahun 664-780, terdapat kerajaan di Jawa (cina: Cho-po) yang disebut sebagai kerajaan Keling, Holing, atau Kalingga. Kerajaan ini sudah berdiri lama sejak sebelum lahirnya Nabi Muhammad. Karena pada tahun 433 dan 435 M, kerajaan Keling sudah mengirimkan utusan dutanya yang pertama ke Cina (Munoz, 2009: 141, 306-308). Munoz meyakinkan bahwa letak kerajaan ini adalah di Jawa Tengah. Keberadaan kerajaan ini sebenarnya sangat penting untuk dieksplorasi dalam sejarah Islam Indonesia, terkait dengan aturan kerajaan yang “berbau” syari’at Islam, dan sehubungan dengan kedatangan raja Islam ke sana. Sejak tahun 674, kerajaan ini diperintah oleh Ratu Sima, yang memerintah dengan adil, tegas, dan keras. Pencurian dalam kerajaan tersebut mendapatkan hukuman potong tangan, atau anggota tubuh yang digunakan untuk mencuri, dan bahkan hukuman mati jika pencurian dan perampokannya memenuhi syarat hukuman mati (Badrika, 1991: 56).
Sebelum pemerintahan Ratu Sima memang agama resminya Budha Hinayana, seperti berita I-Tsing yang melihat penterjemahan Kitab Parinirvana dari bahasa Sansekerta ke bahasa Tionghoa oleh pendeta Jnanabadhra dan Pendeta Hwi-Ning yang tinggal di Kalingga selama tiga tahun (Martono, 1980: 1/27). Menyebarnya agama Budha di Keling terkait dengan peristiwa pada awal-awal Ratu Sima naik tahta. Banyak pemberontakan yang terjadi di wilayahnya. Pada saat kacau tersebut, pendeta Gunawarman, pewaris tahta kerajaan Kashmir datang di Keling. Sang Ratu meminta nasehat apa yang sebaiknya dilakukan. Sang Pendeta menyatakan bahwa pengacau harus ditumpas. Ratu Sima mengerahkan pasukan untuk menumpas berbagai pemberontakan dan berhasil. Ajaran Budha yang dibawa pendeta Gunawarman mendapatkan tempat penyebarannya (Ferrand, 1922: 211-212; Coedes, 1989: 107). Tetapi setelah pemerintahan Ratu Sima menjadi tegak, terdapat peraturan “agama terbuka”.
Bersamaan dengan sistem agama terbuka tersebut, pada tahun 674 M, Raja Da-zi atau Ta-Shih (salah satu amir dar Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan) mengirimkan armada duta, perlindungan niaga dan dakwah ke Kalingga. Pengiriman armada ini memang sesuatu hal yang lumrah, karena pada waktu itu Mu’awiyah memiliki lebih dari 5000 buah kapal besar, yang sudah dibina sejak tahun 34 H/655 M. Bersamaan dengan hal tersebut, Dinasti Tang (618-907) mencatat adanya settlement (hunian) bangsa Arab Islam di pantai Barat Sumatera pada tahun 674 M, yang memberikan jawaban bahwa pembawa Islam masuk ke nusantara memang orang Arab-Islam. Kedatangan armada utusan Khalifah Mu’awiyah tidak hanya ke satu tempat tujuan, karena armada tersebut kemudian melanjutkan lawatan dakwahnya dengan singgah di pelabuhan Banger (nama kuno untuk wilayah Probolinggo, dan ada yang menyebut Bangil) pada tahun 674-675 M. Tentu tidak aneh jika kemudian di Bangil juga diketemukan sebuah makam seorang tokoh penyebar Islam pertama di sekitar Bangil dan Probolinggo, yang dikenal masyarakat sebagai “Mbah Bangil” yang bertarih 680 M. “Mbah Bangil” tidak lain adalah Syekh Maulana Isma’il yang datang ke Bangil untuk menyebarkan Islam di daerah tersebut, setelah pensiun dari militer Islam di Timur Tengah. Beliau datang ke Indonesia setelah kekuasaan dunia Islam dipegang oleh Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan (661-680 M).
Tentang motif kedatangan Syaikh Maulana Isma’il yang aslinya berasal dari Kufah tersebut terdapat salah satu dari dua kemungkinan. Pertama, sejak Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib wafat pada tahun 661 M, Syaikh Isma’il yang merupakan salah satu pendukung dan tentara dalam pasukan ‘Ali dalam perang Siffin merasa tidak nyaman dengan kepemimpinan Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Oleh karenanya, Syaikh Isma’il kemudian memutuskan untuk keluar dari wilayah pantauan Mu’awiyah dan menyebarkan Islam di daerah-daerah yang disinggahinya, yang akhirnya terdampar di pantai Bangil. Penduduk sekitar makam Mbah Bangil menuturkan, bahwa memang nampaknya daerah sekitar makam tersebut, pada masa dahulu merupakan pantai yang berbatasan dengan laut. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya fosil kerang dan beberapa jenis hewan laut yang dijumpai pada saat-saat penduduk membuat sumur. Keberadaan makam itu sendiri nampak kurang terawat, sehingga dikhawatirkan suatu ketika, situs makam tersebut bisa hilang.
Kedua. Kedatangan Syaikh Isma’il bukanlah dalam rangka melarikan diri dari kepemimpinan Mu’awiyah. Namun sebaliknya, bahwa Syaikh Isma’il termasuk salah satu duta yang dikirim oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk menyebarkan Islam di berbagai negara. Khalifah Mu’awiyah memang dikenal sebagai seorang Khalifah yang melakukan ekspansi Islam, baik secara perutusan dakwah maupun secara militer, ketika umat Islam terancam posisinbya oleh kekuatan luar, dan oleh rongrongan dari dalam. Sebagaian perutusan dakwah sengaja diambil dari para mantan pengikut setia Khalifah ’Ali bin Abi Thalib. Selain untuk berdakwah, Khalifah Mu’awiyah sengaja menjauhkan mereka dari lingkaran politik dan kekuasaan, untuk lebih menjaga keamanan kekuasaan dirinya, sekaligus menjaga kondusifitas umat Islam yang sedang berkembang pesat. Sebagian diantara duta-duta dakwah dari Khalifah Mu’awiyah tersebut, selain singgah di Bangil juga ada kelompok pendakwah yang kemudian singgah di Keling, Jepara.
Kedatangan duta-duta dari Khalifah Mu’awiyah tersebut nampaknya yang memberikan informasi di seputar hukum-hukum Islam, dan sebagian diadopsi oleh Ratu Sima demi untuk penegakan hukum di Keling. Penegakan hukum yang mengadopsi hukum Islam rupanya menarik perhatian seorang Raja “dari Barat” yang disebut sebagai Ta Cheh. Datanglah delegasi Raja Ta-Cheh (raja dari Arab), yang menguji kejujuran peraturan tersebut, dengan menaruh kantung emas di tengah jalan. Hingga 3 tahun tidak ada seorang pun yang menyentuhnya, hingga suatu hari putra mahkota tanpa sengaja menyentuhnya dengan ibu jari kakinya. Oleh Ratu Sima, putra mahkota dihukum dengan potong ibu jari kaki yang menyentuh kantung emas tersebut (Badrika –Sulaeman, 1991: 57). Perlu klarifikasi lebih mendalam tentang perbedaan antara ungkapan Dazi, Ta Shih, dan Ta Cheh. Karena yang berkunjung membuktikan adanya pelaksanaan hukum tersebut di sebut sebagai Raja Tacheh yang tidak begitu jauh dari Keling di Jepara. Di gugusan pulau Melayu terdapat kerajaan yang disebut sebagai Ta Shi yang mengikat perhubungan diplomatik dengan Cina sejak tahun 630-635 M. Ta Shi di sini adalah nama yang diberikan untuk kalangan muslim di Sumatera pada pertengahan abad ke-7 M (eksis sampai tahun 655), yang dekat dengan Malaka. Tentu ini bukanlah Ta-Cheh  yang di Arab, karena disebutkan jauhnya hanya 5 hari perjalanan dari Malaka. Ta-Cheh ternyata juga merupakan ungkapan orang Cina yang merujuk pada kata Aceh. Namun bisa juga terjadi, ungkapan bahwa Ta Cheh hanya lima hari perjalanan dari Malaka adalah kesalahan analisis, karena memandang bahwa Ta Cheh adalah Aceh. Jadi kemungkinan bahwa Ta Cheh yang dimaksud adalah Ta Cheh yang di Arab sangatlah besar.
Jika berita ini memang benar, tentunya terdapat kemungkinan adanya adopsi sebagian peraturan Islam di kerajaan Kalingga pada saat itu, sehingga raja dari Ta Shi berniat membuktikan kejujuran aturan tersebut. Minimal pengaruh Islam pada tahun 674 M sudah didapatkan di kerajaan Kalingga, Jawa.
Berdasarkan data-data tersebut bahkan beberapa sejarawan, seperti Hamka, malah berani menyatakan bahwa Ratu Shima sebenarnya adalah pemeluk Islam. Demikian pula halnya Prabu Jayabaya adalah pemeluk Islam, dan memiliki penasehat dari kalangan ulama muslim yang bernama Maulana Ali Syamsu Zain dari Brusa (Turki. Hitti, 2010: 918-919). Terdapat sumber yang menyatakan bahwa kedua berita tersebut (tentang Islamnya ratu Sima dan keislaman Prabu Jayabaya) dapat diteliti dengan adanya korespondensi Sultan Cordoba (Spanyol) yang sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan bekas ibukota kerajaan Islam di Eropa Barat tersebut (Simon, 2004: 54).
Kembali ke masa Prabu Jayabaya. Pada masa tersebut terdapat sebuah karya sastra karya Empu Panuluh “Gatotkacasraya” yang kata-katanya sudah banyak bercampur dengan bahasa Arab. Penulisan dilakukan sekitar tahun 1140 – 1150 M. Pujangga ini adalah pujangga Raja Jayabaya disamping Empu Sedah. Dengan unsur bahasa Arab yang sudah masuk dalam karya sastra tersebut, maka muncul pertanyaan mendasar, apakah Raja Jayabaya yang pernah berguru kepada Maulana Ali Syamsu Zein itu tidak mungkin kalau sudah memeluk Islam? Atau paling tidak, apakah tidak mungkin pada masa itu Prabu Jayabaya sudah membuka kran besar bagi penyebaran Islam di wilayah kerajaannya?
Data mengenai keberadaan tokoh ulama Maulana Ali Syamsu Zein itu terdapat dalam kitab “Asrar” buah pena Sunan Giri III pada tahun 1540 C = 1028 H = 1618 M.[10] Kitab Asrar ini oleh Pangeran Wijil (Pangeran Kadilangu) digubah menjadi bahasa tembang yang dihubungkan dengan kitab Bharatayudha karangan Empu Sedah, dengan sebutan baru “Kitab Musarrar”. Kitab ini sebagian isinya nantinya dipopulerkan oleh R. Ng. Ranggawarsito menjadi kitab ramalan yang dikenal dengan sebutan Kitab Jangka Jayabaya, dengan berbagai macam versinya.
Kita juga mendapatkan penemuan lain tentang kemungkinan masuk islamnya raja-raja di Jawa. Prof. Slamet Mulyanto pernah mempublikasikan hasil penelitiannya bahwa Raja Brawijaya Wikramawardhana menikah dengan seorang putri Islam, yang menjadi bibi Sunan Ampel.[11] Dalam hal ini memunculkan pertanyaan, pernikahan dengan putri Islam itu berarti bahwa Prabu Wikramawardhana (memerintah Majapahit 1389-1429 M) sudah pernah mengucapkan syahadat, atau dengan kata lain, secara formal mengakui Islam sebagai agamanya. Data ini diperkuat oleh keberadaan kompleks makam di Tralaya (Trowulan) yang salah satu kompleksnya merupakan pemakaman raja-raja Majapahit yang sudah memeluk Islam, dengan lambang utama “Sinar Majapahit”.[12] Terdapat kenyataan bahwa Prabu Wikramawarddhana mengirimkan anaknya, Raden Alit atau Dyah Kertawijaya, ke kediaman Maulana Malik Ibrahim di Gapura untuk menuntut ilmu (Sunyoto, 2011: 130).
Pernyataan serupa juga bisa diarahkan kepada Raja Jayabaya yang mendalami ilmu tasawuf di bawah arahan Maulana Ali Syamsu Zein. Dalam hal ini sangat penting untuk melakukan penelitian atas kitab karya Empu Panuluh “Gatotkacasraya” dan data-data lain yang berhubungan dengan ini. Kelemahan penulisan sejarah Islam Jawa sebaiknya tidak menjadi alasan bagi kurangnya sumber bagi penelitian, melalui metode inter-disiplinner bagi penelitian sejarah Islam Jawa.
Dalam kesimpulan penelitiannya tentang Gatotkacasraya, Dr. Sutjipta Wirjosuparto menyatakan bahwa “dalam Gatotkacasraya tersebut sudah banyak kata-kata Arabnya, pendek kata kalimat-kalimat dalam kitab tersebut sudah bercampur bahasa dan kata-kata Arab” (Wirjosuparto, 1952: 83.). Fakta ini menunjukkan kebenaran adanya pertemuan antara Prabu Jayabaya dengan Maulana Ali Syamsu Zein, sebagaimana dinyatakan dalam karya yang kemudian dikenal sebagai Jangka Jayabaya tersebut.
Selain itu, ternyata pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, beliau memiliki penasehat tetap (berbeda dengan Maulana Ali Syamsu Zain yang setelah beberapa waktu di Kadiri kemudian pulang kembali ke Timur Tengah) dari kalangan ulama Islam. Keduanya adalah Syaikh Syamsuddin Sagalor yang ahli dalam bidang politik, kebudayaan dan keagamaan, utamanya tasawuf; serta Maulana Ali Akbar Sagalor, yang memiliki keahlian dalam bidang politik dan militer. Ungkapan “Sagalor” terkait dengan posisi dua orang tersebut yang memiliki makna “dari bangsa Lor”, yakni orang-orang Lor (Persia) yang mendiami pemukiman Leran. Sampai hari ini makam keduanya masih bisa dikunjungi. Makam Syaikh Syamsuddin terletak di kompleks pemakaman Setana Gedong Kediri (yang dikenal sebagai makam Mbah Wasil Syamsuddin atau Pangeran Mekah); sementara makam Maulana Ali Akbar yang tinggal di Ngantang terletak di Masjid Besar Baiturrahman Ngantang, Malang. Hanya saja pada nisan makam Maulana Ali Akbar, oleh pengurus makam setempat diberi tanda nama ”Mbah Abdul Adhim”.
Sebagaimana sudah dinyatakan di atas bahwa babon kitab Jangka Jayabaya berasal dari kitab Asrar yang kemudian digubah oleh Pangeran Wijil dari Kadilangu menjadi kitab Musarrar, dan selanjutnya oleh pujangga-pujangga keraton Surakarta menyebutnya menjadi kitab Jayabaya dalam berbagai versinya. Kitab Asrar yang kemudian menjadi sumber dari kelahiran Jangka Jayabaya tersebut, yang oleh Pangeran Wijil digabungkan dengan Bharatayudha, kemudian diolah kembali oleh R.Ng. Yasadipura I (1729-1801), dan juga kemudian oleh cucunya R.Ng. Ranggawarsita (1802-1873).

D.    Tinjauan Mendalam atas Makam Fathimah binti Maimun
Untuk kembali memantapkan tentang penyebarluasan Islam di Jawa yang sudah terjadi sejak abad ke-11, sebaiknya kita tinjau kembali makam Fathimah binti Maimun secara lebih mendalam. Warga di sekitar Leran kadang menyebut makam Fathimah sebagai makam Putri Suwari atau Putri Campa, suatu pandangan yang tentu saja kurang berdasar pada fakta sejarah. Termasuk buku “resmi” dari pemangku makam Leran (Sejarah Kubur Panjang, 1991) menyebutkan bahwa Fathimah putri Sultan Mahmud. Nampaknya mereka yang menyalahpahami ini kurang mengerti makna nama Fathimah binti Maimun bin Hibatallah (Fathimah anak putri Maimun anak Hibatallah). Atau kata “Maimun” kemudian dibaca sebagai “Mahmud”?
Fathimah binti Maimun wafat pada hari Jum’at tanggal 7 Rajab 475 H.[13] Tokoh ini dimakamkan di Leran, sekitar 9 Km sebelah utara Gresik, dengan ditandai batu nisan berhiaskan kaligrafi Perso-Arabic, gaya kufi.[14] Kalau data ini kita hubungkan dengan sejarah nasional yang kita miliki, makam Fathimah binti Maimun tersebut sudah hidup sejak era kekuasaan Raja Erlangga (1010 – 1042 M) dan penggantinya Raja Kamesywara I.[15]
Muncul pertanyaan, apakah keberadaan makam-makam tersebut tidak memiliki arti lain, selain alternatif aktivitas perdagangan?[16] Penulis memiliki asumsi lain, bahwa orang-orang muslim yang sudah mulai menjelajah nusantara sejak abad ke-11 tersebut tidak semata-mata berdagang, tetapi ada hubungannya dengan missi Islam.[17] Kebetulan bahwa pintu masuk yang paling tepat dan efektif adalah perdagangan, dimana orang-orang Arab dan sekitarnya serta India serta Afrika Utara didominasi oleh kegiatan dagang. Jadi disamping kegiatan utama mereka (atau bisa jadi memang sebagai jalan mudah penyebaran keagamaan), terdapat misi keagamaan yang diemban.
Di sini nampak bahwa kedatangan orang-orang Arab ke Jawa bukan semata-mata berdagang. Seperti pula tujuan orang-orang India pada awalnya, bahwa melalui kegiatan perdagangan pula mereka menyebarkan ajaran Hindunya di tanah Jawa. Demikian pula kedatangan orang-orang Arab sejak awal abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M (Van Leur, 1955: 110-5; Ambary, 2001: 280-1, 299-301). Mereka datang ke Jawa juga mengemban missi keagamaan Islam. Pada masa-masa itu (abad ke-5 H = abad 11 – 12 M), mustahil kedudukan Islam belum mempunyai arti apa-apa dalam kehidupan bermasyarakat, mengingat bentuk kuburan yang sudah setaraf dengan candi-candi raja. Hampir dapat dipastikan bahwa Fathimah binti Maimun adalah istri seorang ulama besar yang masyhur pada waktu itu.
Apalagi penyebutan orang tua dan kakek dari Fathimah yang mengindikasikan juga, bahwa kakeknya, Hibatallah adalah generasi pertama yang datang di tempat tersebut. Fathimah, ayah dan kakeknya yang mendiami Leran adalah dari bangsa atau suku “Lor”, dimana tempat kediaman mereka disebut dengan Lorin (tempat kediaman orang-orang Lor). Namun karena suku Lor dibawah pimpinan Ali Ridha (yang dikenal sebagai Raja Wura-wari karena kulitnya yang kemerah-merahan) memberontak, dan beraliansi dengan Sriwijaya meruntuhkan kerajaan Kadiri yang berpusat di Wotanmas pada masa Dharmawangsa, maka Lorin kemudian diserang oleh Airlangga (menantu Dharmawangsa). Perlawanan suku Lor dapat dipatahkan. Oleh Airlangga, pemukiman Lorin diubah menjadi “Leran” yang bermakna pemukiman orang-orang yang dikalahkan. Jika makam yang dikemukakan oleh orang-orang Lor kemudian adalah makam keluarga Hibatallah, tidak lain karena Hibatallah adalah seorang ulama yang menyebarkan Islam dengan menghindari politik. Pengemukaan tokoh keluarga Hibatallah sebagai seorang pemuka ulama dengan demikian, dapat menghapus citra negatif suku Lor sebagai pemberontak di bawah faksi pimpinan Ali Ridha Sagalor.
Isma’il Raji’ al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi (2003: 61) memberikan dukungan argumentatif bagi fakta tersebut. Keduanya menyatakan bahwa Islam datang ke kawasan lembah sungai Melayu (Asia Tenggara, termasuk Jawa), segera setelah kehadirannya di Arab Saudi. Sejak awal atau pra-Islam, hubungan dan koloni dagang antara Timur Tengah dengan kawasan ini sudah terjadi. Sehingga pada periode kedatangan para pedagang sejak abad ke-7 sampai dengan abad ke-17, sudah terjadi pemantapan untuk (dalam istilah sekarang) berganti kewarganegaraan.[18] Para pedagang tersebut menikah dengan kaum pribumi Jawa, belajar bahasa setempat, dan sekaligus mendakwahkan Islam. Mereka berangsur-angsur ikut mengembangkan keamanan dan kemasyarakatan secara efektif. Dan sebelum berdiri Negara-negara besar Islam, sudah terdapat perkampungan dan Negara-negara kecil Islam, sejak tahun 692 M di Sumatra dan 702 M di Trengganu. Sementara di Jawa sudah muncul banyak perkampungan muslim di tengah kejayaan Negara-negara Hindu dan Budha. Sementara abad ke-13, menurut al-Faruqi, merupakan perkembangan pesat Islam sebagai efek dari perjuangan panjang sebelumnya. Kepesatannya juga berhubungan dengan banyaknya ulama dan tokoh muslim Timur Tengah dan Eropa yang “lari” ke bumi nusantara sehubungan dengan serbuan bangsa Mongol di Baghdad. Sebagian besar bangsa Arab beremigrasi ke Asia Tenggara (Faruqi, 2003: 261).
Sehubungan dengan data yang disuguhkan oleh kitab Musarrar di atas, dan didukung oleh berbagai penemuan intelektual modern, maka penulis memiliki keyakinan, Fathimah yang meninggal di Gresik tersebut sekurang-kurangnya memiliki hubungan rapat dengan Maulana Ali Syamsu Zein sebagai ulama kesohor pada masa Prabu Jayabaya di kemudian hari itu. Selisih antara tahun wafat Fathimah dengan turun tahtanya Raja Airlangga (1042) hanya 40 tahun, dan dengan kenaikan tahta Raja Jayabaya (1135) hanya 53 tahun. Sangat mungkin Syaikh Maulana Ali Syamsu Zain ini adalah Syaikh Syamsuddin Sagalor, yang makamnya berada di belakang Masjid Setono Gedong Kediri, dan dikenal sebagai makam Mbah Wasil Syamsuddin. Besar kemungkinan bahwa Fathimah adalah istri, atau paling tidak sahabat karib Maulana Ali Syamsu Zein, guru sufi Raja Jayabaya. Apalagi jika kematian Fathimah yang benar adalah tahun 495 H = 1102 M, maka kematiannya bertepatan dengan pemerintahan Raja Kamesywara I (1115 – 1135), atau lebih tepat lagi, Kamesywara belum naik tahta, atau 33 tahun sebelum Jayabaya naik tahta (1135).
Masih terdapat satu hal yang penting. Bahwa Fathimah yang tinggal di Leran adalah sudah generasi ketiga mendiami kampung Leran. Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, bahwa generasi pertama yang datang di Leran adalah kakeknya, Hibatallah yang merupakan seorang ulama, sekaligus saudagar dari Persia.
Disamping itu, makam Fathimah menunjukkan satu hal yang sangat penting. Jika selama ini, para sejarawan menolak argumen bahwa Islamisasi di Nusantara sudah terjadi sejak abad ke-7 M, karena semata-mata mengacu tentang kehadiran para pedagang muslim, maka dengan adanya makam Fathimah persoalan menjadi lain. Bagi para arkeolog, makam tersebut merupakan bukti kuat bagi sudah hadirnya komunitas muslim di Nusantara (Jawa) yang secara umum masih berada dalam sistem kekuasaan Hindu-Budha; dan ini sekaligus – secara arkeologis – menjadi bukti telah berlangsungnya proses islamisasi dalam pengertian yang sesungguhnya (Ambary, 2001: xi). Justru karena pertimbangan secara umum masyarakat Jawa masih menganut Hindu atau Budha dan aneka kepercayaan lain, maka mereka datang dengan membuat komunitas tersendiri, yakni di Leran.
Pembentukan komunitas muslim seperti ini juga dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim yang datang di tempat yang sama sekitar tiga abad lebih sedikit setelah wafatnya Fathimah binti Maimun. Mengapa Maulana Malik Ibrahim menetap di dekat Leran? Karena disitulah komunitas muslim sudah terbentuk, walaupun masyarakatnya sudah banyak yang meninnggalkan kepercayaan Islam setelah serangan Airlangga di tempat tersebut.
Di sekitar sejarah Fathimah binti Maimun ini, di kalangan sebagian masyarakat sering terjadi kerancuan yang menyamakan antara Fathimah dengan Dewi Retno Suari. Berikut penulis uraikan analisis atas kesalahpahaman tersebut.

E.     Menyingkap Rahasia Kubur Panjang, Dewi Retno Suari dan Fathimah binti Maimun
Kerancuan masyarakat (dan sebaian juru kunci makam terkait) antara tokoh Dewi Retno Suari dengan Fathimah binti Maimun berlatar belakang pada sebuah hikayat.
Dikisahkan bahwa setelah usaha dakwahnya berhasil, maka Maulana Malik Ibrahim melaporkan kepada Sultan Kedah, pamannya sendiri, yang dahulu mengutusnya ke Gresik. Betapa senangnya hati sang paman. Sultan Mahmud Syah Alam, membaca surat Maulana Malik Ibrahim yang ditujukan kepadanya tentang segudang keberhasilan dakwahnya Maulana Malik Ibrahim di tanah Jawa. Namun hatinya masih kecewa karena Raja Majapahit belum memeluk Agama Islam. Maula­na Malik Ibrahim mengusulkan agar agar puteri Sang Sultan, Dewi Ratna Suari bisa dipersunting Raja Majapahit dengan maksud nantinya rakyat kerajaan Majapahit lebih mudah memeluk Agama Islam. Dalam buku ”Sejarah Kubur Panjang” disebutkan bahwa yang memberi usulan tersebut adalah Sayid Ja’far, bukan Maulana Malik Ibrahim.
Usul Maulana Malik Ibrahim itu dibahas Sultan dengan para Menteri dan para pembesar kerajaan Kedah. Akhirnya mereka sepakat bahwa Sultan Mahmud Syah Alam melaksanakan muhibbah ke Majapaliit. Rombongan Sultan Kedah yang disertai pula puterinya, Dewi Ratna Suari, mengarungi lautan, dengan perahu yang bertuliskan ayat Al-Qur’an, ”Nashrum minaliah wa fathun qoriib wabashshiril Mukminiin”.
Pada tahun 1303 Saka atau tahun 1381 Masehi (dengan candra sengkala : Bumi ngilir tahun becik), rombongan muhibbah Sultan Kedah mendarat di pelabuhan Jenggolo Gresik. Dan Sultan Mahmud Syah Alam dipersilahkan beristirahat di Leran.
Sebelum Sultan berkunjung ke Majapahit, terlebih dahulu mengirimkan surat kepada Raja Majapahit memberitakan maksud kedatangannya yakni akan bersilaturrahmi ke ibu kota Majapahit dan mohon diperkenankan bisa bertemu dengan Sang Raja Maja pahit. Keinginan Sultan Kedah itupun disetujui Raja Majapahit dan pertemuan benar-benar terjadi di desa Minggiran daerah Krian, dekat Surabaya.
Dalam pertemuan itu Sultan Mahmud Syah Alam menyerahkan tanda mata sebuah delima besar kepada Prabu Brawijaya Raja Majapahit. Dan yang penting, Raja Majapahit saat itu telah mengerti bahwa puteri Sultan Kedah yang bernama Dewi Ratna Suari yang juga ikut hadir dalam pertemuan tersebut, agar bisa dipersuntingnya. Namun Sang Raja rupa-rupanya merasa tersinggung dan suasana agak sedikit tegang.
Setelah rombongah Sultan Kedah pulang ke Gresik, Raja Majapahit memerintahkan agar buah delima pemberian Sultan Kedah itu dibelah. Dengan muka masam Raja Majapahit memperhatikan buah delima itu karena jauh-jauh datang tetapi hanya memberi buah delima. Bukankah buah delima ada di mana-mana, demikian pikir Sang Baginda dengan perasaan heran. Tetapi alangkah terperanjatnya Sang Raja ketika melihat isi buah delima yang dibelah itu penuh dengan intan permata belaka, padahal dari luar kulit delima tidak tampak berlubang dan tidak ada goresan meskipun sekecil lubang jarum. Pastilah Sultan Kedah itu bukan sembarang orang, demikian pikir Sang Raja lagi. Dalam hati Sang Baginda amat menyesal atas sikapnya yang kurang menghargai Sultan Kedah. Dan beliau akan menemui Sultan Kedah ke Gresik untuk minta maaf dan sekaligus akan mempersunting Dewi Ratna Suari, puteri Sultan Kedah itu.
Sementara itu, setibanya di Leran, Sultan Mahmud Syah Alam diliputi rasa sedih dan kecewa atas kegagalan diplomasinya terhadap Raja Brawijaya Majapahit. Usaha untuk menjodohkan Raja Majapahit dengan Dewi Ratna Suari tidak berhasil, dan tentu saja harapan mengislamkan Sang Raja juga jauh lagi. Maka Sultan Mahmud Syah Alam berniat akan kembali ke Kedah.
Namun nasib naas menimpa mereka. Wabah penyakit menyerang daerah Leran dan sekitarnya yang membawa banyak korban penduduk meninggal dunia. Termasuk puteri Sultan Kedah, Dewi Ratna Suari juga meninggal dunia, ditandai candra sengkala; Puteri Rusung Nawang Wulan: 1331 tahun Saka atau 1389 tahun Masehi.
Juga ikut meninggal dunia, kedua pengiring Dewi Ratna Suari, yaitu Nyai Kuring dan Nyai Seruni. Juga termasuk yang menjadi korban wabah hingga meninggal dunia adalah bibinya Dewi Ratna Suari, Senopati Sultan Kedah, Sayyid Jalal dan Sayyid Syarifuddin. Di dalam cungkup makam Fathimah, selain nisan Fathimah juga ada nisan-nisan yang diberi nama-nama: Nyai Sruni di sebelah timur nisan Fathimah. Di sebelah barat nisan Fathimah ada nama-nama Putri Keling, Putri Kucing dan Putri Kamboja. Nampaknya pemberian nama-nama ini tidak otentik, sebagaimana tidak otentiknya penyamaan sosok Fathimah sebagai Dewi Retno Suari.
Sampai di dalam perjalanan pulangnya Sultan Kedah dan rombongan ke negeri Kedah, di tengah perjalanan, masih ada yang meninggal, dan mereka ada yang dimakamkan di Pulau Madura, dan ada yang dimakamkan di Pulau Bawean. Kedua pulau itu dekat Gresik.
Tersebutlah, beberapa saat setelah Dewi Ratna Suari me­ninggal dunia dan Sultan Mahmud Syah Alam beserta rombongan kembali ke negeri Kedah, utusan dari Raja Majapahit pun datang ke Leran. Utusan tersebut membawa berita bahwa Raja Majapahit akan meminang Dewi Ratna Suari dan permintaan maaf dari Raja Majapahit kepada Sultan Mahmud Syah Alam, serta ucapan terima kasih atas pemberian hadiah intan permata yang dibungkus delima merekah. Namun apa dapat dikata, Dewi Ratna Suari telah dipanggil Allah SWT, dan Sultan Kedah beserta rombongan telah kembali ke negerinya lagi.
Adapun tentang Maulana Malik Ibrahim sendiri setelah Sultan Mahmud Syah Alam kembali ke Kedah, masih terus menyiarkan Agama Islam di daerah Leran dan sekitarnya. Beliau mendirikan langgar atau musholla di desa Sawo yang hingga sekarang masih ada. Dan akhirnya beliau berdomisili di Gresik hingga wafatnya pada tahun 1419 Masehi dan dimakamkan di Gresik pula.
Terkait dengan itu, maka di Leran terdapat makam dengan ukuran nisan yang panjang-panjang.
Memang di Indonesia ini, di komplek-komplek pemakaman raja-raja atau pasarean para Wali terdapat beberapa kijingan (bangunan nisan di atas pusara) yang panjang. Orang Jawa biasa menyebut Makam nDowo yang artinya makam panjang. Di lokasi pesarean Raja-raja Muslim di belakang masjid Agung Demak bahkan ada yang 9 meter panjangnya. Di kompleks makam Trowulan juga sama, nisan dari para wali yang dimakamkan panjang-panjang.
Demikian pula di lokasi pesarean Leran, Gresik, terkenal juga dengan Makam nDowo, ada nisan yang membujur panjangnya sembilan meter. Jumlah makam panjang di Leran ada enam nisan.
Di sebelah timur cungkup makam Fatimah binti Maimun, terdapat makam panjang berpagar tembok keliling, yang disebut sebagai makam saudara misan Sultan Mahmud Syah Alam bernama Sayyid Ja’far. Di sebelah baratnya makam Sayyid Ja’far terdapat nisan Sayyid Syarif (Hasyim mengejanya sebagai Sayid ’Arif), dan yang paling barat adalah nisan dari Sayyid Karim.
Adapun pusara yang terletak di sebelah timur dari ketiga Sayyid tersebut adalah satu buah makam panjang yang tidak bertembok di sekelilingnya (atau karena sudah runtuh?) yang diidentifikasi sebagai makam Sayid Jamaludin. Di paling timur juga terdapat makam panjang bertembok keliling berisi dua nisan panjang, yang disebut sebagai makamnya Sayyid Jalal dan Sayyid Jamal (Hasyim menyebut nama Syarifuddin), keduanya adalah Senopatinya Sultan Mahmud Syah Alam dari Kedah, yang meninggal karena terserang wabah penyakit yang menyerang juga kepada Dewi Ratna Suari. Sebagian versi menyebutkan bahwa mereka adalah para prajurit-prajurit Sultan Mahmud yang diberi kuasa untuk memegang dan mengurus barang-barang pusaka di zaman dahulu. Juga ada yang menyebutkan mereka adalah para paman dari Fathimah.
Penyebutan beberapa makam panjang sebagai kerabat Sultan Kedah dan juga kerabat Fathimah, bisa jadi hanyalah untuk memudahkan identifikasi, serta untuk mendukung kisah yang ada agar menjadi lebih bermakna.
Namun penulis menduga, dengan melihat posisi makam yang berjauhan, juga bentuk nisan yang berbeda antara nisan yang ada dalam cungkup makam Fathimah dengan nisan-nisan panjang, berarti orang yang dimakamkan juga memiliki masa yang berbeda. Artinya, memperhatikan sejarah daerah Leran, bisa jadi, bahwa makam-makam yang diberi nama-nama Sayid Ja’far, Sayid Syarif, Sayid Karim, Sayid Jalal, Satid Jamal dan Sayid Jamaludin adalah makam para ulama penyebar Islam di Leran dan sekitarnya, pada masa-masa sejak sebelum Fathimah meninggal.
Mengapa dinamakan Makam Panjang, hal ini ada beberapa pendapat. Antara lain mengatakan bahwa tokoh yang dimakamkan di bawah nisan yang memanjang itu adalah orang yang dahulunya datang dari negeri yang jauh. Ada juga yang berpendapat bahwa sang tokoh adalah pribadi yang bijaksana artinya pandangan serta alam pikiran dan wawasannya yang jauh jangkauannya dan luas sehingga sulit dipahami oleh orang kebanyakan. Dan bila yang dimakamkan itu adalah tokoh muballigh, maka mempunyai arti kiasan bahwa penyiaran Agama Islam di Jawa atau Nusantara ini masih memerlukan waktu yang panjang untuk keberhasilannya.
Pada kompleks makam panjang tersebut, makam Fathimah berada pada kompleks tersendiri, yang diberi pagar tembok tebal mengelilinginya. Pagar tembok dengan tebal sekitar 1 m memiliki ciri-ciri bangunan kuno berusia ratusan tahun. Demikian pula bangunan cungkup makam yang jika dilihat dari dalam bersusunan seperti bangunan candi, mencirikan konsep bangunan yang sangat kuno.
Dalam kisah legenda masyarakat (sebagaimana dituturkan dalam buku Sejarah Makam Panjang, hlm. 10-11), bangunan makam Fathimah tersebut disebut sebagai bangunan yang belum jadi. Dikisahkan bahwa setelah Raja Brawijaya membuka buah Delima, muncul rasa penyesalan. Sehingga timbullah niat untuk menemui Sultan Mahmud di Leran, karena merasa berhutang budi yang sangat besar.
Namun sesampainya di Leran, ternyata Sultan Mahmud sudah pulang ke Kedah, sedangkan Dewi Suari atau Fathimah sudah wafat. Untuk menebus rasa hutang budinya, mka Raja Brawijaya membuat bangunan berupa gedung yang sangat megah diatas makam Dewi Suari alias Fathimah, dengan dibantu oleh Sayid Ja’far dan Maulana Malik Ibrahim. Tidak ketinggalan juga bantuan para jin untuk mempercepat pekerjaan.
Dikisahkan juga bahwa rencananya, pembangunan gedung makam itu dilaksanakan dalam tempo semalam. Namun baru setengah malam, Sayid Ja’far mendengar kokok ayam yang biasanya menjadi pertanda bahwa waktu pagi sudah datang. Sehingga pekerjaan pembangunan yang baru mendapatkan separo itu dihentikan. Karena sudah terlanjur dihentikan, maka sewaktu diketahui bahwa waktu masih malam, pekerjaan pembangunan tidak dilanjutkan lagi. Hasilnya adalah bangunan cungkup Dewi Suari alias Fathimah tersebut bukanlah bangunan utuh, namun baru berupa bangunan cungkup setengah jadi. Tentulah kisah ini bersifat semi-mistis, karena hampir sama dengan kisah dongeng Candi Roro Jonggrang yang dibangun hanya dalam waktu semalam. Namun malam belum habis terdengar kokok ayam, karena tipu daya Roro Jonggrang, sehingga bangunan candi juga tidak sempurna, yaitu masih kurang satu candi lagi. Di Indonesia, cerita-cerita seperti sangatlah banyak.
Kisah tersebut mungkin ada benarnya, jika dilihat dari arsitektur bangunan candi, karena memang bentuk bangunan mirip candi yang baru setengah jadi. Namun jika melihat masyarakat Leran yang berasal dari masyarakat Lor di Persia, maka bentuk bangunan seperti yang sekarang ada di Leran sebagai cungkup makam Fathimah adalah hal yang wajar.
Sebagaimana sudah dikemukakan, bahwa cerita tradisi lisan orang Jawa telah menghubung-hubungkan bahwa Fatimah binti Maimun yang batu nisannya terdapat di Leran Gresik itu sama orangnya dengan Dewi Ratna Suari, puteri dari Sultan Mahmud Syah Alam yang diusahakan oleh Maulana Malik Ibrahim. Jadi Fatimah binti Maimun itu ya Putri Leran, ya Dewi Ratna Suari atau Putri Dewi Sari, satu orangnya. Demikian asumsi masyarakat Jawa.
Yang jelas tulisan yang ditemukan pada nisan Fatimah binti Maimun di Leran itu adalah tgl. 7 Rajab tahun 475 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1082 Masehi.
Adapun Dewi Ratna Suari atau Putri Dewi Sari meninggal dunia ditandai dengan candera sengkala; Puteri Rusung Nawang Wulan, yakni, tahun 1311 Saka atau tahun 1389 Masehi.
Sedangkan wafatnya Maulana Malik Ibrahim adalah tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 822 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1419 Masehi.
Melihat data di atas, maka masa kehidupan Dewi Ratna Suari puteri Sultan Kedah, dengan masa kehidupan Maulana Malik Ibrahim adalah memang satu masa, dengan jarak wafatnya kedua tokoh itu adalah 20 tahun.
Tetapi tahun meninggalnya Fatimah binti Maimun adalah jelas 1082 Masehi. Jadi masa kehidupan antara Fatimah binti Maimun dengan Dewi Ratna Suari itu berselisih tiga abad. Maka apakah mungkin antara dua nama tersebut di atas satu orangnya? Tentu saja hal itu adalah mustahil.
Yang mengherankan adalah hasil research dari salah satu lembaga ilmiah, yakni Lembaga Research Pesantren Luhur Islam Jawa Timur yang telah mengadakan penelitiannya pada tgl. 27 April - 23 September 1973 (PPPSG Gresik halaman 37 dan 40), juga mengatakan bahwa Fatimah binti Maimun itu sama orangnya dengan Dewi Ratna Suari puteri Sultan Mahmud Syah Alam dari Kedah yang hidupnya sejaman dengan Maulana Malik Ibrahim. Padahal bila ditilik baru sekilas saja hal itu tidak masuk akal, dua pribadi yang masa hidupnya selisih berabad-abad kok bisa dianggap sebagai satu pribadi yang hidup dalam satu masa yang sama. Lebih disayangkan lagi, buku (Sejarah Kubur Panjang, 1991) yang dikeluarkan oleh pemangku makam Leran juga menyamakan tokoh Fathimah binti Maimun dengan Putri Dewi Retno Suwari. Lebih tidak masuk akal lagi ketika dalam buku tersebut nama-nama Fathimah, Prabu Brawijaya, Maulana Malik Ibrahim, Sunan Giri (hlm. 7-10) disebut sebagai orang-orang yang hidup sezaman. Padahal buku tersebut juga mencantumkan tahun wafat Fathimah pada angka tahun 1081 M/474 H. Tentu saja informasi-informasi seperti ini tidak bisa diterima dari sudut pandang apapun. Tentu saja dinas-dinas kepemerintahan seperti dinas purbakala, dinas pariwisata dan sejenisnya seharusnya ikut andil dalam penerbitan buku-buku resmi mengenai informasi situs-situs yang ada, sehingga masyarakat dapat memperoleh informasi yang benar, dan lebih dekat dengan data sejarah.
Dengan demikian maka masa hidup Fatimah binti Maimun adalah lebih kuno dari masanya Dewi Ratna Suari dan Maulana Malik Ibrahim. Antara kedua wanita itu tidak ada hubungannya baik asal usulnya maupun peranannya dalam sejarah perkembang-an dakwah Islam di Gresik. Tegasnya lagi, bahwa Fathimah binti Maimun bin Hibatallah bukanlah Dewi Retno Suwari yang dikatakan sebagai putri Sultan Kedah Sultan Mahmud Mahdad Alam (Mahmud Syah).

F.     Nuansa “Islam” dalam Kakawin Gatotkacasraya (Abad ke-12 M)
Setelah data tentang keberadaan seorang ulama besar Maulana Ali Syamsu Zein yang telah lama hidup di Jawa Timur sehingga membuat dirinya berhasil menarik perhatian kalangan keraton Jawa saat itu (Raja Jayabaya), dan bahwa ternyata sang Raja kemudian tertarik untuk berguru kepadanya, sebagaimana dituturkan dalam Kitab Asrar, kita mendapatkan pertanyaan sangat menarik, apakah Raja Jayabaya memang akhirnya menyatakan dirinya memeluk agama Islam? Jawaban atas pertanyaan ini memang masih samara-samar untuk dipastikan sekarang. Apalagi dalam wacana akademis, sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dalam pengertian sejarah nasional Indonesia sudah didoktrinkan bahwa Raja Jayabaya dinyatakan seolah-olah masih beragama Hindu/Wisnu, dan tidak mengenal Islam sama sekali.
Namun tentu saja, hal ini logis karena para sarjana sejarah pada waktu itu belum melihat hubungan data dalam kitab Asrar itu dengan karya Empu Panuluh yang di dalamnya sudah didapatkan banyak ungkapan dalam bahasa Arab.[19] Banyaknya kata-kata Arab dalam kakawin Gatotkacasraya itu membuktikan adanya pengaruh ajaran Maulana Ali Syamsu Zain (Islam) sudah cukup dihayati oleh pujangga dan masyarakat Kediri di zaman abad ke-12 tersebut. “Karangan yang ditulis berbentuk kakawin (syair atau tembang lama) ini seringkali dibacakan ke seluruh Negara, untuk didengar rakyatnya oleh seorang yang ahli syair (tukang kentrung). Dengan khidmat rakyat kawula Kediri mendengarkannya. Juga cerita-cerita yang terjalin indah tersebut seringpula digelarkan dengan wayang beber” (Any, 1979: 40).
Jadi dapat diketahui bahwa apresiasi seni dan budaya masyarakat Kediri pada waktu itu sudah cukup tinggi, dan mereka memiliki banyak waktu untuk menikmati berbagai pertunjukan kesenian dan kebudayaan. Biasanya apresiasi seni rakyat menjadi kreatif dan cukup tinggi intensitasnya karena kemapanan ekonomi. Bagaimanakah sebenarnya keadaan masyarakat kebanyakan, dan tingkat kemakmuran kerajaan Kediri, sehingga juga mampu menarik minat para pedagang dan pelancong asing untuk berkunjung ke Kediri?

G.    Kondisi Masyarakat Kediri dan Islam Pada Masa Prabu Jayabaya
Untuk mendapatkan berita yang konkrit mengenai kondisi masyarakat Kediri pada masa Raja Jayabaya, agar memperoleh deskripsi yang jelas dan lengkap dapat digunakan sumber-sumber Cina (Abdullah, dkk., 2002: 9 – 11). Dari berbagai sumber Cina dapat diperoleh gambaran, bahwa pada waktu itu memang sudah ada kerajaan besar di Jawa yang bernama Kediri dengan rajanya bernama Sri Jayabaya.
Diberitakan bahwa penduduk Kediri mempunyai adat rambutnya terurai panjang, memakai kain sampai ke bawah lutut, dan bertempat tinggal di rumah-rumah yang cukup bagus. Lantainya terbuat dari batu ubin berwarna-warni, hijau, kuning, dan sebagainya. Sementara raja, rambutnya tidak terurai, namun digelung disanggul, memakai pakaian dari bahan sutera alam. Kakinya memakai terompah terbuat dari kulit binatang. Negara tersebut juga sudah memiliki gedung pertemuan tempat bertemunya kaum pedagang, saudagar asing dengan pedagang pribumi. Orang-orang asing datang dengan membawa barang-barangnya, dan mengambil barang-barang penduduk pribumi. Pasar-pasarnya ramai, apalagi pasar di pelabuhan besar di Canggu, tempat barang-barang dan hasil bumi dari seluruh kepulauan Indonesia sebelah timur terkumpul.
Produksi kerajinan Kediri pada waktu itu tercatat oleh musafir Tionghoa antara lain: berupa padi, kacang-kacangan, tebu, kedelai, pisang, papaya, kelapa, kulit kayu manis, kayu cenana, lada, dan sebagainya. Sedangkan hewan ternak yang dihasilkan adalah ayam, itik, lembu, ikan an penyu. Peternakan penyu, walaupun sekarang ini tidak mendapatkan perhatian orang, namun pada masa kerajaan Kediri sudah menjadi home industry. Selain hasil-hasil tersebut, di bawah pemerintahan Raja Jayabaya, Kediri juga menghasilkan emas, perak, gading, cula badak, kapas, dan sutera. Suatu hasil yang memiliki daya jual tinggi pada waktu itu. Pajak perdagangan juga sudah diberlakukan, sehingga pendapatan pemerintah juga cukup besar. Menurut catatan kropak Tionghoa, besarnya pajak sekitar sepersepuluh dari hasil penjualan.
Sebagai alat tukar uang, Kediri juga mengenal uang perak dan kuningan, walaupun tidak disebutkan nilainya masing-masing. Karena perdagangan maju, maka terciptalah kemakmuran, terutama bagi bangsawannya, menyebabkan mereka dapat menyisakan waktu luang bagi kepentingan kebudayaan. Musik yang dikenal pada saat itu adalah tetabuhan yang terdiri dari seruling, gendang dan gambang. Setiap lima bulan sekali penduduk mengadakan pesta dalam perahu. Dan ini diketahui langsung oleh para pedagang dan pelancong asing, yang kadang datang bertepatan dengan karamaian tersebut.
Pada bulan kesepuluh, rakyat Kediri pergi bertamasya ke gunung-gunung, yang menunjukkan bahwa kesejahteraan dan kemakmurannya telah tercapai dengan baik. Sehingga pada waktu itu disebutkan bahwa terdapat tiga Negara terkaya di dunia, yaitu: pertama, kerajaan Khalifah di tanah Arab; kedua, Negara di pulau Jawa (Kediri); dan ketiga, Negara Sriwijaya (Any, 1979: 41). Sementara dilihat dari besar dan luasnya wilayah kekuasaan, pada masa itu memang Kediri kalah disbanding yang lain, seperti; Dinasti Tang Cina (660-907), Sriwijaya (abad 7 – 14 M), dinasti Umayyah (660-741), dan dinasti Abbasiyah (750-870) (Abdullah, dkk., 2002: 12). Kedua dinasti terakhir inilah yang disebut kerajaan khalifah di Arab di atas. Diantara beberapa Negara tersebut, yang paling getol menggalakkan penjelajahan dan mengirim utusan adalah kerajaan dinasti Tang di Cina, dan sebagian para utusan tersebut sampai ke Negara Daha-Kediri. Wajar jika para sejarawan dalam menelusuri awal mula Islam di Nusantara, mengandalkan informasi dari berita Cina, yang terdokumentasi secara baik.
Dari data-data di atas jelaslah bahwa kedatangan Maulana Ali Syamsu Zain pada abad tersebut tidak merupakan hal yang aneh, apalagi mustahil. Ulama tersebut bukanlah hanya legenda atau hikayat, melainkan tokoh sejarah Islam yang mendahului Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 882 H = 1419 M di tempat operasi dakwah yang sama, Gresik. Dalam kebanyakan asumsi sejarahwan sekarang, Maulana Malik Ibrahim sering dinyatakan sebagai tokoh dakwah Islam pertama di Jawa. Yang benar adalah, tokoh terakhir ini, sudah generasi yang ketiga dari para penyebar Islam di tanah Jawa. Sebab Maulana Ali Syamsu Zain ternyata, sudah generasi kedua dalam catatan penyebaran Islam di Jawa.
Data sejarah Islam di Jawa yang lebih tua dibandingkan dengan kedatangan Maulana Ali Syamsu Zain adalah tokoh banyak karamah yang menancapkan bendera Islam di kawasan Gunung Tidar pada sekitar tahun 800 – 825 M, pada masa pemerintahan Raja Samaratungga di sekitar pusat kekuasan Merapi – Merbabu. Fakta ini juga tertuang dalam Kitab Asrar yang pertama-tama digubah oleh Pangeran Wijil sekitar tahun 1743 dan 1749 M yang menyebutkan tokoh Syekh Subakir yang datang pada saat emigran Arab tersebut ke Jawa, dan mendapatkan kesuksesan besar. Disebut demikian karena, menurut berita tersebut, Syekh Subakir berhasil mengislamkan Raja Smaratungga, yang dalam gambaran kitab Asrar gubahan tadi digambarkan sebagai tokoh Semar dan Togog. Informasi serupa juga dicatat dalam sebuah naskah tua “Pawartos Bab Lampahipun Tanah Djawi”, tentang perjalanan Syaikh Subakir dan dialognya dengan Semar dan Togog, yang menjadi ikutan segenap pembesar pada zamannya (Zamroji, 2009: 40).

H.    Mempertanyakan Keislaman Prabu Jayabaya
Sebagaimana informasi yang disampaikan dalam kitab Asrar, Maulana Ali Syamsu Zein mengajarkan Islam di Jawa, termasuk kepada Raja Jayabaya dan bahkan sebelumnya sudah mengajar Islam kepada Ajar Subrata, anak Empu Sedah, yang wafat karena kesalahpahaman dan ketergesa-gesaan sikap sang Raja atas karya Empu Sedah yang dibuat atas perintah sang Raja, yakni kakawin Bharatayudha di atas. Raja Jayabaya mengira bahwa cerita dalam kakawin tersebut memiliki maksud menyuindir perbuatan sang Baginda sebelumnya, sehingga sang Raja menjadi marah, dan menjatuhkan hukuman baker kepada Empu Sedah.
Bukti bahwa akhirnya Raja Jayabaya berguru kepada Maulana Ali Syamsu Zein terdapat dalam point (1) yang menyatakan: “Kitab Musarrar (Asrar) ing nganggit, duk sang Aji Jayabaya, ing Daha wau kuthane, anggeguru ngelmu cipta, aking ngRum babonira, pandita kalok kang muruk, ing ngelmu cipta-sasmita”. (Kitab Musarrar ini ditulis ketikia zaman pemerintahan sang Raja Jayabaya dari Daha atau kerajaan Kediri (Raffles, 1978: 58), berguru ilmu cipta [tasawuf] yang sumbernya berasal dari Rum, yang dibawa Pandita/ulama terkenal itu [Maulana Ali Syamsu Zein], beliaulah yang memberikan pelajaran ilmu kepadanya [Prabu Jayabaya]).”[20]
Dalam hal ini perlu difahami, bahwa belajar ilmu tasawuf kepada seorang ulama Islam yang datang ke sini dengan missi dakwah islam tidak mungkin jika tanpa mensyahadatkan terlebih dahulu kepada sang murid, yang dalam hal ini adalah Raja Jayabaya.
Kalimat pada point (1) di atas perlu dihubungkan dengan pernyataan pada point (4) yang melukiskan keadaan kebatinan atau keruhanian sang Prabu Jayabaya, sebagai berikut: “Yen Islama kadi Nabi, ri Sang Aji Jayabaya, cangkramen arga wus suwe, amanggih marang Ajar ing gunung Padang, winon tpane gentur, dadi barang kang cinipta”. (Raja ini jika toh dikatakan sebagai Islam layaknya seperti Nabi saja (?) tatapan ilmunya; hatta tatkala ia bercengkerama ke gunung Padang (tempat Ajar Subrata sebagai besannya) lamalah beliau di sana menjumpai sang Ajar, berwindu-windu lamanya ia bertapa, sehingga akhirnya berhasillah, apa yang dikehendaki terkabullah”) (Any, 1979: 55, poin 15).
Tentang sanjungan sang pujangga “yen Islama kadi Nabi” perlu mendapatkan perhatian serius. Memang nampak bahwa hal itu terlalu mencolok, atau sebagai keterlanjuran sang pujangga. Dengan mengesampingkan bombastisisme bahasa yang dipakai (overacting), justru kita dapat mengajukan pertanyaan menarik dengan memperhatikan pernyataan itu, apakah sang Jayabaya sudah masuk Islam benar-benar atau belum? Karena dengan memperhatikan substansi pesan yang disampaikan dalam kitab Musarrar itu, nyata bahwa baginda sudah berguru tasawuf islam kepada sang ulama. Namun keraguan ini masih agak muncul, karena stigma kehinduan dalam sejarah Indonesia sudah demikian lekat pada pribadi Raja Jayabaya. Andjar Any malah mengambil kesimpulan, “mengenai ilmu tingkat tinggi masih terus dilakukan diskusi berhari-hari, bahkan sampai ada yang menganggap bahwa Sang Prabu Jayabaya itu sebenarnya hatinya telah Islam, tetapi lahirnya masih beragama Hindu” (Any, 1979: 48).
Dari informasi dalam kakawin tersebut di atas, juga kita peroleh informasi, bahwa ketika Maulana Ali Syamsu Zein akan kembali ke negerinya, konon dalam pertemuan perpisahan, sang guru memberi petuah kepada raja Jayabaya sebagai berikut; “Sang Prabu, bila anda ingin mendapatkan keabadian, hindarkanlah dari perbuatan-perbuatan yang bukan-bukan. Janganlah tergesa-gesa menjatuhkan hukuman bagi seseorang yang belum diketahjui kesalahannya. Seyogyanya ditimbang dengan baik-baik sebelum menjatuhkan hukuman pidana. Hanya seorang yang dapat mengalahkan nafsunya sendiri yang disebut orang yang berbudi luhur dan pantas disebut ‘satria’”. Prabu Jayabaya mengerti ke arah mana kata-kata sang Pandita, maka diapun segera menyatakan kesediaannya untuk memperbaiki wataknya. Maulana Ali Syamsu Zein segera pamit dengan menepuk pahanya, maka diapun lenyap dari hadapan Prabu Jayabaya…, dan pulang kembali ke negeri Rum (Any, 1979: 48). Masyarakat Jawa kuno menyebut negeri “Rum” atau “Ngerum” untuk beberapa negara yang pernah berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani, yang setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel dari bangsa Rumawi, orang Jaea mengalamatkan “wong Ngerum” kepada Turki Utsmani.
Selain fakta dari dalam naskan kitab Musarrar, kita juga mendapati berbagai cerita rakyat, yang kalaupun tidak sepenuhnya benar, namun substansinya mengarah pada kenyataan Islamnya Prabu Jayabaya. Dalam cerita rakyat tersebut disebutkan bahwa konon sang Prabu Jayabaya pernah kedatangan Dewa Narada yang antara lain berpesan: “Hai Prabu Jayabaya, ketahuilah bahwa cucumu tidak mungkin akan lahir bila kamu tidak melepaskan titisan ke-Wisnuan-mu. Apabila terlanjur-lanjur, maka akan merusakkan segalanya.” Maka Prabu Jayabaya menjelang kelahiran cucunya (Prabu Anglingdarma) telah mencukur rambutnya, suatu perlambang bahwa di dalam hatinya dia telah masuk Islam dan memakai kopiah (Any, 1979: 50-51).
Sebagaimana kebiasaan seorang Raja di Jawa, bila ia merasa sudah dekat dengan akhir hayatnya, maka terlebih dahulu mengadakan perjalanan keliling melihat-lihat keadaan Negara an rakyatnya sambil mencari daerah mana yang pantas hendak dipakai sebagai makam atau untuk mukswa (moksa). Dan sampailah sang Raja di desa Gagakrungsit.
Di dekat kuburan Pragola, Prabu Jayabaya terhenti langkahnya karena mendengar rintihan orang menangis yang menyayat hati. Sang Prabu lalu berhenti dan bertanya kepada seluruh pengiringnya, apakah mereka juga mendengar suara tersebut? Mereka menjawab bahwa mereka juga mendengarnya. Kemudian sang Prabu memerintahkan agar kubur tersebut digali. Setelah sampai kedalaman sekitar satu meter tercium bau harum semerbak. Penggalian diteruskan, dan saat trebela (kotak tempat jenazah di liang lahad) terbuka, terdapat kain putih yang tertata rapi, namun sudah tidak terdapat jasad jenazah.
Sang Raja segera meminta penjelasan kepada Kepala Desa Gagakrungsit tentang jatidiri orang yang dikuburkan tersebut. Kepala Desa menjelaskan bahwa yang dikuburkan pada kuburan tersebut adalah seorang wanita biasa yang meninggal, yang didahului kawin oleh adiknya. Karena rasa malu, akhirnya ia tidak mau makan, minum dan tidur sampai meninggal. Dan sejak dikuburkan, seringkali teerdengar suara rintihan dan tangis dari arah kuburan itu. Kepala desa juga mengatakan bahwa nama gadis tersebut adalah “Suci”. Cerita tersebut menjadi buah bibir kerajaan, sehingga sang Prabu membuat maklumat bahwa segala umat Tuhan tidak boleh diperhinakan, biarpun, orang tersebut nampak hina, ataupun lemah. Sebab, menurut sang Raja, bagaimanapun keadaannya, jika ia memiliki ketekunan dan kesungguhan hati, akan memiliki kelebihan-kelebihan tertentu melebihi sesamanya, juga dapat mukswa (Any, 1979: 52).
Apa yang kita dapat dari cerita tersebut? Cerita itu mengingatkan kita pada sebuah hadits Nabi, yang menyatakan perjalanan Rasulullah sampai pada sebuah kuburan, dan terdengar rintihan serta tangisan dari arah kubur tersebut. Nabi kemudian memerintahkan sahabat untuk mencari pelepah kurma yang ditancapkan di atas kuburan tersebut.[21] Menurut hadits tersebut, Rasulullah mengemukakan bahwa jenazah yang dikuburkan kurang merawat kebersihan dirinya setiap kali habis buang air kecil, hingga menjalankan shalat. Ini adalah sebuah ibarat orang tidak boleh meremehkan segala hukum sara’ apapun wujudnya, berat atau ringan.
Maka ada pertanyaan yang menggelitik disini, apakah hadits tersebut ada hubungannya dengan cerita Sang Prabu di Kediri? “Yen Islama kadi Nabi, ri Sang Aji Jayabaya…”. Wa Allau a’lam bi al-shawab.

I.       Periode Awal Masuknya Islam di Jawa
Dalam kitab Jangka Jayabaya yang bersumber dari kitab Musarrar, kita juga mendapatkan periodesasi masuknya Islam di Jawa. Dalam kitab Jangka Jayabaya versi Pranitiwakya gubahan R.Ng. Ranggawarsita (1790 J = 1861 M) di sana kita mendapati suatu era yang disebut sebagai “Kalabrata”, tahunnya menunjukkan angka 701 – 800 C = 779 – 878 M. Dalam tahun ini disebutkan baru mulai adanya “pembeberan ajaran agama” (berbaring panatagama). Maka yang dimaksudkan nampaknya adalah “kedatangan agama Islam” yang dibeberkan oleh Syekh Subakir (Syaikh Syamsuddin al-Baqir) kepada raja Smaratungga (800 m – 825 M). Sehingga analisa pembuktian penulis tentang kedatangan emigran-emigran Arab kedua pada saat ini nampaknya benar.
Kemudian juga terdapat era yang disebut sebagai “Kala Teteka” (1101 – 1200 C = 1179 – 1278 M), yaitu zaman kedatangan emigran dari luar negeri ke tanah Jawa berikutnya. Kedatangan Maulana Ali Syamsu Zein adalah sekitar era ini, apalagi kemudian ditandai tentang banyaknya orang Jawa yang mencari ilmu pengetahuan ruhani, dan kemudian berhasil. Salah satu contohnya adalah Prabu Jayabaya yang berguru kepada Syekh Maulana Syamsu Zain tersebut. Era ini secara jelas menggambarkan ilmu atau kawruh Islam yang dibawa oleh sang Maulana tersebut.
Dari penggambaran ini jelaslah bahwa Islam yang berkembang pesat pada abad ke-15 dan ke-16, sejak kerajaan Demak berdiri memang sudah mengalami perjalanan panjang dalam penyebarannya.[22] Kondisi Islam yang merata saat itu, bukanlah sulapan para wali dalam dewan Walisanga. Walisanga tinggal meneruskan jalan yang sudah sejak 3 abad dirintis oleh para pendahulunya.[23] Bahkan sebelum kadipaten Bintara, sebagai cikap bakal kerajaan Demak berdiri, ratusan tahun sebelumnya, di pusat ibukota Majapahit sudah terdapat perkampungan muslim, yang dihuni oleh orang-orang muslim asli Jawa. Terdapat banyak ulama dan wali yang berdakwah di Indonesia jauh sebelum era Walisanga, diantaranya adalah Syaikh Isma’il di Bangil yang dikenal sebagai Mbah Bangil (w. 680 M), Syaikh Syamsuddin al-Washil, Sultan Malik al-Shalih, Syaikh Jumadil Kubra, Syaikh Ibrahim al-Samarqandi, Syaikh Hasanuddin “Qura”, Syekh Datuk Kahfi, Aria Abdillah atau Aria Damar yang dikenal sebagai Damar Wulan dan sebagainya.
Demikian pula di Cirebon, saat itu, sebelum Demak berdiri dan para Wali dalam dewan Walisanga terbentuk, sudah terdapat pesantren yang sangat besar dengan ribuan santri, di bawah kepengasuhan Syekh Datuk Kahfi (Abdullah dkk., 2002: 15-6, 21-2), bersama beberapa tenaga muda dari Spanyol (juga sering disebut Rum oleh naskah sastra sejarah Jawa). Syekh Datuk Kahfi inilah yang menjadi guru dari Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan juga Syekh Siti Jenar sebelum menuntut ilmu ke Timur Tengah, dan meneruskan pola Islam kultural yang sudah berkembang sejak zaman Raja Smaratungga dan Prabu Jayabaya di atas. Perjuangan para ulama Walisanga dan Syekh Siti Jenar sendiri kemudian dilanjutkan oleh para pengikut ajarannya seperti Sunan Geseng, Sunan Bayat (Jawa Tengah Selatan), Bathara Katong (Ponorogo dan Jawa Timur Selatan), Kiai Santang (Pasundan), Syekh Abdul Muhyi Pamijahan,[24] Priangan (Jawa Barat) (Abdullah dkk.: 2002, 21), dan sebagainya.
Untuk lanskap Islam Indonesia, ajaran Islam dalam madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagaimana diajarkan oleh para ulama model Walisanga terus bertahan hingga kekuatan bangsa Arab badui dari Nejed dibawah panji-panji kekuasaan dinasti Ibn Sa’ud menguasai Arab Saudi. Keluarga Ibn Sa’ud, demi untuk menjaga kelanggengan kekuasaan dan kontrol atas jazirah Arab mengadopsi pemikiran fanatik Muhammad bin Abdul Wahab (1115-1206 H) sebagai ajaran resmi Arab Saudi. Kekuasaan keluarga Ibn Sa’ud terjadi selama dua periode.
Periode pertama adalah tahun 1803-1813 M dengan merebut Makkah dengan brutal dari kekuasaan Raja Syarif Mas’ud yang keturunan Rasulullah (Siradjuddin Abbas, 2010: 354-357). Saat itu Muhammad bin Abdul Wahab yang selalu berkonflik dengan pandangan resmi umum masyarakat Arab membutuhkan figur penguasa agar dirinya dan madzhabnya mendapatkan jaminan keamanan. Sementara Muhammad ibn Sa’ud membutuhkan seorang ulama yang dapat mengisi rakyatnya dengan ideologi yang keras, demi memperkokoh pemerintahan dan kekuasaan, sekaligus dapat melegitimasi segenap tindakan politiknya. Maka bersatulah antara faham agama dengan raja, antara dua orang Muhammad yang sama-sama membutuhkan satu dengan yang lain.
Kekuasaan faham Wahabi yang ditegakkan oleh rezim Ibn Saud kemudian dipatahkan oleh kekuatan Turki Utsmani pada tahun 1813 M, dimana Arab Saudi kembali kepada kontrol ulama Sunni. Gerakan kaum Wahabi di Hejaz tersebut kemudian memunculkan gerakan Padri di Minangkabau dengan memunculkan Tuanku Imam Bonjol sebagai salah satu tokohnya. Bedanya, jika Wahabi di Arab adalah binaan Inggris (Fathi al-Azhari, 2010: 161-166), maka Paderi di Sumatera justru melawan penjajahan Belanda.
Periode kedua kekuasaan Wahabi adalah sejak Oktober 1924 yang disebut sebagai “serbuan Wahabi kedua terhadap Makkah” (Martin van Bruinessen, 1995: 201). ketika kekhalifahan Turki Utsmani dihapuskan, maka keluarga Ibn Sa’ud dengan bantuan kekuatan Eropa dan Amerika kembali mencaplok Hejaz. Semua yang berbagau Islam Sunni diluluhlantakkan. Pada tahun 1924 di akhir dinasti kekhalifahan Turki Utsmani, Khalifah Abdul Majid resminya hanya menjabat Khalifah sampai tanggal 3 Maret 1924, karena sejak 1 November 1923 Turki dijadikan Republik sekuler, dan tokohnya Kemal Pasha al-Taturk sebagai Presiden, dengan obsesi besar agar Turki dimasukkan sebagai bagian dari Eropa. Sultan Abdul Majid dimakzulkan 3 Maret 1924.
Karena kekosongan jabatan Khalifah, Raja Husein Syarif mengangkat diri sebagai Khalifah tangal 5 Mei 1924, yang membuat Kristen Barat (Anglikan Ingrtis) was-was dan khawatir, karena Islam dengan sistem kekhalifahan dapat bersatu menghadapi kekuatan luar. Akhirnya dengan bantuan Abdul Aziz al-Sa’ud (yang sudah lama memendam hasyrat menuasai Arab, karena kakek moyangnya, Muhammab ibn Sa’ud, hanya mampu menguasai dari tahun 1803-1813), penganut Wahabi, berhasil menumbangkan Raja Husein Syarif setelah merebut Makkah, pada Oktober 1924. Raja Husein lari ke Siprus dan putranya Syarif Ali hijrah ke Irak. Raja ‘Abdul Aziz menamakan negeri Hijaz dengan nama baru, Arab Sa’udi (negara Arab yang sudah dikuasai oleh dinasti keluarga Sa’ud). Raja Abdul Aziz diakui oleh Kerajaan Protestan Anglikan Inggris sebagai Raja Saudi baru pada tanggal 22 September 1932 (Suryanegara, 2009: 87).
Dendam keluarga Sa’ud terhadap keturunan Syarif terus berlangsung. Ketika Masjidil Haram dikudeta oleh kelompok ekstrimis Arab yang tidak puas atas kebejatan moral keluarga kerajaan Saudi tahun 1979, dimana Arab Saudi sedang menjalankan proyek kebebasan ala Eropa, Raja Husein Yordania yang berfaham Sunni menawarkan bantuan untuk menggempur para penyerang Masjidil Haram yang dipimpin oleh salah satu murid fanataik Ibn Baz, Syaikh Juhaimin. Namun karena dendam lama yang tersisa sejak tahun 1924, Raja Saudi tidak mau untuk menerimanya. Akhirnya kerajaan Saudi justru meminta badan intelejen dan militer Prancis sebagai “penolong” menyelamatkan Ka’bah dan Masjidil Haram. Para penyerang tanah suci adalah para murid Syaikh Ibn Bazz, yang melihat aras penguasa Arab untuk membaratkan Arab, dengan akhlak yang bobrok: minuman keras, prostitusi, korupsi dimana agama hanya untuk rakyat, bukan untuk keluarga kerajaan. Untuk menutupi peristiwa tahun 1979 tersebut, karena terkait dengan berbagai kepentingan ekonomi Amerika dan Eropa di Arab Saudi, oleh para pengamat di sebut sebagai “Kudeta Makkah”, yang memunculkan kesan sebagai pemberontakan murni.
Sejak menguasai kembali tanah suci Makkah pada Oktober 1924, pemerintah Arab Saudi berusaha menghilangkan segala benda dan peninggalan Rasulullah, al-Khulafa’ al-Rasyidin, Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasyiyah dengan cara dibumihanguskan. Ketika pembumihangusan sudah akan menyentuh kubah makam Nabi, kelompok ulama Sunni seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengirimkan delegasi ke Arab Saudi untuk menyampaikan nota protes atas rencana penggempuran kubah makam Nabi dalam bentuk “delegasi Hejaz”. Nota protes (bersama protes para ulama Aswaja dunia) akhirnya membuat kaum Wahabi urung menggempur kubah makam Nabi.
Kekuatan dan aktivitas pemerintah Arab Saudi di tahun 1924 dengan dalih purifikasi agama tersebut memiliki pengaruh yang sangat signifikan di Indonesia. Sejak saat itu pula, di Indonesia dengan dipicu oleh berbagai gerakan pemikiran dan politik para ulama penerus ajaran Muhammad bin Abdul Wahab, membuat berbagai organisasi dan gerakan yang menyerukan “purifikasi Islam, kembali kepada al-Qur’an dan sunnah”, namun dengan cara-cara yang tidak sepenuhnya benar, yang terkadang dengan cara mengatasnamakan sebagai gerakan ulama salaf. Terkadang terdapat cara-cara yang bersifat radikal, dan tidak toleran. Ya, sejak 1924 M, ajaran Islam sebagaimana diajarkan para ulama Walisanga, yang meneruskan tradisi Islam dari para ulama salaf hingga Rasulullah terus mendapatkan gempuran dan rongrongan yang mengatasnamakan modernitas serta pemurnian.

J.      Islam di Majapahit dan Demak
Statemen penulis bahwa peran para Walisanga bukanlah para perintis dan pelopor dakwah, melainkan hanya tinggal meneruskan, dan berupaya melakukan proses pengajaran Islam secara lebih baik (bahkan kadang terkesan ada upaya “Arabisasi”), bukanlah pernyataan yang mengada-ada. Persateruan ulama sufi dengan ulama berorientasi syari’at terjadi pada masa dewan Walisanga mencapai kemantapan tertingginya, karena afiliasi yang kuat dengan penguasa. Justru para ulama dan auliya’ sebelum para ulama yang tergabung dalam dewan Walisanga itulah yang memiliki jasa sangat besar, bagi perintisan dan pelopor penyebaran islam di tanah Jawa.[25] Dewan Walisanga dibentuk, karena salah satu pertimbangannya adalah, bahwa masyarakat muslim telah mencapai jumlah yang “meyakinkan” untuk memiliki dewan ulama tersendiri. Hanya saja memang adanya gejala proses Arabisasi dari sebagian para wali berorientasi syari’at, tana disadari kemudian memicu konflik antar budaya di Indonesia (diawali di kesultanan Demak), karena para ulama bersama penguasa membakukan Islam syari’at sebagai asas kerajaan. Sehingga gerakan Islam yang dianggap menyimpang harus dipadamkan oleh penguasa, dan ulama dalam bingkai Islam berorientasi syari’at, memang pada saat itu tercatat sebagai sarana efektif gerakan Islam cultural, untuk mengukuhkan status quo (Abdullah dkk., 2002: 26).
Penulis berani membuat analisa seperti itu, karena jauh sebelum para wali yang dikukuhkan menjadi dewan Walisanga hadir di Jawa, masyarakat Jawa pada daerah-daerah tertentu seperti di Karawang-Banten (Jawa Barat), yakni di daerah Kuro, Pesambangan – Cirebon (Ambari, 2001: 220-221), dan pedalaman Majapahit sudah terdapat kelompok masyarakat Islam yang tampil dengan kebudayaan lokal (Islam kultural). Sejarawan R. Soekmono memaparkan hasil penelitian Louis Damais, yang telah berhasil menemukan angka pasti tahun 1368 M, yakni pada masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit, bahwa pada tahun tersebut di pusat ibukota Majapahit sudah ada komunitas masyarakat beragama Islam, tepatnya di bagian selatan kota (sekarang di desa Tralaya).[26] Hal ini menunjukkan bahwa Islam sebagai unsur budaya telah meresap dan diterima dalam masyarakat yang masih bercorak Hindu. Jadi angka ini menjadi penting, karena menjadi petunjuk bahwa pada masa kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaan pada masa Hayam Wuruk, di pusat kota, Tralaya, telah terdapat pemukiman masyarakat muslim (Ambari, 2001: 20). Disertai dengan bukti arkeologis-historis tentang keberadaan pesantren Kuro (Kerawang) yang dipimpin oleh Syekh Hasannuddin, dan pesantren Amparan Jati Syekh Datuk Kahfi di Pasambangan (Cirebon) yang sudah kokoh an memiliki santri ribuan pada masa-masa akhir Majapahit (Ambari, 2001: 221), menjadi suatu tanda, bahwa disamping pemukiman-pemukiman yang terdeteksi oleh sejarah, atau masih dapat dilacak peninggalan arkeologisnya, juga terdapat berbagai perkampungan dan pemukiman muslim pribumi di berbagai tempat. Hanya secara kebetulan belum terlacak data arkeologisnya dan belum terjamah dengan analisa kesejarahan.
Syekh Qoero (Maulana Hasannuddin) sendiri adalah seorang ulama asal Campa, yang kemudian mendirikan semacam pesantren di Kerawang, yang salah satu santrinya adalah Nyai Subang Larang dan menikah dengan Prabu Siliwangi. Salah satu putra Prabu Siliwangi adalah Nyai Rara Santang (l. 1426 M) yang menikah dengan Syariuf Abdullah (dari Bani Ismail) dan kemudian melahirkan ulama terkenal Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Suryanegara, 2009: 149-150).
Adapun Syaikh Datuk Kahfi adalah guru dari Raden Walang Sungsang, putera sulung Prabu Siliwangi (l. 1423 M). Syaikh Datuk Kahfi terkadang juga disebut sebagai Syaikh Nurjati, berasal dari Makkah, dan pernah tinggal di Baghdad. Setelah datang ke Cirebon, beliau membuka padepokan atau pesantren di Giri Amparan Jati Cirebon. Data ini menunjukkan bahwa kehadiran Islam kebanyakan memang dimotori oleh para ulama Makkah atau Arab sendiri sebagaimana pernah disampaikan oleh Hamka (Suryanegara, 2009: 151). Pangeran Walangsungsang dalam kronik Cirebon juga dikenal dengan sebutan Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman, dan juga disebut sebagai Ki Cakra Bumi atau Pangeran Cakrabuana, setelah menggantikan posisi Ki Gedeng Alang Alang atau Ki Danusela sebagai petinggi di Cirebon.
Keberadaan komunitas di Tralaya-Trowulan sebagaimana disebutkan di atas tentunya melalui proses yang panjang, untuk dapat diterima bahkan diijinkan mendirikan perkampungan Jawa-Muslim di pusat ibukota Majapahit. Proses panjang ini nampak, sebab pada awal abad ke-14 tersebut, di pusat kerajaan, tepatnya di Trowulan dan Tralaya, sudah banyak dijumpai nisan orang muslim, dalam komplek pemakaman yang cukup luas. Nisan-nisan tersebut, berangka tahun sejak 1298 C dan 1302 C (1376 M dan 1390 M). Pada nisan-nisan tersebut terdapat ciri khas hiasan dan tulisan bertahun Saka dan Hijriah (Abdullah dkk., 2002: 13).
Yang perlu diperhatikan dalam analisa sejarah adalah, bahwa membutuhkan waktu yang relatif panjang untuk memunculkan budaya tersebut, yakni budaya penulisan tahun Saka dan Hijriah secara berdampingan, sebagai bentuk kesadaran keagamaan. Sehingga sangat mungkin, bahwa terdapat banyak nisan lain yang tidak berangka tahun, yang justru lebih tua usianya, dan karena terdapat di situs pemakaman komunitas muslim, maka itu adalah makam masyarakat Jawa-Muslim Majapahit. Adanya berbagai jenis kebudayaan islam di berbagai tempat pulau Jawa pada abad ke-13 dan ke-14, seperti pembuatan batu nisan, pernikahan warga pribumi dengan orang asing, justru menunjukkan bahwa pada saat itu di berbagai belahan pulau Jawa sudah memiliki akar tradisi Islam yang kuat. Jadi kenyataan masyarakat islam pada saat itu bukan berarti Islam baru saja masuk, melainkan sudah cukup lama meluas di pulau Jawa.
Komplek makam Tralaya di atas, sekarang berada di desa Sentonorejo, kecamatan Trowulan, Mojokerto. Dalam peta kepurbakalaan, kompleks ini berada dalam lingkungan Trowulan, ibukota Majapahit. Areal pemakaman sangat luas, berpagar, juga setiap kelompok makam berpagar. Pada bagian barat laut terdapat kelompok makam raja Majapahit yang telah memeluk islam, yang ditandai dengan ukiran lambang surya (matahari Majapahit) serta angka tahun. Di dalamnya terdapat 10 makam dengan nisan berprasasti Arab, selain beraksara Jawa Kuna. Angka tahun tertua menunjuk 1203 Saka atau 1281 M, dan termuda 1533 Saka atau 1611 M. di bagian lain terdapat sekelompok makam yang dipercaya penduduk sebagai makam para sunan (anggota dan murid Walisanga), yang juga dikenal sebagai “Sarean Songo”.
Louis Damais berhasil menemukan angka tahun yang pasti tentang keberadaan komunitas muslim di kotaraja Majapahit, yakni tahun 1368 M, pada masa Hayam Wuruk, yang merupakan hasil penelitian Damais di Tralaya. Dengan demikian, maka nyatalah bahwa pada pertengahan abad ke-14 di ibukota kerajaan Majapahit memang sudah banyak pemeluk Islam. Ini berarti bahwa Islam di kota Majapahit bukan sesuatu yang asing, dengan kesimpulan lebih lanjut bahwa penyebarannya sudah berlangsung sejak beberapa waktu sebelumnya (Soekmono dalam Soedjatmoko, et.all., 1995: 35), bahkan beberapa abad sebelumnya. Yang patut diperhatikan bahwa kondisi tersebut terjadi di pedalaman Majapahit. Sehingga untuk kondisi pesisir yang menjadi wilayah Majapahit, masyarakat muslim sudah lebih ramai, dan lebih tua, karena Islam pertama kali dianut oleh masyarakat pesisir, yang sangat dimungkinkan sejak abad ke-7 dan abad ke-8 M.
Brosur resmi Pusat Informasi Majapahit (Museum Trowulan) bahkan menyebutkan, Sabdo Palon dan Naya Genggong merupakan nama di antara tujuh orang yang dimakamkan di situs makam Troloyo di Desa Sentonorejo, Trowulan. (Lihat brosur Visit Majapahit Kingdom Sites. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata - Balai Pelesatarian Peninggalan Purbakala Jawa Timurj Mojokerto). Perlu diketahui bahwa ketujuh makam di situs Troloyo tersebut, yang dikenal sebagai ”makam Srengenge” adalah makam para abdi dalem dan ulama serta pejabat Majapahit yang telah memeluk agama Islam. (Ricklefs, 2001:5-6; Lombard, 2005:34). Selain Sabdo Palon dan Naya Genggong, yang berada pada urutan ke-4 dan ke-5, juga terdapat nama-nama: Patih Noto Suryo (ke-1), Patih Noto Kusumo (ke-2), Gajah Permodo (ke-3), Laba (Mban) Kunasih (ke-6), dan Kulo Putro (ke-7). Namun nampaknya pemberian nama-nama tersebut tidak semuanya benar. Karena salah satu nisan dari tujuh nisan yang ada, jelas-jelas mencantumkan nama Zainuddin dengan tulisan Arab kufi, namun nama tersebut tidak tercantum dalam brosur, buku, atau bahkan dalam denah peta nisan di makam Troloyo tersebut.
Sayangnya, keberadaan makam bersejarah dan yang menyimpan banyak rahasia tentang eksistensi Islam di zaman kejayaan Majapahit ini tidak mendapatkan perhatian dan perawatan yang semestinya. Bahkan terkesan ada pembiaran terhadap aksi pengrusakan terhadap nisan-nisan kuno yang ada, sehingga banyak batu nisan yang dipotong dan dicuri, entah kemana perginya. Seolah-olah terdapat kesan, agar suatu saat, tidak terlacak lagi keberadaan Islam di Indonesia sejak awalnya, karena hilangnya banyak situs Islam pada masa-masa awal di nusantara. Sehingga dengan begiutu, suatu saat nanti, tetap akan muncul kesan kuat bahwa Majapahit benar-benar negara Hindu Budha, tanpa ada Islam di dalamnya. Padahal, jika semua situs yang ada dapat dipertahankan secara baik, dan diteliti secara seksama, justru akan memunculkan kesan lebih kuat tentang eksistensi Islam yang lebih kuat dibanding eksistensi Hindu dan Budha di puncak kejayaan Majapahit tersebut. Sehingga sebenarnya, membaca persateruan antara Majapahit dengan Pajajaran, bukan hanya sekedar gara-gara gengsi para Raja yang minta dihormati terlebih dahulu, namun bisa dibaca sebagai pertempuran dan peperangan antara dua kerajaan besar yang berbeda ideologi, keyakinan dan agama. Jika Pajajaran adalah representasi kerajaan Hindu Budha yang mulai runtuih, maka Majapahit adalah representasi kerajaan Muslim, yang didalamnya terdapat keragamaan agama dan kepercayaan yang dilindungi negara, sehingga mereka pun menyatakan kesetiaan terhadap Majapahit.
Meskipun demikian ”cerita” tentang na­ma Sabdo Palon dan Naya Genggong di situs Troloyo ini hanya didasarkan kepada tradisi lisan. Kebenarannya sudah tentu sukar diverifikasi. Sangat mungkin cerita-cerita babad banyak menggali ide dari tradisi oral yang berkembang dalam masyarakat. Tradisi tersebut kemudian diolah dengan penambahan muatan nilai baru dan dimodifikasi sesuai pesan yang hendak disampaikan. Namun sejauh belum terdapat pernyataan lain yang lebih kuat, tentu asumsi itulah yang dapat dipakai sebagai bagian dari analisis sejarah. Dan jika antara ”makam” Sabdo Palon serta Naya Genggong yang berada di tengah pemakaman makam-makam muslim itu dikaitkan dengan keberadaan para pejabat Majapahit yang muslim, maka hal tersebut semakin mendukung kebenaran bahwa kerajaan Majapahit telah sejak lama menerima Islam sebagai salah satu anasir yang tidak terpisahkan.
Pada kunjungannya sekitar tahun 1814, Raffles mencatat bahwa di Trowulan terdapat (bahasa Raffles “kami menemukan”) makam Putri Champa. Makam tersebut dibangun dengan gaya Islam, dan tertulis angka tahun dalam huruf Jawa, 1320. Tidak dijelaskan apakah tahun Saka atau Masehi. Tetapi kronik Jawa umumnya ditulis tahun Saka. Sehingga jika dikonversi ke tahun Masehi adalah tahun 1398. Menurut Raffles, makam bernuansa keagamaan tersebut mendapatkan penjagaan dari beberapa ulama (Raffles, 2008: 397-398). Pada awal Juli 2011 penulis menyempatkan diri berziarah ke makam Putri Campa tersebut, yang terletak tidak jauh dari kolam segaran, yakni kolam istana Majapahit, yang menjadi kolam terbesar di Asia Tenggara.
Nama “Trowulan” sendiri sesungguhnya sangat menarik untuk diteliti. “Trowulan” atau yang disebut juga dengan Trang Wulan (Raffles, 2008: 397) bermakna “Terang Bulan”. Masyarakat Jawa kuno (bahkan ketika penulis masih kecil, antara tahun 1975-1980, ketika aliran listrik belum masuk desa, masih mengalami terang bulan tersebut), memiliki kebiasaan khas, setiap malam purnama, masyarakat besar-kecil, tua-muda, laki-laki-perempuan, keluar dari rumah. Sebagian berkumpul di halaman masing-masing, dan kebanyakan berkumpul di tanah lapang. Jika berada di lokasi perkotaan keluar ke alun-alun, menikmati suasana malam yang disebut “padhang mbulan” (terang bulan). Fungsi alun-alun dan lapangan pada saat itu, yang utama adalah sebagai sarana berkumpul warga pada waktu-waktu khusus, selain tempat unruk sidang rakyat. Berbeda dengan zaman sekarang yang kegunaannya semakin menyempit sebagai tempat olah raga dan sekedar upacara pada hari-hari tertentu.
Mengkaitkan nama tempat “Trowulan” dengan kebiasaan masyarakat tersebut, dapat dipastikan bahwa pada zaman Majapahit, Trowulan (yang berasal dari kata Trang Wulan) merupakan areal tanah lapang (alun-alun?) kota yang digunakan warga atau rakyat untuk menikmati bulan purnama. Hal ini sesuai dengan hasil kajian Paul Michel Munoz (2009:404) yang menjelaskan bahwa Trowulan sebenarnya bukanlah sebuah kota dalam arti seperti ibukota-ibukota Asia Tenggara lainnya. Tidak seperti kota-kota melayu, tidak ada bastion-bastion, tidak ada perbentengan atau benteng-benteng. Tetapi ia adalah sebuah kelompok struktur atau kompleks bangunan yang dipisahkan oleh jalan yang lebar dan berbagai alun-alun terbuka yang luas. Skema bangunan yang kompleks itu meliputi sebuah wilayah yang memiliki luas 100 Km². Kompleks-kompleks itu biasanya memiliki pelataran, pepohonan dan paviliun terbuka dan hanya kompleks-kompleks inilah, beserta pelatarannya, yang dikelilingi oleh dinding atau pagar. Peninggalan dari pagar dan berbagai pembatas sudah sulit didapatkan. Hal ini disebabkan karena pada zaman Majapahit bahan bangunan utama adalah batu bata berwarna merah. Namun sejak awal abad ke-16, yakni setelah Majapahit runtuh, berbagai peninggalan situs tidak terrawat. Kebanyakan batu bata merah yang menjadi bahan bangunan utama digunakan oleh masyarakat sebagai bahan semen merah, sehingga semakin lama semakin habis.
Berdasarkan inspirasi tentang kebiasaan masyarakat Jawa kuno itulah, kemudian muncul tembang rakyat “padhang wulan” yang mengungkapkan suka cita rakyat setiap kali menikmati terangnya malam hari bersama-sama, sambil melepas berbagai beban dan persoalan hidup, membicarakan berbagai hal secara terbuka, serta mencari berbagai solusi alternatif yang dapat ditempuh oleh masing-masing pihak. Merekatkan kembali persaudaraan dan kebersamaan, mengingatkan agar tidak dibiasakan kebanyakan tidur, atau tidur tergesa-gesa, dan juga pesan untuk menghadapi hidup dengan optimis, seperti terangnya bulan yang menyiram malam menjadi seperti siang.
Dari angka tahun yang ada, diperoleh gambaran bahwa komunitas muslim yang dimakamkan di komplek tersebut berkisar dari abad ke-13 sampai abad ke-17, sejak zaman keemasan sampai surutnya Majapahit, bahkan mulai surutnya Demak. Pada makam tersebut juga didapatkan sebuah makam yang memuat nama tokoh Zainudin dengan angka tahun wafat 874 H. Ini berarti tahun 1391 M. uniknya lagi, jika dikaitkan dengan berita datangnya Raja Cermin ke Majapahit, maka tahun tersebut adalah tahun kedatanngan Raja Cermin di Majapahit (walaupun sebagian sejarawan mengatakan tahun 1399). Sebagian nisan yang lain ada yang berangka tahun 1376 hingga tahun 1475. Nampak bahwa yang dikuburkan di makam pitu Troloyo tidak meninggal dalam satu masa. Artinya adalah bahwa makam tersebut, pada satu kompleksnya disediakan khusus untuk pemakaman orang-orang muslim di pusat kerajaan Majapahit. Mengingat masanya, maka mereka yang dikuburkan di Troloyo adalah umat Islam yang hidup pada masa puncak kekuasaan dan kejayaan Majapahit yang dirajai oleh Rajasanegara atau Hayam Wuruk (1350-1389), dengan Mahapatih Gajah Mada. Dan mereka tidak semuanya adalah orang Arab atau keturunan asing. Sebagian besar adalah penduduk Jawa asli, yang memeluk Islam karena pengaruh para muslim pendatang, baik Arab ataupun kawasan lain (Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, Semarang: Tanjung Sari, 199: 10).
Selain ciri khasnya tersebut, dalam kompleks makam itu juga dijumpai pola hias yang amat terkenal dengan nama “Sinar Majapahit” (le soleil de Majapahit), yakni pola hias lingkaran bersudut enam maupun duabelas (Montana, 1985: 722-38). Pola hias itu kemudian tersebar di berbagai makam kuno Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tulisan Arab kufi yang ada dapat dibaca, diantaranya “Muhammadun” (makam ke-3), kutipan Qs. Ali Imran: 185 (182?) (makam ke-4), kutipan Qs. Ali Imran: 18 (16) sebanyak lima baris (makam ke-5), kaligrafi Arab (makam ke-6), dan inskripsi Arab dari hadits Qudsi (makam ke-7). Namun kalimat yang umum dituliskan adalah “La ilaha illallah, Muhammadar Rasulullah”.
Penulis pada Juli 2011 sempat menghitung, dari tujuh kepala nisan Troloyo, yang bertuliskan kalimat tauhid tersebut ada tiga kepala nisan. Sayangnya, situs tersebut juga kurang mendapatkan perhatian, banyak nisan yang kepalanya sudah hilang. Sedangkan di dalam kompleks makam Trowulan, banyak situs tulisan pada batu nisan (umumnya Arab), begitu saja diblok dengan semen dan tembok sebagai bagian dari rehabilitasi, tanpa memperhatikan nilai dan arti pentingnya bacaan pada nisan tersebut, sebagai data dan fakta kesejarahan. Artinya sejak pada zaman keemasan Majapahit, makam Troloyo (Tralaya) sudah difungsikan sebagai makam, dan terdapat kompleks yang dikhususkan sebagai makam muslim. Secara kebahasaan saja, kata ”Tralaya” memiliki arti sebagai tempat orang meninggal dikuburkan.
Kebanyakan memakai pola hias Sinar Majapahit, oleh karenanya penduduk setempat menyebut komplek tersebut dengan “kubur srengenge” (makam matahari). Dinas kepurbakalaan menggunakan nama resmi ”makam pitu”. Sayangnya, nisan-nisan tersebut kurang mendapat perhatian penuh, sehingga sekarang sudah banyak yang hilang. Bahkan sebagian kepala nisan sudah tidak ada, karena dijarah orang yang tidak bertanggungjawab. Kepala-kepala nisan yang masih ada, susunannya sudah terbolak balik tidak urut lagi, dan sebagian lagi sudah dipalsukan.
Penempatan pemakaman muslim di Troloyo oleh pihak pejabat kerajaan Majapahit tentunya juga memiliki alasan yang kuat. Bahwa biasanya yang dimakamkan pada kompleks pemakaman di pusat klerajaan adalah mereka yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan. Artinya bahwa tidak saja masyarakat pada umumnya yang sebagian telah menjadi muslim pada era kejayaan Majapahit. Namun banyak juga pejabat Majapahit yang sudah memeluk Islam sebagai agamanya.
Setelah peristiwa Pasundan Bubat yang berciri tahun Saka 1279 bertepatan dengan tahun Masehi 1357, maka Prabu Hayam Wuruk menikah dengan Bhra Parameswara, Paduka Sori. Dari pernikahan itu lahirlah Kusumawardhari . atau Bhre Lasem. Kemudian dari kitab Pararaton diberitakan bahwa Hayam Wuruk memperoleh putera dari selirnya, bernama Bhre Wirabhumi. Jadi yang menjadi raja mewarisi tahta kerajaan Majapahit adalah Kusumawardhani, bukan Bhre Wirabhumi yang lahir dari selir. Tetapi perselisihan akhimya timbul antara. keduanya, sehingga timbullah sengketa dan peperangan.
Setelah Mahapatih Gajah Mada meninggal dunia pada tahun 1364 Masehi dan Prabu Hayam Wuruk mangkat tahun 1389 Masehi, kerajaan Majapahit menjadi suram karena perselisihan di kalangan keluarga.
Pada tahun 1401 Masehi timbul perselisihan antara Wikramawardhana   (suami   Kusumawardhani)   dengan   Bhre   Wirabhumi (Menak Jinggo). Tiga tahun kemudian pecah perang antara Maja­pahit dengan Blambangan, lamanya perang dua tahun, antara tahun 1404 hingga 1406 Masehi. Itulah namanya Perang Paregreg.
Istri Wikramawardhana yang bernama Kusumawardhani melahirkan putera bemama Suhita. Rani Suhita iniiah yang berhak atas tahta kerajaan Majapahit setelah Wikramawardhana mangkat, bukan dua orang putera Wikramawardhana dari selir yang bernama Bhre Tumapel dan Sri Kertawijaya, Rani Suhita mendapatkan suami Hyang Parameswara (Haji Ratnapangkajaya) dari Koripan, putera Pandan Salas.
Karena terlibat perselisihan dan pertengkaran keluarga dengan sejumlah bangsawan lainnya, maka suami Rani Suhita, Hyang Parameswara atau Haji Ratnapangkajaya ini meninggalkan Majapahit. Isterinya, Rani Suhita, karena tidak mau mengikuti suaminya, maka Haji Ratnapangkajaya pergi sendirian.
Ia mengembara sampai di Tumasik (Singapura), lalu menetap di Malaka dan kemudian membangun kerajaan di sana, Sebagai Sultan, ia bergelar Megat Iskandar Syah, dan menikah dengan puteri Sultan Pasai, Zainai ’Abidin Bahian Syah.
Prof. Dr. Slamet Mulyana di dalam bukunya berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam Nusantara (Penerbit Bhratara, Jakarta, 1968, halaman 159) mengatakan bahwa hakekatnya Malaka adalah sebuah kerajaan yang sedang dibangun. Tetapi semenjak Hyang Parameswara memegang kekuasaan di Malaka itu, Malaka berubah menjadi kesultanan, dan berganti nama menjadi Megat Iskandar Syah itu. Hyang Parameswara alias Haji Ratnapangkajaya alias Haji Megat Iskandar Syah inilah yang menjadi Sultan yang pertama di Malaka. Ini terjadi pada tahun 1414 Masehi. Sejak itu Megat Iskandar Syah memperluas kekuasaan dan wilayahnya ke luar kesultanan Malaka hingga sampai di pantai Timur Sumatera dan pantai Timur Semenanjung. Daerah Aru, Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri adalah termasuk daerahnya Sultan Megat Iskandar Syah.
Dengan penjelasan di atas itu maka ternyata di antara para bangsawan Majapahit telah ada, bahkan banyak yang memeluk Agama Islam. Konon ketika Maulana Ishaq (dari Campa), paman Raden Rahmat atau Sunan Ampel, pergi ke Jawa menyiarkan Agama Islam, Maulana Ishaq ini mampir dahulu ke Malaka menemui Sultan Megat Iskandar Syah.
Di dalam bukunya Slamet Mulyana yang lain yang berjudul Menuju Puncak Kemegahan, disebutkan bahwa Raden Wijaya pernah berperang dengan Paha yang para tokohnya terdapat para haji, seperti Haji Katamakala. Itu terjadi pada tahun 1292 Masehi (halaman 145). Juga dijelaskan bahwa Raja Kertanegara mempunyai seorang puteri (kecuali Tribuanatunggadewi) yang bernama Haji Rajadewi (Slamet Mulyana, Menuju Puncak Kemegahan, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1965, halaman 178). Masih banyak kenyataan tentang banyaknya pejabat Majapahit yang telah menjadi Muslim, seperti Raden Kusen Adipati Terung, bahkan Raja Kertawijaya yang sejak remaja sudah menjadi santri Maulana Malik Ibrahim, Adipati Aria Teja di Tuban, dan sebagainya. Maka kalau diberitakan bahwa Prabu Brawijaya V adalah seorang muslim, bukanlah hal yang aneh.
Kembali perlu penulis kemukakan, bahwa untuk membentuk pola peradaban masyarakat, membutuhkan waktu yang cukup panjang. Demikian pula untuk mengembangkan kesadaran keagamaan dalam bentuk kebudayaan pembuatan nisan muslim, seperti di Majapahit, tentu membutuhkan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Sehingga walaupun angka tahun wafatnya orang muslim baru didapatkan pada abad ke-13 M, sangat mungkin bahwa Islam masuk ke Majapahit sejak lama, sebagai kelanjutan menyebarnya Islam sejak zaman kerajaan Keling, Daha-Kediri dan Singasari. Demikian pula, jika pada masa Brawijaya V sudah diberikan ijin otonomi bagi kadipaten muslim di Bintara, tentu terdapat pertimbangan sejarah yang panjang bagi pemberian konsesi itu, mengapa harus kadipaten muslim? Inilah hal yang perlu diteliti lebih lanjut, guna lebih merunut rincian penjelasan tentang penyebaran Islam sejak abad ke-7 sampai abad ke-13 M di Jawa.
Jadi persoalannya bukan memperdebatkan kembali kapan masuknya Islam ke Indonesia, utamanya Jawa, apakah abad ke-7 atau abad ke-14, akan tetapi justru meneliti bagaimana penyiaran Islam sejak abad ke-7 sampai abad ke-14 tersebut di pulau Jawa. Rentang waktu tersebut, sampai saat ini masih merupakan wilayah perawan bagi penelitian sejarah Islam di Indonesia, dan sudah saatnya untuk segera disentuh, agar missing-link proses penyebaran Islam tidak lagi ada.
Terkait dengan warisan sub-kultur islam era Majapahit, sampai sekarang, pola hias Sinar Majapahit terus berkembang, sebagaimana sejak abad ke-12 juga menjadi motif pilihan masyarakat. Tipe Tralaya juga dijumpai di bangunan-bangunan: Masjid Kadilangu, cungkup kubur Sunan Kalijaga, Arosbaya (Bangkalan), Pusponegoro (Gresik), Madegan (Sampang), lambang “dinasti” Cakraningrat, Mantingan, Tembayat, Kota Gede, Imogiri, bahkan Selaparang Lombok. Dewasa ini motif tersebut umumnya digabung dengan tulisan Allah dan Muhammad di tengah Sinar Majapahit.
Makam Ki Ageng Pengging di Pengging Boyolali, juga masih menggunakan lambang surya Majapahit, walaupun wafatnya Ki Ageng Pengging sudah memasuki akhir kejayaan kesultanan Demak. Padahal dari segi fisik bangunan sisa lama, nampak dari gerbang makam dan pola hias yang ada, mengacu pada model era Majapahit.

K.    Membedah Kontroversi Serat Jayabaya Sabdopalon Naya Genggong
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa, walaupun hanya berdasarkan dari cerita tutur, di kompleks pemakaman para pejabat Majapahit yang kebanyakan muslim, Tralaya, juga terdapat makam yang disebut-sebut sebagai Sabdo Palon dan Naya Genggong. Dalam sejarah, sekecil apapun informasi itu, haruslah dicari motifnya. Demikian pula tentang keterkaitan nama Sabdo Palon dan Naya Genggong di tengah makam Troloyo, dimana kedua orang tersebut dalam khazanah sastra Jawa selalu dikaitkan dengan keislaman Prabu Brawijaya.
Sebagaimana diketahui, bahwa naskah yang paling terkenal mengemukakan keterkaitan antara Sabdopalon-Naya Genggong dengan Islamnya Prabu Brawijaya adalah Serat Jangka Jayabaya Sabdopalon, dan kemudian disadur sebagai bagian dalam Serat Darmogandhul. Didalamnya juga terdapat paragraf yang mengetengahkan apa yang disebut sebagai ”kutukan Sabdo Palon”. Oleh karenanya, masyarakat Jawa yang membaca naskah tersebut, akan menghubungkan setiap kejadian luar biasa seperti bencana misalnya, dengan ”kutukan Sabdopalon”. Konon, berdasarkan visi ramalan ini, Pulau Jawa akan terbagi menjadi beberapa bagian akibat bencana dan ajaran Islam di tanah Jawa akan digantikan oleh agama ”asli” Jawa (lihat M. Muslih, Republika, Kamis 18 November 2010, hlm. 25).
Jangka Sabdo Palon diyakini merupa­kan karya R. Ng. Ranggawarsita, karena didalamnya terdapat sandi nama yang menunjukkan bahwa Jangka Sabdo Palon merupakan karya R. Ng. Ranggawarsita (Soewarno,1982:35).
Lalu siapakah Sabdo Palon dan Naya Genggong? Dua nama tersebut dapat dipahami sebagai satu individu atau dua individu. Jika kita lihat pemaparan dalam berbagai serat, maka dua nama tersebut selalu berkaitan. Sabda memiliki makna ”kata” (Mulyono, 2008: 402), pernyataan atau perkataan mengenai sesuatu perintah atau mengenai sesuatu di masa yang akan datang (jawa: pamuwus yakni pembicaraan, percakapan [Mulyono, 2008: 350]), yang seimbang dengan kata nabda, ”bertitah” (Sudarmanto, 2009: 286). Palon memiliki makna, tambatan hewan yang kuat di dalam kandang. Artinya suatu patokan yang sangat kuat, yang membuat yang ditambatkan di situ tidak bisa lari.
Naya artinya ulat yang menjadi pasemon dari tanah Jawa. Naya dalam kamus bisa berarti ”tingkah laku, kelakuan, politik, atau pimpinan (Mulyono, 2008: 265). Genggong artinya ”besar” (Mulyono, 2008: 104), bermakna abadi selamanya. Jadi jika digabungkan dari kedua istilah tersebut, maknanya adalah suatu pernyataan yang tegas tentang sesuatu yang akan terjadi di masa depan, yang muncul dari para pembesar atau pemimpin dimana mereka yang terkait dengan pernyataan itu tidak akan bisa keluar darinya. Pernyataan tersebut akan terjadi ditanah jawa selamanya, sampai akhir pernyataan itu terjadi secara menyeluruh.
Intinya, bahwa Sabdo Palon Naya Genggong memiliki maksud ramalan peristiwa yang akan terjadi di tanah Jawa, sebagai akibat perkataan Sabdo Palon dan Naya Genggong, sebagai akibat dari sikap Prabu Brawijaya yang dalam serat disebut sebagai perbedaan sikap serta pendapat antara sang Bendoro dengan punokawannya dalam mensikapi kedatangan Islam. (lihat M. Muslih, Republika, Kamis 18 November 2010, hlm. 25).
Kedua tokoh tersebut bisa jadi diadopsi dari kisah Aji Saka yang juga memiliki dua penasehat utama, yang akhirnya sama-sama menemui ajal sebagai akibat dari perbedaan penafsiran atas perintah Aji Saka, walaupun penafsiran tersebut sama-sama benar. Tetapi memang dalam sejarah selalu disebut bahwa setiap Raja dan Pangeran, dipastikan memiliki penasehat istimewa, yang lebih bersifat berperan ”di belakang layar”, dimana nasehat-nasehatnya lebih diperhatikan oleh para pejabat tinggi istana dibanding penasehat formal yang dimiliki, yang menyampaikan nasehatnya melalui pisowanan (pertemuan) formal istana. Artinya bahwa perbedaan antara Prabu Brawijaya dengan dua abdinya tersebut sebenarnya adalah sama-sama benarnya, yang dalam Islam disebut sebagai khilafiyah.
Yang cukup memprihatinkan adalah, bahwa pada karya sastra jawa abad ke-19 M, dikesankan dua sosok penasehat Prabu Brawijaya sangat membenci Islam. Hal ini dipicu oleh adanya karya anonim yang sangat kontroversial, yakni Serat Darmogandhul. Dari Serat Darmagandhul tersebutlah referensi kebencian Sabdo Palon Naya Genggong memiliki muaranya (salah satu edisinya adalah K.R.T. Tandanagara, 1830). Apa yang tercantum dalam Serat Darmogandhul (belakangan banyak diterjemahkan dan dijadikan referensi karya-karya baru, misalnya dalam Nurul Huda, 2006), sangat berbeda dengan beberapa serat yang mendahului, dan sangat berbeda dengan kenyataan serta fakta sejarah tentang apresiasi positif pihak Majapahit terhadap Islam.
Sebagian memang tidak mencamtunkan kebencian Sabdo Palon Naya Genggong, namun tetap menyebtkan bahwa keduanyalkah yang tetap membujuk Brawijaya untuk tidak merengkuh Islam (lihat misalnya Susetya, 2009: 352-353, 364). Bahkan menurut Hadi Saputra, setelah meneliti secara cermat seluk beluk Serat Darmogandhul, menyatakan bahwa Serat Darmogandhul harus diwaspadai, sebab dibalik berbagai uraian didalamnya tersimpan muatan lain, yakni suksesnya missi penginjilan di Indonesia, termasuk mencantumkan kutukan bahwa agama Islam akan dikalahkan oleh agama ”kawruh” (Jawa) (Saputra, 2010: 142-143).
Jika kita mencermati masyarakat Mojokerto, maka paling tidak, masyarakat Mojokerto yang bisa dipandang sebagai pewaris tradisi pusat Majapahit memiliki gambaran yang sangat bertolak belakang dengan paparan Serat Darmogandhul.
Dalam tradisi oral yang pernah berkembang di Trowulan yang diyakini sebagai situs Majapahit, Sabdo Palon dan Naya Genggong, punokawan Raja Brawijaya, merupakan tokoh yang dianggap hidup pada masa Majapahit dan bekerja sebagai abdi dalem Keraton yang telah beragama Islam dan perlu ditekankan, tidak anti-Islam. Jika hal ini yang terjadi, tentu saja suatu yang wajar, disebabkan Islam sudah berkembang di Majapahit sejak Prabu Wikramawarddhana (memerintah 1389-1429 M), dengan posisi Maulana Malik Ibrahim (tahun kehidupan 1347-1419 M) yang dikenal sebagai Kakek Bantal, sebagai juru dakwah Istana, dan bahkan menjadi mitra dialog Raja, disamping menjadi guru bagi Dyah Kertawijaya. Pengaruh Islam yang sudah demikian mengakar di Majapahit tersebut, tentu sangat memungkinkan jika pada masa Prabu Brawijaya I Kertawijaya, apalagi sampai pada Brawijaya V Prabu Kertabhumi, para abdi dalem kraton sudah berada dalam rengkuhan Islam.
Jika dikaji secara lebih mendalam, Ramalan Jayabaya Sabdo Palon Naya Genggong sebenarnya tidak hanya berisi tentang ”petuah” Sabdo Palon saja. Justru yang terbanyak adalah wejangan Sunan Kalijaga kepada Raja Brawijaya tentang ajaran Islam, hingga masuk Islamnya Sang Raja. Tentu saja jika memang ini benar, maka Brawijaya yang dimaksud adalah Raja Kertabhumi (tahun kehidupan 1405-1478 M) atau sesudahnya, yang hidup pada masa transisi Majapahit dan Demak. Kalau Raja yang dimaksud adalah Raja Kertajaya (tahun kehidupan 1377-1451 M) nampaknya tidak mungkin, dimana pada saat itu usia Kalijaga baru sekitar 21 tahun, dan pada usia itu, Raden Sahid baru dalam proses pencarian Ilmu, atau sedang dalam penyamaran sebagai Berandal Lokajaya dan masih berdiam di Kalijagan Cirebon. Apalagi dalam konteks sejarah, Raja Kertajaya menjadi muslim berkat dakwah Maulana Malik Ibrahim, yang hidup jauh sebelum Sunan Kalijaga.
Namun jika yang dimaksud adalah Raja Kertabhumi, kemungkinan adanya pertemuan dengan Sunan Kalijaga masih bisa mendapatkan tempat, walau keislaman Kertabhumi tidaklah sekuat Raja Kertajaya. Hal musykil lainnya adalah, jika benar yang masuk Islam melalui Sunan Kalijaga adalah Raja Kertabhumi, maka juga harus dipertanyakan, bukankah ia diindikasikan sudah Islam sejak awalnya? Dengan demikian apa yang menjadi ”dongengan” dalam Serat Darmogandhul serta Ramalan Jayabaya Sabdo Palon Naya Genggong yang telah diilfiltrasi (tidak otentik) harus dicermati.
Muslih (2010: 25) dengan menyebutkan adanya fakta yang ditemukan oleh seorang peneliti tentang Islam dan budaya Jawa, Susiyanto, bahwa mitos tentang akan lenyapnya Islam di tanah Jawa, sebenarnya merupakan tradisi tutur yang berkembang akibat kesalahan pembacaan dan pemaknaan teks. Itu akibat pembacaan yang kurang komprehensif dalam memahami keseluruhan teks. Ironisnya, mitos yang menisbatkan rujukannya kepada Jangka Sabdo Palon ini telah diamini oleh banyak pihak secara taken for granted. Mereka hanya membaca pupuh pertama saja yang berisi 20 bait tembang ”Sinom” dari karya babad tersebut. Jadi hanya berpegang pada sekitar sepertiga isi teks dan mengabaikan dua pertiga sisanya (padahal justru inti dari pernyataan Serat ada pada pupuh terakhir). Munculnya praktik penafsiran demikian, akhirnya menyebabkan maksud utama dari pengarang Serat Jangka Sabdo Palon terdistorsi.
Serat Jangka Jayabaya tersebut dalam isinya seolah menggambarkan bahwa Sabdo Palon hendak mengajarkan Agama Budi atau Buda di tanah Jawa. Padahal jika diteliti mendalam, istilah-istilah seperti ”Budi” atau ”Buda” dalam jangka tersebut, ternyata sama sekali tidak menunjukkan paralelisasi dengan eksistensi ajaran Agama Buddha. Isinya justru menunjukan adanya keinginan mendalam tokoh ”Sabdo Palon” untuk menganut Islam pada masa yang akan datang, yaitu pasca lima ratus tahun ramalannya. Sabdo Palon berkehendak meng­anut ajaran agama ini jika telah diajarkan secara sempurna, bebas dari penyimpangan. Hal ini ditunjukkan sebagai berikut (Soewarno, 2004: 25):
”Thathit kliweran ing nusa Jawa, pratandhane wong nuduhna, sampurnakna agamane, yeku agama rasul, anyebarna Islam Sejati, duk jaman Brawijaya, ingsun datan purun, angrasuk agama Islam, marga ingsun uninga agama niki, nlisir saking kang nyata.” (Kilat bersahutan di Pulau Jawa, pertanda menunjukkan, sempurnakanlah Agama Rasul, sebarkan Islam yang sejati, ketika jaman Brawijaya, aku belum mau memeluk Agama Islam, sebab aku tahu agama ini masih menyimpang dari yang nyata).
Bahkan pada bagian akhir jangka tersebut tokoh Sabdo Palon mengancam ”manusia Jawa” jika mereka tidak memeluk agama Rasul yaitu Islam yang sejati, maka akan berat tanggungjawabnya kelak. Dikatakan sebagai berikut (Soewarno, 2004: 25): ”Sampurnakna agamane, yeku agama Rasul, Islam kang sejati... Ngelingana he pra umat sami, yen sira tan ngetut kersaning wang, yekti abot panandhange, ingsun pikukuhipun, nuswantara ing saindenging, ...” (Sempurnakanlah Agama Rasul, Islam yang sejati... Ingatlah umatku semua, jika kalian tidak mengikuti kemauanku, maka berat penderitaannya, aku adalah penguat nusantara dan sekitarnya ...).
Jadi, tidak benar anggapan bahwa Jang­ka Sabdo Palon merupakan karya sastra yang menyebutkan Islam akan lenyap dari tanah Jawa. Buku ini justru ”berbicara” sebaliknya, bahwa Islam di Jawa akan sampai kepada pemurnian ajaran dimana ”Sabdo Palon” sendiri hendak memeluk aga­ma tersebut. Tentu yang dimaksud sebagai ”Sabdo Palon” akan memeluk Islam ini adalah mayoritas masyarakat Jawa sesudah Majapahit. Kata ”thathit kliweran ing nusa Jawa” hampir disepakati oleh para penafsir Ramalan Joyoboyo sebagai kilat Islam yang menyambar dan mendominasi nusa Jawa (Soewarno, 2004: 47-48). Dengan demikian maka penempatan ”makam” Sabdo Palon Naya Genggong di tengah makam-makam orang-orang muslim Majapahit menjadi beralasan, bahwa keduanya, jika memang benar-benar adalah tokoh sejarah, merupakan tokoh Majapahit, paling tidak sangat apresiatif terhadap Islam, jika belum bisa dikatakan bahwa mereka adalah muslim.
Terkait dengan cerita antara Prabu Brawijaya dengan Sabdo Palon dan Naya Genggong tersebut, juga sering dikemukakan kisah bahwa setelah Majapahit kalah perang dengan Demak, maka atas saran Sabdo Palon dan Naya Genggong, Brawijaya lalu melarikan diri ke pegunungan Tengger. Hal ini perlu mendapatkan perhatian kritis dari dua segi: benarkah ada perang antara Demak dengan Majapahit?, dan apa ada bukti valid bahwa Brawijaya pergi ke daerah Tengger? Berikut ini penulis kemukakan analisis seorang sejarawan Indonesia, Aminnuddin Kasdi (2005: xvii-xx).
Dalam sumber-sumber tradisional seperti Babad Tanah Djawi (BTD) dan Serat Kanda (SKd.) dikatakan bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh ekspansi militer yang dilakukan oleh Demak pada tahu 1478 (sirna hilang krtaning bhumi) di bawah pimpinan Raden Patah yang dibantu oleh walisanga. Selanjutnya dikatakan faktor utamanya Raja Majapahit yang kafir itu menolak memeluk Islam.
Terhadap masalah keruntuhan Majapahit karena diserbu oleh Demak diberitakan oleh BTD yang ditulis pada tahun 1720 dibawah redaksi Tumenggung Tirtawiguna atau Carik Bajra, bahkan SKd. berasal dari periode yang lebih muda lagi. Kedua sumber itu mengenai masalah peperangan Demak-Majapahit, sulit untuk dipercaya kebenarannya penulisannya, karena tanpa menggunakan metode ilmiah, apalagi status BTD sebagai kronik resmi kerajaan yang penulisannya berdasarkan kehendak raja-raja Mataram. Jadi dapat dibayangkan betapa subyektivitas, segi-segi kredibilitas penggunaan sumber, sikap berat sebelah pribadi (personal bias), dan penulisannya yang tidak lepas dari unsur kultus. Dalam penyusunan sejarah BTD dan S.Kd. untuk masa-masa keruntuhan Majapahit merupakan sumber sekunder. Keduanya ditulis berdasarkan sumber tradisi lisan atau ceritera dari mulut ke mulut (Jw. Jarene-jare).
Penggunaannya sebagai sumber sejarah, data-data dari BTD dan S.Kd. harus dibandingkan (cross corroboration) dengan sumber-sumber lain yang dihasilkan pada saat/zaman peristiwa itu terjadi. Misalnya dengan mengajukan pertanyaan kritis, apa benar pada tahun 1478 Majapahit telah runtuh, padahal pada tahun 1486 masih ada penguasa Majapahit yang mengeluarkan prasasti (piagam resmi kerajaan), yaitu prasasti Jiu I-V. Dalam prasasti Jiu Majapahit disebut pula dengan nama Wilwatiktanagara dan ibukotanya di Daha. Memang ada konflik militer di Majapahit namun terjadi pada tahun 1474, tetapi bukan dengan Demak yang dipimpin Patah, melainkan Majapahit diserang oleh Daha (diduga keturunan Jayakatwang) bernama Diah Ranawijaya Girindrawardhana putera Girindrawardhana. Majapahit baru lenyap dari peta sejarah pada tahun 1527 atas serangan Giri sebagai balasan serbuan Sengguruh terhadap Giri pada masa Sunan Dalem (Giri II, 1506-1545). Sebelum Majaphit jatuh Tuban pada tahun 1527 masih Hindu dapat diislamkan terlbih dahulu. Hal ini coherence (cocok) dengan berita Portugis dan Spanyol (Maglhaenes) yang pada tahun 1522 dalam pelayarannya di Maluku menerangkan bahwa saat itu pusat kerajaan Jawa masih Hindu berada di Dayo (Daha).
Apabila penyerangan Demak ke Majapahit karena Raja Majapahit tidak bersedia memeluk Islam, hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa sejak 1350 pada masa kebesaran Majapahit agama Islam justru telah berkembang di Ibukota Majapahit. Bahkan para bangsawan keraton telah mulai memeluk Islam. Tebukti batu nisan mereka selain terbuat dari batu juga menggunakan lambang atau lencana kerajaan : Sinar Majapahit. Lebih dari itu jamuan makan pada pesta bulan Phalguna (1365) menurut Ngarakrtagama kepada penduduk non muslim juga disediakan menu khusus, seperti walang ulat (Jawa: engkuk, telur lebah). Lebih dari 60 batu nisan bertulis dan berlencana kerjaan dari periode 1356-1416 ditemukan dari sekitar Tralaya (ksetralaya). Selanjutnya pada 1415/16 Ma Huan di dalam Yeng Yai Sheng Langyang mengunjungi Ibukota Majapahit menyatakan bahwa penduduk Ibukota Majapahit terdiri dari 3 kelompok muslim (dari Barat), Cina (kebanyakan juga muslim), dan pribumi penyembah berhala. Tiada sumber sejarah primer yang memberitakan adanya konflik sosial karena perbedaan agama.
Masalah orang-orang Majapahit yang mengungsi ke Tengger, Lereng Gunung Lawu dan ke Bali karena tidak mau memeluk agama Islam. Benarkah?
Pandangan ini juga mesti dipertanyakan dan dicocokkan dengan berbagai sumber yang kredibel dan primer yang benar-benar berasal dari zamannya. Berdasarkan kenyataan di situs-situs Walisanga ternyata tidak ada petunjuk adanya gejolak sosial budaya (social and cultural shocks), konflik sosial (social conflict), konflik budaya (cultural conflict) dan apalagi kemandegan sosial-budaya (social and cultural leg). Tradisi leluri roh leluhur, nyadran, seni bangunan, seni relief dan sebagainya justru meneruskan dan memperkaya perkembangan sebelumnya. Memang ada unsur-unsur yang di perhalus misalnya berbagai gambar atau relief yang semula bermotif hewan atau fauna kemudian diperhalus atau di-styleer dengan motif flora berupa sulur-sulur bunga. Sebenarnya hal inipun ternyata melanjutkan tradisi yang telah dimulai pada candi Singasari (1343) dan candi Sumberjati (1309). Bahkan struktur bangunan suci Panataran (abad XIII-XV) diambil alih sebagai master berbagai situs-situs walisanga seperti Giri, Drajat, Bonang, Kudus dan Kadilangu. Masjid Demakpun secara aresitektural dengan ornamentasinya juga meneruskan tradisi sebelum Islam seperti bentuk atap tumpang dan gambar kura-kura di mihrabnya. Lebih dari itu beberapa bangunan suci seperti Sendang Duwur, Paciran, Giri, Drajat, Bonang dan Kudus berasal dari bangunan sakral sebelum Islam kemudian secara bijaksana pimpinannya -pendeta (?) dapat diislamkan dan tempat sucinya diubah menjadi masjid. Karena proses tersebut terjadi dengan tiba-tiba tidak jarang tempat semacam itu kemudian juga dianggap tempat suci “tiban”, tiba-tiba ada.
Berdasarkan peninggalan epigrafis di Tengger yaitu prasasti bertahun 1405 berisi pemberian status Daerah Tengger sebagai tempat suci untuk menyelenggarakan kepercayaan setempat (Kasada) sulit tampaknya bila masalah perbedaan agama dijadikan alasan atas eksodus mereka dari Majapahit. Demikian pula bukti-bukti arkeologis candi Sukuh (145pl455) dan candi Cetha yang sangat beraroma kebudayaan Indonesia prasejarah juga telah ada pada awal abad XV, juga sulit sebagai dalih mengapa orang-orang Majapahit kemudian menyingkir ke pucuk Gunung Lawu.
Mengenai Bali terdapat sedemikian banyak persamaan antara Bali dan Jawa sehingga agak ganjil juga bila alasan perbedaan agama itu dipegunakan sebagai tuduhan bahwa menyingkirnya orang-orang Majapahit ke Bali karena ditaklukkan oleh Demak.
Boleh jadi karena penulisan BTD pada awal tahun 1700-an dalam kondisi konflik antara Mataram (Islam) - Blambangan (Hindu) dan konflik Mataram - Bali, khususnya dengan Danudresta Panji Sakti penguasa Buleleng yang terus menerus merongrong wilayah Pesisir Utara Jawa, Madura dan daerah Supit Urang (Malang selatan, Lumajang, Banger-Probolinggo) menyebabkan para penulis BTD dan kemudian S.Kd. karena tidak memiliki sumber yang memadai tentang masa akhir dan keruntuhan Majapahit menjadikan situasi peperangan antara Mataram-Blambangan dan Bali sebagai model/pola atau analogi untuk menggambaran keruntuhan Majapahit.
Memperhatikan berbagai pemutarbalikan fakta sebagaimana dicontohkan dalam memahami Serat Jangka Jayabaya Sabdo Palon tersebut, maka terdapat hal yang penting. Para sarjana Muslim hendaknya secara bersungguh-sungguh melakukan penelitian terhadap manuskrip-manuskrip kuno, khususnya yang berkaitan dengan Islam, dan juga terhadap cara pembacaan dan pemaknaannya, agar umat Islam Indonesia terhindar dari kesalahpahaman atas ajaran agamanya sendiri, dan juga agar tidak terjebak dalam kesalahan memahami sejarah perjalanan agamanya sendiri.

L.     Kehadiran Syekh Siti Jenar dan Walisanga dan Islam Kultural di Jawa
Berdasarkan berbagai analisis tersebut di atas, menjadi jelaslah bahwa penyebaran Islam di Jawa sudah berlangsung sejak abad ke-7 dan abad ke-8 M. proses masuk dan kehadiran Islam di Indonesia berlangsung sampai abad ke-13 M. Sementara abad ke-13 dan ke-14 yang diyakini sebagai proses masuknya Islam pertama kali di Indonesia, sebenarnya sudah merupakan era atau tahapan atau fase penyebaran dan perkembangan Islam lebih lanjut, dalam skala massif, yang mengakibatkan proses lanjutan yang penting, yakni tahapan terbentuknya kerajaan Islam atau kesultanan. Pada masa itulah mulai muncul proses penyiaran Islam dengan basis budaya Arab (sebagian orang menyebutnya “Arabisasi”) oleh para ulama asal luar negeri, kawasan Asia Barat (baik dari Timur Tengah ataupun ulama “pelarian” dari Maghrib dan Spanyol, yang dihancurkan oleh bangsa Eropa pada abad ke-13 M sampai abad ke-15 M).
Dari berbagai penjelasan di atas juga kita dapatkan kenyataan bahwa raja-raja besar di Jawa, yang selama ini disebutkan sebagai “sangat Hindu” dan dinampakkan sama sekali belum bersentuhan dengan Islam, minimal mereka sudah pernah mendapatkan pengajaran Islam dari para ulama dan auliya generasi pertama, yang menyebarluaskan Islam di Jawa, beberapa ratus tahun sebelum kesultanan Demak dengan dewan Walisanga-nya terbentuk. Sama halnya dengan masyarakat Perlak dan Pasai. Masyarakat diperkenalkan dengan Islam sejak dari abad ke-7 M, namun kesultanan atau kerajaan Islam baru muncul antara abad ke-11 dan abad ke-13 M.
Kita juga mendapati kenyataan bahwa, sampai pada awal berdirinya kerajaan Demak, proses penyebaran islam berlangsung secara damai, tenang, dan sangat kultural. Upaya ini, berikut corak Islam kultural mencapai puncak penyebarannya dengan kehadiran Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria. Namun sejak Negara Demak berdiri dan membentuk dewan Walisanga, proyek dakwah sudah sangat diarahkan dalam orientasi syari’at yang ketat. Beberapa madzhab Islam yang dianggap menyimpan potensi oposisi, atau karena berbeda alam aliran resmi, mulai mendapatkan penekanan. Apalagi ajaran atau gerakan yang dianggap membahayakan kemapanan politik, akan langsung mendapatkan tekanan yang hebat dari negara dan para ulama resmi negara. Islam menjadi sangat structural, dimana Negara memang mengontrol secara penuh pola keberagamaan Islam. Kontro ketat pihak kesultanan Demak terhadap aliran dan ajaran Islam di wilayahnya semakin kuat pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (memerintah 1521-1546 M). Korban-korban penekanan faham agama oleh pihak penguasa mulai muncul. Tonggak pertama munculnya perpecahan hebat antar madzhab tersebut adalah adanya vonis “sesat” dan “potensi memberontak” yang diarahkan oleh kerajaan Demak kepada Syekh Siti Jenar dan murid-muridnya.
Kondisi yang kurang toleran itulah yang menjadi salah satu sebab rapuhnya Demak, disamping perebutan kekuasaan antar keluarga Sultan. Kondisi ini masih diperparah dengan keikutsertaan sebagian ulama Walisanga dalam mencampur-tangani urusan perebutan kekuasaan dengan saling memihak kepada murid masing-masing. Misalnya antara Sunan Kudus yang membela Arya Penangsang dengan Sunan Kalijaga yang menjagokan Jaka Tingkir. Pola-pola Islam pesisiran (yang sangat normatif) dengan corak Islam pedalaman mulai terbentuk, yang kemudian terwarisi hingga saat ini. Jika pada dekade sekarang masih sering terjadi permusuhan antar faham dan madzhab keagamaan, demikian pula ketika masih tersaksikan para ulama yang bertarung dalam konteks politik, percayalah bahwa preseden tersebut sudah terjadi sejak awal penyebaran Islam. Tentu saja, bahwa pertarungan antara Islam struktural dan Islam kultural, demikian pula ulama berorientasi syari’at dengan ulama sufi dalam orientasi faham wujudiyah, juga akan terus terjadi, sampai semuanya masuk ke liang lahad. Hanya kearifan kita masing-masing yang akhirnya dapat mengendalikan perpecahan keagamaan. Kesediaan untuk saling bersikap toleransi dan moderat, serta saling menghargai perbedaan yang ada adalah barang mahal, ditengah semangat keinginan menegakkan keimanan yang diyakini oleh masing-masing penganutnya. Nampaknya itulah pesan penting yang diberikan oleh para ulama Walisanga, ketika para ulamanya belum bersinggungan dengan kepentingan politik, dan belum bersentuhan dengan konsepsi jabatan dalam negara.
Wallahu a’lamu bi al-shawab.




[1] Sebagian isi tulisan pada bab ini sudah pernah penulis sampaikan dengan judul “Asal-Usul Islam Jawa, Dari Jayabaya sampai Syekh Siti Jenar”. Pernah dimuat dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa DEWARUCI, Edisi 10, Januari – Juni Tahun 2005, hlm. 133 – 157. Secara bagian per bagian, pernah menjadi bahan diskusi dalam beberapa forum, misalnya dalam Konferensi Internasional Budaya Jawa di Purwokerto tahun 2007. Tulisan ini merupakan penelitian awal penulis tentang Islam Jawa abad 8 – 15 M. Terbukti pada rentang waktu tersebut, Islam yang hadir di Nusantara mampu menjadi katalisator bagi budaya lokal. Antara agama dan budaya justru saling melengkapi dalam upaya menciptakan keharmonisan kehidupan dan alam semesta.
[2] Hal ini membutuhkan studi antar kawasan di berbagai sudut tanah air, guna mencari konteks Islam yang universal ke-Indonesiaan, dan Islam yang sudah terpengaruhi oleh kultur dan konteks sosial tertentu, sehingga dapat dipengaruhi, proses perjalanan Islam pada masa penyebarannya didominasi oleh kelokalan mana, dan dapat diketahui dari arah mana Islam yang dominan dapat ditentukan secara tepat.
[3] Kajian interaksi agama Islam dengan kejawaan menjadi penting, karena hasil dari interaksinya tersebut (jika melibatkan interaksi Islam sejak abad ke-7 sebagaimana akan dibahas dalam tulisan ini), telah menghasilkan sistem “Filsafat Jawa” yang diakui oleh dunia. Sampai saat ini, pengakuan dunia memang baru terhadap 15 tokohnya, yaitu: Mpu Kanwa, Mpu Tantular, Mangku Negara IV, Pakubuwana IV, Ranggawarsita, Yasadipura, Notonegoro, Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, Soekarno, Drijarkara, Sutan Takdir Alisyahbana, Hardjoprakosa, Hamka, dan M. Matsir (Huisman (ed.), 1984). Tidak menutup kemungkinan bahwa tokoh-tokoh seperti Mpu Panuluh, sebagian Walisanga dan tokoh-tokoh yang lain sebenarnya masuk dalam kategori filosof Jawa ini. Syekh Siti Jenar sendiri dipandang oleh sebagian ahli filsafat sebagaim pencetus Filsafat Dialektika dalam Islam-Jawa.
[4] Dalam hal ini para peneliti dan peminat studi Islam Jawa harus semi hati-hati, karena apa yang terjadi antara proses Islamisasi dengan proses Arabisasi memang pernah terjadi di Indonesia dan Jawa. Untuk kasus Islam Jawa, era berdirinya kerajaan Islam Demak, dengan keanggotaan dewan wali yang memiliki orientasi Islam Timur Tengah, nampak bahwa proses Arabisasi mulai dilaksanakan. Proses ini berlangsung sampai berdirinya Pajang, dan mulai mengalami kemandekan dengan semakin jayanya kerajaan Mataram Islam. Proyek Arabisasi kembali terjadi seiring engan gelombang haji Indonesia pada masa colonial Belanda, terutama sejak awal abad 18, dan terus dilaksanakan hingga pasca kemerdekaan. Tahun-tahun 1930-1950-an sebenarnya Islam Jawa nampak mencoba mulai muncul dengan penerbitan ulang karya-karya Islam Jawa, namun sebelum berhasil, sudah mulai tertekan kembali dengan Arabisasi Islam sejak mulai pasca 1950. Sejak tahun 1980-an hingga kini, kebangkitan karya-karya Islam Jawa nampak mulai terjadi kembali.
[5] Canggal adalah sebuah daerah di Kedu, Temanggung. Prasasti Canggal menggunakan bahasa Sansekerta dalam huruf Pallawa, berangka tahun 654 C (732 M). sebagian prasasti tersebut mengatakan bahwa, “Pada tahun Caka yang telah lalu dengan ditandai angka Caka Cruti Indrya Rasa (654 C) pada hari Senin, hari baik tanggal 13 bagian terang bulan Kartika Sang Raja Sanjaya mendirikan lingga yang ditandai dengan tanda-tanda dibukit yang bernama Sthirangga, buat keselamatan rakyat” (Badrika –Sulaeman, 1991: 64). Dalam perhitungan penulis, itu berarti 3 September 732, atau Senin Pon, 13 Rajab 114 H. Jadi raja pertama kerajaan Mataram kuno adalah Raja Sanjaya. Bukti kerajaan ini juga ditandai dengan prasasti Kalasan bertahun 778 M, yang berbahasa Sansekerta dalam huruf Pra-na-ga-ri. Sekitar 760 (masa wangsa Syailendra), kerajaan ini terpecah dalam dua blok, Selatan beragama Budha dengan wilayah bagian Selatan Jawa, dan utara menguasai sekitar pegunungan Dieng dan Jawa Tengah bagian utara. Era ini disebut abad candi, karena banyaknya bangunan candi yang dibuat. Tahun 820, raja Smaratungga membangun candi terbesar, Borobudur. Nampaknya kedatangan Syekh Subakir dan kontaknya dengan raja terjadi pada masa-masa akhir pemerintahan Raja Smaratungga.
[6] Hamka dengan mengutip sumber-sumber naskah cina memberikan angka lebih awal. Bahwa berdasarkan berita cina, pada tahun 674 atau abad ke-7, telah terdapat banyak pedagang Arab Islam di kerajaan Kalingga, pada masa pemerintahan Ratu Sima (Suryanegara, 1995: 97, 94). Dalam berita itu juga disebutkan kedatangan Raja Ta Cheh (cina: Ta-Shi = orang asing dari Arab), seorang Raja Arab di bawah kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan kepada Ratu Sima (Hamka, 1980: 9).
[7] Kerajaan Kediri di Jawa Timur adalah kerajaan pertama di Jawa Timur, sebagai kelanjutan dari kerajaan Mataram Kuno yang semula berpusat di Jawa Tengah (sekitar Merapi-Merbabu-Dieng), yang pada awal abad ke-10 dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Namun kemajuan kerajaan baru nampak dengan munculnya Airlangga sebaga raja (memerintah 1019-1042). Pemerintahan Jayabaya merupakan puncak kejayaan Kediri, dan dibuktikan oleh prasasti Ngantang yang bertahun 1057 C/1135 M. dari prasasti ini diketahui bahwa Kediri pernah menghadapi pertempuran hebat, yang kemudian dilukiskan oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh dalam kitab Bharata-Yudha. Beberapa tahun kemudian, kedua Mpu tersebut atas titah Raja menulis kitab Gatotkacasraya, yang didalamnya sudah terdapat banyak ungkapan Arab, dengan ajaran mistik-sufi. Dengan demikian, nampaknya Syekh Maulana Ali Syamsu Zain bertemu Jayabaya sesudah tahun 1135 M, antara tahun 1140 sampai 1150. Karena sang ulama meninggalkan Indonesia beberapa tahun sebelum Jayabaya wafat.
[8] Dibalik penulisan sejarah, sebenarnya juga berlangsung proses politik budaya, dan pertempuran antar peradaban. Sehingga dalam penulisan suatu sejarah, memang harus dilihat siapa yang menulis, dalam masa politik yang bagaimana, dan hegemoni kebudayaan yang seperti apa. Hal ini penting, karena setiap terjadi proses penulisan sejarah, obyektifitas sangat sulit diaplikasikan. Justru disinilah letak urgensi para sejarawan muslim Indonesia, untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Sementara itu, balutan nasionalisme kebangsaan sampai saat ini, sebenarnya belum lepas sama sekali dengan pola nasionalisme warisan ajaran Hindu-Budha yang telah kuat membentuk karakter keindonesiaan sejak abad-abad pertama masehi, sampai pada kurun abad ke-15.
[9] Tentang sedikit informasi keislaman Brawijaya V ini dikemukakan oleh lihat J.J. Ras dalam Stokhof & Kaptein (1990: 127-8). Brawijaya V juga memiliki putra dan putri yang sangat banyak, sebagian riwayat mengemukakan jumlah anaknya mencapai 117 orang, dan sebagian besar disebar ke berbagai pelosok Jawa untuk mendakwahkan Islam, termasuk dakwah Islam di sekitar gunung Merapi. Pada berbagai daerah lingkar Merapi, terdapat para penyiar Islam masa awal, yang merupakan anak-anak Brawijaya, diantaranya adalah Syekh Bela Belu (Pangeran Suryaprana), dan Kyai Petruk (Raden Suladi, Kyai Handaka Kusuma).
[10] Beberapa ulama keturunan Sunan Giri dikenal sebagai penulis, terutama Sunan Giri II dan Sunan Giri III. Tentang kehidupan keluarga Giri ini dikemukakan oleh antara lain dari R. Tanojo, Walisana (Babad Para Wali disandarkan pada karya Sn. Giri II), Solo: TB. Sadu Budi, t.t., hlm. 144-146. Para keturunan Sunan Giri adalah: (1) Sunan Dalem, (2) Sunan Sedomargi, (3) Sunan Giri Prapen, (4) Sunan Kawis Guwa, (5) Panembahan Ageng Giri, (6) Panembahan Mas Witono, (7) Pangeran Singonegoro (murid, bukan keturunan Sunan Giri), dan (8) Pangeran Singosari. “Kekuasaan” spiritual pesantren Giri atas tanah Jawa berlangsung sampai 1635 M. pada tahun tersebut, kekuasaan spiritual direbut oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645 M), yang tidak lagi menyukai kekuasaan atas Jawa yang disekutui oleh Wali dari Giri (Saksono: 1995, 41). Hanya saja Sultan Agung secara fisik tidak mau berkonfrontasi dengan pesantren Giri, namun sejak saat itu, hubungan Giri dan kesultanan Mataram yang sebelumnya terbagi atas “isi” dan “wadah” tidak harmonis lagi. Titik kulminasinya terjadi pada tahun 1680. Dipicu oleh pemberontakan Trunojoyo (alumnus pesantren Giri), oleh Sunan Amangkurat II dibantu oleh kekuatan VOC-Belanda, pesantren Giri digempur habis-habisan, dengan 6.000 ulama dibantai. Namun akibatnya Kraton Mataram dibawah Sunan Amangkurat I jatuh tanggal 10 Juli 1677, sang Sunan mengungsi ke Tegal sampai wafat. Sementara Pesantren Giri dibawah Pangeran Singosari setelah wafatnya tahun 1679, karena serbuan itu hancur, dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa lagi (Hariwijaya, 2003: 98-102).
[11] Hasil penelitian ini sejalan dengan penuturan berbagai naskah Jawa lama, misalnya terdapat dalam Babad Tanah Jawa (Abdullah, dkk., 2002: 19).
[12] Dalam karya-karya sastra zaman Majapahit diperintah oleh Hayam Wuruk (1350-1389), sudah terdapat beberapa pengaruh ajaran Islam. Misalnya dalam kakawin Negara Kertagama oleh Mpu Prapanca mengenai konsep-konsep “Kesatuan” ruhani, lahir dan batin. Kemudian dalam kakawin Sutasoma oleh Mpu Tantular terdapat penegasan Kesatuan Tuhan “Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal”, juga tentang penegasan ke-Esaan kebenaran atau kasunyatan walau beraneka wujud “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharmma Mangrwa” (Ciptoprawiro, 2000: 28). Jadi kemungkinan kehadiran komunitas muslim di pusat ibukota Majapahit, dan ajaran-ajaran Islam yang sudah ada sejak zaman Kediri (abad ke-9 – 12) ikut memberikan pengaruh di dalam karya keagamaan pada masa itu.
[13] Sebagian penulis membaca angka tahun H itu 495 karena kurang jelas (?). Angka tahun 475 H = tahun 1082 M, sedangkan angka tahun 495 H = 1102 M. Akan tetapi yang lebih banyak dipakai oleh para sejarawan adalah tanggal 7 Rajab 475/Desember 1082 (Abdullah, dkk., 2002: 12). Menurut Moquette, tanggal wafat Fathimah binti Maimun adalah 7 Rajab 475 bertepatan dengan 25 November 1082 (Moquette, 1921: 397).
[14] Kaligrafi gaya kufi merupakan elemen epigrafi Islam, yang menandai berbagai situs arkeologi Islam. Kaligrafi yang terdapat dalam nisan Fathimah binti Maimun merupakan bentuk yang paling arkais dalam kaligrafi Islam, yang berkembang di Kufah, Irak, dan sudah muncul sebagai hiasan nisan muslim abad ke-7. Makam Fathimah sebagai salah satu situs kuno tentang bukti arkeologis kehadiran Islam di Jawa mungkin hanya salah satu dari sekian banyak makam muslim yang ada di berbagai tempat. Model tulisan yang paling banyak ditemukan, dan kemungkinan muncul pasca abad ke-7 adalah model naskhi (Ambary, 2001: 69).
[15] Sampai saat tulisan ini dibuat, makam Fathimah binti Maimun adalah satu-satunya situs arkeologis Islam tertua di Jawa Timur. Terdapat satu situs tertua lagi yang setara dengan makam Fathimah, yakni peninggalan makam muslim yang terletak di Pandurangga (Phanrang), yang sekarang masuk wilayah Vietnam. Makam di Vietnam ini beridentitas Ahmad bin Abu Ibrahim bin Abu ‘Arradah, yang Rahdar, nama samarannya Abu Kamil, dan wafat pada Kamis 29 Shafar 431 H/1039 M (Ambary: 2001, 98). Sejauh ini, hanya dua makam bertuliskan gaya kufi ini yang merupakan bukti tertua kehadiran Islam dengan bukti tertulis dari abad ke-10 atau 11 M. Sementara sumber lain hanya berupa komentar tentang catatan perjalanan para musafir Muslim ke Asia Tenggara yang umumnya berasal dari abad 8 – 9 M. Kedua makam tersebut, dari segi bahan dan gayanya tidak dibuat oleh local, namun nampaknya dibuat di Gujarat, India (Ambary, 2001: 54). Dengan begitu, terdapat dua kemungkinan tentang sampainya nisan tersebut ke Gresik. Pertama, dibawa bersamaan dengan kedatangan kafilah Fathimah ke Indonesia. Kedua, didatangkan setelah kematian Fathimah. Tampaknya kemungkinan kedualah yang lebih mendekati kebenaran. Karena hampir tidak mungkin, rombongan tersebut datang ke Indonesia sudah langsung membawa batu-batu nisan untuk kematian mereka, disamping pertimbangan sulitnya transportasi saat itu, apalagi pertimbangan bobot beratnya barang.
[16] Yang perlu diperhatikan adalah bahwa makam Fathimah telah bertuliskan Arab Kufi dari Timur Tengah. Penulisan nisan seperti ini tentunya berkaitan dengan suatu missi keagamaan. Paling tidak petunjuk ini membawa pemahaman bahwa pada saat itu, di pesisir utara Jawa Timur sudah terdapat komunitas muslim. Huruf Kufi berkembang pada masa akhir abad ke-10 di Persia. Kalau kita perhatikan periodesasi penyebaran Islam pada masa itu, kita harus memperhatikan tiga tahapan. Pertama, adalah masa kedatangan. Kedua, masa penyebaran. Ketiga, masa pembentukan struktur pemerintahan atau kerajaan. Tiga tahap tersebut membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang, yakni sekitar 400-an tahun. Waktu yang sekian lama itu menjadi suatu hal yang wajar, karena Islam yang baru datang harus bergumul dengan ajaran Budha dan Hindu yang sudah berurat berakar pada struktur kebudayaan Jawa, disamping Animisme dan dinamisme yang masih bertahan. Diantara tahap pertama dan kedua, juga terdapat sub tahapan pembentukan komunitas muslim. Pada gelombang tersebut sudah menghasilkan penyebaran Islam untuk kalangan terbatas, pada kaum bangsawan kerajaan dan para pengusaha dan pedagang.
[17] J.C. van Leur sebagaimana dikutip oleh Ahmad Mansur Suryanegara menjelaskan bahwa setiap pedagang Islam pada masa-masa tersebut sekaligus merangkap sebagai da’i (Suryanegara, 1995: 97).
[18] Hasan Muarif Ambary menyebutkan bahwa sejak abad 1 H/7 M, masyarakat Asia Tenggara sudah mulai berkenalan dengan tradisi Islam, dan sosialisasi Islam sudah mulai dilakukan (Ambary, 2001: 54, 281). Hal ini terjadi karena orang-orang Arab Selatan, Yaman dan Hadramaut yang kebanyakan pedagang dan ulama, jauh dari berbagai konflik politik di Timur Tengah. Pembinaan keagamaan orang-orang Yaman dan sekitarnya oleh Rasulullah Muhammad diserahkan kepada sahabat Mu’adz bin Jabbal, sekaligus diangkat sebagai mufti dan wakil Rasulullah di Yaman. Sehingga mereka dapat fokus pada perdagangan dan penyebaran Islam. Para saudagar dan ulama asal Arab Selatan inilah yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara.
[19] Selain itu, orang umumnya memandang penyebaran Islam se Jawa sebagai sebuah peristiwa “revolusi” yang terjadi secara cepat dan mengagumkan. Establishmentasi Islam pada abad ke-13 dipandang sebagai titik awal penyebaran Islam di Jawa, tidak mencari dan memandang keseluruhan proses penyebaran panjang sebelumnya. Kebanyakan para ahli juga hanya memandang bahwa dengan berdirinya kerajaan Demak pasca runtuhnya Majapahit itulah, awal dari proses Islamisasi secara besar-besaran dan missal. Dan informasi seperti ini adalah import dari informasi penelitian para sarjana Barat, yang diadopsi begitu saja oleh kebanyakan ilmuwan kita. Kenyataan serupa inilah yang juga ditulis oleh Raffles, yang dipandang oleh dunia akademis berhasil membuat buku babon tentang Jawa zaman klasik (Raffles, 1978: II, 62-63).
[20] Kitab Musarrar, disalin dari huruf Jawa ke latin oleh R. Tanojo tahun 1946. Yang dimaksud oleh R. Tanojo dalam karangannya tersebut adalah karya Pangeran Wijil tahun 1733 J = 1906 M, yang disalin kembali pada tahun 1743 J = 1815 M. Ini berbeda dengan karangan Andjar Any di atas, yang tidak menyebutkan sumbernya secara eksplisit.
[21] Hadits tersebut tercantum dalam Shahih al-Bukhari, kitab “Jana’iz” bab “’Adzab al-Qubr min al-ghibati wa al-Baul”, no. 1289; Shahih Muslim bab “al-Thaharah” no. 429; Sunan al-Tirmidzi bab “ al-Thaharah ‘an Rasulillah” no. 65; Sunan al-Nasa’i bab “al-Thaharah” no. 31, bab “al-Jana’iz” no. 2041; Sunan Abu Daud bab “al-Thaharah” no. 19; Sunan Ibn Majah bab “al-Thaharah wa Sunanuha” no. 341; Musnad Imam Ahmad bab “wa min Musnad Bani Hasyim” no. 1877; dan Sunan al-Darimi bab “al-Thaharah” no. 732. Keringkasannya dalam CD-Rom Hadits al-Bayan, hadits no. 162.
[22] Analisa ringkas tentang runtuhnya Majapahit dan berdirinya Demak dikemukakan oleh J.J. Ras dalam Stokhof & Kaptein (red.), 1990: 116-25, 130-9.
[23] Pembentukan dewan Walisanga sebagai semacam lembaga mufti, bukan sebagai pelopor dakwah atau yang bukan mengemban missi utama penyebaran Islam semakin nampak dari pernyataan Van Leur bahwa selain Islam sudah mulai menyebar sejak abad ke-7 M, juga dijelaskan bahwa penyebaran Islam di Indonesia (sebelum Demak membentuk dewan Walisanga, dan di luar kekuasaan Demak), tidak mengenal adanya lembaga khusus yang menanganinya. Setiap muslim adalah da’i, yang menyebarkan Islam sambil melaksanakan aktivitas keseharian, yang pada umumnya berdagang, disamping para ulama dan auliya’ yang mengkhususkan diri berdakwah (Van Leur, 1955: 674).
[24] Tokoh dan Syaikh tarekat Syattariyah abad ke-17, yang mengaku keturunan dari Sunan Giri (Bruinessen, 1999: 238).
[25] Termasuk dalam deretan waliyullah ini antara lain adalah: Syekh Subakir, Syekh Maulana Ali Syamsu Zain, Syekh Zainuddin (makam di Tralaya), Syekh Datuk Kahfi di Cirebon, Syekh Hasannuddin (Kerawang), Syekh Wali Lanang bin Syekh Maulana Ishaq, dan sebagainya.
[26] Lebih lanjut lihat R. Soekmono dalam Soedjatmoko, Mohammad Ali, G.J. Resink, G.McT. Kahin (Edt.), 1995: 35-36. Karya asli L.Ch. Damais yang berisi publikasi masalah ini adalah Etudes Javanais I. Les Tombes musulmanes dates de Tralaya, Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme- Orient, XLVIII, 2, 1957: 353-415.

MIS Cintaraja